Melanggengkan Politik Dinasti Apakah Etik?

Reporter : Uswatun Hasanah

Pada Jumat 18 Agustus 2023 lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi merilis daftar nama calon legislative sementara (DCS). Dari 9.919 nama bakal calon legislative yang memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 2024 nanti, sejumlah nama dari keluarga politik maupun petinggi parpol muncul. Kemunculannya disebut-sebut akan memicu dinasti politik.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Selain keluarga Tanoesoedibjo dari Partai Perindo yang mencalonkan diri sebagai caleg, nama lainnya seperti keluarga mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah turut mendaftar sebagai caleg. Adalah Adde Rosi Khoerunissa yang merupakan menantunya, mendaftarkan diri sebagai caleg Partai Golkar dari dapil Banten I. sementara itu, Airin Rachmi Diani yang merupakan istri dari Tubagus Chaeri Wardhana (adik kandung Atut) turut maju sebagai caleg Partai Golkar di dapil Banten III.

Tak ketinggalan dengan keluarga Amien Rais, mantan Ketua MPR dan petinggi Partai Ummat yang turut meramaikan Pemilu 2024. Hanum Rais, anaknya, maju sebagai caleg DPR RI dari dapil DIY dan menantunya sekaligus ketua umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi yang maju sebagai caleg dari Dapil Jakarta I.

Menurut keterangan dari Titi Anggraeni selaku Ahli Hukum Kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), kerabat elite politik yang ikut maju dalam pemilu ini tidak melanggar aturan. Pasalnya, dia mengklaim semua orang berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih maupun memilih dalam negara demokrasi ini kendati ujung-ujungnya memicu politik dinasti.

Adapun bukan suatu hal yang aneh menurut Titi apabila ada pejabat politik yang saat itu sedang berkuasa biasanya merangkap sebagai elit pimpinan parpol di suatu daerah yang menempatkan kerabatnya untuk menduduki posisi yang strategis di parpolnya. Lantas kerabat atau keluarga ini menerima dampaknya yakni dikenal sebagai politis. Ditambah faktor popularitas memiliki kontribusi yang besar dalam elektabilitas calon di pemilu.

Pragmatisme itu, lalu dimanfaatkan parpol untuk mengusung kerabat atau anggota dinasti yang punya modal popularitas dengan tujuan agar punya peluang memenangi pemilu secara lebih besar. Tambah lagi, sebagian besar keluarga dinasti ini biasanya juga punya modal kuat dan peran dominan dalam membiayai partai, kata Titi kepada Optika.id, Rabu (20/9/2023)

Titi menyebut di beberapa kasus, calon dari keluarga dinasti bahkan sama sekali tidak memiliki pengalaman kaderisasi politik di partai. Akan tetapi, karena faktor nama besar keluarganya, dia dengan mudah bisa mendapatkan tiket pencalonan.

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Adapun alasan lain mengapa publik masih memilih politisi yang jelas-jelas bagian dalam dinasti politik ketika pemilu atau pilkada adalah minimnya informasi atau tracking para calon yang berlaga tersebut. Alhasil, momen tersebut membuat keputusan yang diambil jadi pragmatis dan memilih figure yang mereka kenal saja.

Kebanyakan politisi dinasti, imbuhnya, mempunyai popularitas yang lebih unggul lantaran akses luas pada anggota keluarga yang sedang menjabat. Alhasil, mereka turut kecipratan popularitas dalam aktivitas politik si pejabat.

Di sisi lain, terkait menguatnya dinasti politik ini Titi menilai perlu beberapa regulasi untuk meminimalisasi hal itu. Apalagi dinasti politik yang mengabaikan kaderisasi dan rekrutmen politik yang demokratis. Salah satu caranya adalah menerapkan syarat sebagai kader minimal tiga tahun untuk calon yang diusung oleh parpol.

Syarat lainnya adalah menyertakan bukti keikutsertaan calon dalam program kaderisasi parpol. Adapun jalur perseorang harus sepenuhnya diisi oleh calon-calon nonparpol.

Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Catatan lainnya adalah adanya aturan tegas atas praktik mahar politik dan jual beli suara yang kerap membuat lembaga pengawas pemilu kecolongan. Maka dari itu, harus ada efek jera terhadap para pelakunya. Titi menambahkan bahwa calon dari dinasti politik kerap lengket dengan rumor miring dan stigma adanya praktik transaksional dalam pencalonannya.

Pencalonan dinasti juga kerap kali berkelindan dengan isu politisasi ASN dan penyalahgunaan fasilitas jabatan. Oleh karena itu, UU Pemilu juga harus memastikan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih baik atas dua hal ini. Agar keluarga dinasti yang maju pemilu tidak bisa mempolitisasi birokrasi ataupun memanfaatkan fasilitas jabatan dari kerabatnya yang sedang berkuasa, ucap Titi.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru