Oleh: Prof Ir. Daniel Muhammad Rosyid, M.Phil, Ph.D, MRINA
Baca juga: Rebuilding Indonesia Anew
Optika.id - Setelah UUD45 diganti oleh UUD2023 melalui amandemen ugal-ugalan kelompok sekuler radikal, terjadi deformasi besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Tiba-tiba saja muncul diksi partai politik dalam konstitusi baru itu. Politik menjadi panglima di Republik ini di mana partai politik memonopoli polity as public goods secara radikal dengan mengistimewakan diri sebagai institusi satu satunya yang kompeten mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Praktis RI bukan lagi negara hukum, tapi negara kekuasaan. Segelintir elite politik merasa berhak menentukan haru biru kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu sebagai instrumen legalisasi kekuasaan partai politik telah menempatkan publik pemilih sebagai jongos politik sesudah sekian lama menjadi jongos ekonomi. Dari pemilu ke pemilu sejak UUD2002 berlaku, kehidupan publik terbukti semakin memilukan.
Organisasi yang disebut partai politik ini adalah makhluk yang aneh. Keabsahannnya ditentukan oleh Kemenkumham yang dipimpin oleh seorang pembantu Presiden yang posisinya tak lebih sebagai petugas partai. Namun kekuasaannya luar biasa besar.Demikian itulah posisi setiap pejabat publik dalam AD/ART PDI Perjuangan.
Berkali-kali Ketua Umum PDIP secara terbuka mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo adalah seorang petugas partai. Tidak lebih tidak kurang. Namun partai politik memiliki kekuasaan yang luar biasa karena bisa menciptakan hukum dan peraturan lainnya terkait dengan pengurusan hampir semua dimensi kehidupan bersama.
Baca juga: Kekalahan Resmi Politik Islam di Indonesia
Dalam konstruksi seperti inilah malpraktek administrasi publik bersama DPR dan Presiden menjadi keniscayaan, di mana hukum dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite politik dan ekonomi. Politik di luar DPR, bahkan DPD, dinilai tidak bermutu. Benar jika dikatakan bahwa jagad politik dipenuhi oleh para bandit, badut dan bandar politik di mana setiap lima tahun jongos politik diberi iming-iming perubahan hidup yang lebih baik melalui Pemilu yang disebut sebagai pesta demokrasi. Makin terbukti bahwa begitu pesta itu usai, iming-iming itu hanya mimpi di siang bolong.
UUD45 mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat tsb. Politik sebagai public goods tidak pernah diserahkan kepada sekelompok orang yang mengorganisasikan diri dalam sebuah partai politik.
Politik sebagai upaya mewujudkan visi dan misi Republik sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan dilaksanakan oleh Mandataris MPR dengan menjalankan amanah yg terkandung dalam batang tubuh UUD45. Inilah yang kemudian disebut sebagai pembangunan, yaitu proses perwujudan nilai-nilai Pembukaan UUD45 dalam setiap upaya untuk memperluas kemerdekaan. UUD2002 merupakan kudeta konstitusional oleh partai-partai politik yang secara brutal merebut kedaulatan rakyat sekaligus memonopolinya. Seperti monopoli apapun, monopoli radikal partai politik ini adalah biang kerusakan yang kini menjerumuskan Republik ini makin menjauh dari cita-cita kemerdekaan.
Baca juga: Kembali ke UUD1945: Challenges and Responses
Hiruk pikuk koalisi parpol dalam rangka Pilpres 2024 yang disuguhkan akhir-akhir ini adalah sebuah operasi bendera palsu yang hanya memberi harapan palsu jika dan hanya jika para pemenang Pilpres 2024 kelak tidak memiliki Agenda Kembali ke UUD45 sebagai amanah para pendiri bangsa. Itu akan menjadi pengkhianatan sesungguhnya.
Gunung Anyar, 2 September 2023
Editor : Pahlevi