Jubir Anies Beberkan 3 Permasalahan Soal "Food Estate"

Reporter : Danny

Optika.id - Firnanda, seorang petani dari Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan harus menghadapi berbagai persoalan seperti harga pupuk yang tinggi, risiko gagal panen, dan anjloknya harga ketika panen. Firnanda, juga mayoritas petani lainnya di tanah air, hanya ingin mendapatkan ketersediaan pupuk, obat-obatan, dan bibit yang terjangkau harganya. Kemudian, saat panen, petani mendapatkan harga yang layak.

Baca juga: Jubir AMIN Sindir AHY, Jadi Pemuda Jangan Haus Jabatan

Jika tidak ada keseriusan dan kemauan dari negara untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani, maka ke depan orang yang berprofesi sebagai petani bakal terus menyusut. Pasalnya, regenerasi petani makin lama akan hilang karena belum melihat petani itu adalah pekerjaan yang memiliki masa depan. Hal ini tentu akan menjadi ancaman bagi ketersediaan pangan ke depan.

Tidak hanya itu, kebijakan pemerintah yang kurang tepat juga bisa menjadikan persoalan pangan di tanah air akan terus terjadi. Seperti program kawasan sentra produksi pangan (food estate) pemerintah yang dinilai gagal.

Surya Tjandra, Juru bicara Anies Baswedan, mengatakan bahwa tuduhan dari pihak tertentu terhadap program kawasan sentra produksi pangan (food estate) yang dilaksanakan oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, sebagai program gagal, memang tidak sepenuhnya keliru.

Menurutnya, sejak awal memang sudah bisa diduga proyek strategis nasional ini akan menimbulkan masalah, tetapi tampaknya pemerintah tidak tahu atau belum sempat mengatasinya selagi masih dini. Saat ini, proyek tersebut mangkrak dan menimbulkan beragam permasalahan.

Masalah pertama terkait dengan varietas singkong yang rencananya mau diproduksi massal ini. Varietas singkong ini untuk industri seperti mie, tapioka, dan seterusnya. Jenisnya adalah singkong gajah, yang memang ukurannya besar, tapi rasanya terlalu pahit untuk dikonsumsi manusia, tutur Surya Chandra, Jumat (18/8/2023).

Dia menambahkan, masalah kedua, singkong merupakan tanaman sekunder yang biasa ditanam untuk pagar, jadi ketika mau dijadikan tanaman pokok, maka akan harus intensif yang membutuhkan lahan yang amat luas.

Masalah ketiga, katanya, terkait dengan pilihan lahan untuk proyek food estate tersebut yang tidak cocok untuk singkong. Singkong adalah tanaman kering, sedangkan tanah yang digunakan adalah tanah basah, tetapi terlanjur sudah land clearing dan merusak hutan yang ada.

Jadi rugi sebetulnya merusak hutan hanya untuk menanam singkong yang bukan pangan, tetapi karena sudah menjadi target pemerintah ya mau tidak mau harus dilaksanakan, meski akhirnya gagal juga. Meski sejak awal sudah banyak masukan dari masyarakat sipil dan aktivis lingkungan soal peluang kegagalan proyek food estate ini, sebagaimana terjadi pada mega rice project atau dikenal sebagai proyek lahan gambut sejuta hektare.

Baca juga: Jubir AMIN Soal Makan Gratis, Program yang Hanya Penuhi Janji Kampanye

Menurutnya, pemerintah kurang memperhatikan proyek sehingga masyarakat yang harus menanggung masalah atas program food estate.

Pemerintah menetapkan 14 proyek prioritas strategis pada tahun 2023 dalam Perpres Nomor 108 Tahun 2022, beberapa diantaranya adalah pembangunan kawasan sentra produksi pangan atau dikenal dengan food estate, pembangunan Ibu Kota Nusantara, dan kawasan industri prioritas dan smelter, serta 11 proyek prioritas lainnya.

Khusus untuk proyek food estate, pemerintah menetapkan 4 kawasan, yaitu Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Selatan. Pemerintah bermaksud membangun food estate sebagai salah satu strategi pengendalian inflasi, melalui ketercukupan pasokan dan keterjangkauan harga pangan yang dapat disuplai dari sentra pangan ini.

Kemudian, untuk mewujudkan food estate, pemerintah telah menggelontorkan anggaran hingga triliunan rupiah. Akan tetapi, sampai saat ini, hasil dari food estate belum optimal karena berbagai faktor seperti ketidakcocokan lahan. Di samping hasil yang tidak optimal, program food estate di 4 wilayah ini dilakukan dengan membuka lahan baru (ekstensifikasi), terutama di wilayah lahan gambut di Kalimantan Tengah.

Proyek food estate digagas Presiden Joko Widodo sejak awal periode kedua kepemimpinannya. Proyek itu di bawah kendali beberapa menteri.

Baca juga: Wow, Usulan Hak Angket Ganjar Ditolak Koalisi Prabowo!

Surya Chandra menambahkan, bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan justru memiliki konsep yang lebih bagus terkait dengan pemerataan dan peningkatan kesejaheteraan petani.

Ke depan, Pak Anies akan memastikan petani mendapatkan perlindungan melalui harga input pertanian yang terjangkau seperti pupuk dan bibit. Kemudian harga jual produk pertanian yang kompetitif sehingga tidak merugikan petani.

Hingga negeri ini sudah merdeka selama 78 tahun, impor pangan terus mengalir ke tanah air, mulai dari gula, kedelai, beras, daging, jagung, garam, dan masih banyak impor komoditas pangan lainnya. Di tengah globalisasi saat ini, ekspor impor bukanlah sesuatu yang haram, tetapi selama kadarnya kecil. Misalnya saja, impor kedelai bisa mencapai 70ri total kebutuhan, sangat besar impornya. Demikian juga dengan gula dan daging sapi.

Seperti gagasan yang sering disampaikan Pak Anies tentang perubahan dan perbaikan, apa yang perlu dikoreksi/diubah, apa yang perlu dilanjutkan, apa yang perlu dihentikan, dan apa yang perlu dibuat baru, tutur Surya Tjandra.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru