Optika.id - Kekerasan apapun bentuk dan jenisnya, dari kekerasan fisik, psikis hingga seksual, siapapun pelakunya baik anak-anak, dewasa, aparat maupun masyarakat yang terus berulang ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. Mengapa lingkaran setan kekerasan masih terjadi bahkan menjadi-jadi.
Baca juga: Retno Marsudi: Israel Memiliki Tujuan Meniadakan Pengungsi!
Apalagi di Indonesia, kasus kekerasan belakangan ini, malah semakin meningkat. Misalnya tawuran, bentrokan, kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat, hingga kekerasan anak.
Menurut Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Abidin Bagir, penyebab terjadinya kekerasan di Indonesia tidak bisa dipukul rata dan tidak bisa disamakan. Pun bagaimana pula cara menyikapinya.
Kasus kekerasan di Indonesia menurutnya harus dilihat satu per satu, harus ditilik satu per satu, dari kasus per kasus itu sendiri. kendati demikian, dia tidak menampik bahwa faktor terpaparnya anak pada tindak kekerasan pada usia dini bisa memicu anak tersebut untuk kembali melakukan tindak kekerasan di masa depan yang menjadikan konflik kekerasan itu sendiri belum benar-benar rampung.
Banyak sekali trauma healing-nya yang belum selesai sehingga menjadikan kekerasan itu seperti lingkaran setan, tak pernah berakhir bahkan berkembang jauh lebih mengerikan, katanya, Senin (25/9/2023).
Tindak kekerasan terhadap anak dapat menimbulkan beragam konsekuensi yang dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar. Hal itu berdasarkan laporan dari The United Nations Childrens Fund (UNICEF) bertajuk Violence against Children in East Asia and the Pacific yang disusun dari 178 studi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Adapun empat kelompok besar yang dimaksud yakni risiko kesehatan fisik, kesehatan mental, keluaran kekerasan serta dampak terhadap pendidikan dan ketenagakerjaan.
Baca juga: Diplomasi Indonesia untuk Palestina, Menlu Retno: All Eyes on Rafah!
Kekerasan terhadap anak, apabila dilihat dalam kelompok kesehatan mental, dapat menimbulkan masalah pada manajemen kemarahan anak tersebut. Di sisi lain, itu membuat mereka yang menjadi korban kekerasan di usia dini pun berpeluang menjadi pelaku kekerasan selanjutnya misalnya KDRT dan perundungan. Hal tersebut, berdasarkan laporan tadi, termasuk dalam kelompok keluaran kekerasan.
Padahal, mengacu pada laporan Global Report 2017: Ending Violence in Childhood, sebanyak 73,7% anak-anak Indonesia yang berumur 1 hingga 14 tahun pernah mengalami pendisiplinan kekerasan atau violent discipline, agresi psikologis serta hukuman fisik di rumah. Alhasil, masih dari laporan yang sama, kekerasan yang dialami oleh mereka di masa kanak-kanak pun lantas diteruskan dari generasi ke generasi. Dari orang tua ke anak, atau saudara kandung ke saudara lainnya sehingga rantainya tidak pernah putus dan menciptakan lingkaran setan kekerasan.
Sementara itu, dalam konteks yang lebih luas, Scilla Elworthy selaku Founder Oxford Research Group bersama Paul Rogers selaku professor studi perdamaian Bradford University menilai bahwa langgengnya kekerasan itu diakibatkan karena tindak kekerasan, selalu dibalas oleh tindak kekerasan yang lain.
Baca juga: Anak Korban Bullying Wajib Diberi Pendampingan
Mereka berdua dalam laporannya yang berjudul The War on Terrorism: 12 month audit and future strategy options (2002), memaparkan bahwa ada tujuh tahapan emosi yang dirasakan oleh manusia yang menyebabkan mengapa kekerasan selalu berulang.
Dampak yang pertama adalah, apabila kekerasan itu terjadi, mereka akan terkejut atas tindakan tersebut. Yang kedua adalah merasa sakit dan takut. Ketiga, merasakan kesedihan.
Selanjutnya, perasaan-perasaan tadi berganti menjadi amarah. Kelima, amarah beralih menjadi kegetiran. Keenam kegetiran berubah menjadi keinginan untuk membalas dendam. Dan terakhir, dendam itu kemudian berujung pada aksi pembalasan yang kemudian kembali pada aksi kekerasan.
Editor : Pahlevi