Optika.id - Tensi percakapan publik baik di media sosial maupun dunia nyata perihal politik dan pilihan calon mulai memanas kendati tahapan kampanye masih belum dimulai. Hal ini mendapat sorotan dari Direktur Eksekutif The Indonesian Institute , Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar yang menilai bahwa sampai saat ini lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia masih belum serius dalam mengurusi kampanye di media sosial. Padahal, hal tersebut bisa menimbulkan polarisasi di masyarakat.
Adapun faktor yang membuat lemahnya pengawasan kampanye di media sosial antara lain masih belum ada regulasi yang mengatur mengenai kampanye politik di media sosial secara spesifik dan jelas. Sementara yang kedua adalah antara KPU dan Bawaslu masih menemui ketidaksinkronan pengaturan dan ketiga adalah bentuk serta mekanisme pemberian sanksi administrative terhadap pelanggaran kampanye di media sosial masih belum memadai.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Kemudian, ada perbedaan penafsiran antara KPU dan Bawaslu terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selanjutnya, terdapat dua tantangan pada aspek sumber daya yakni faktor kemenangan khususnya dalam memberikan sanksi administrative bagi peserta pemilu yang masih belum memberikan efek jera bagi peserta yang melanggar larangan pemilu.
Faktor lain adalah masih minimnya jumlah sumber daya manusia yang terampil dan minimnya sarana prasarana yang dapat menunjang pengawasan kampanye di media sosial, kata Adinda.
Oleh sebab itu, adinda memberikan sejumlah rekomendasi sebagai bentuk solusi agar dilaksanakan oleh para penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
Pertama, KPU dan Bawaslu perlu membuat aturan terknis terkait pemilu dan pilkada yang secara spesifik mengatur kampanye politik di media sosial serta bisa menyelaraskan berbagai peraturan yang telah ada.
Dia menerangkan bahwa Bawaslu perlu memperkuat penegakan sanksi administrative atas pelanggaran kampanye politik di media sosial serta mengumumkan kepada publik secara berkala tentang kasus pelanggaran kampanye di media sosial dan mengeluarkan peringatan kepada peserta yang melanggar peraturan kampanye.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Di sisi lain, dirinya berharap adanya publikasi pelanggaran dan sanksi ini dapat berdampak pada pemberian efek jera bagi peserta pemilu yang melakukan pelanggaran lantaran sanksi ini bisa memengaruhi preferensi pemilih pada pemilu.
KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan sosialisasi mengenai aturan mengenai kampanye politik di media sosial kepada para peserta pemilu agar dapat dipatuhi dengan baik," jelasnya.
KPU dan Bawaslu, ujar dia, perlu melakukan sinkronisasi aturan satu sama lain sebelum aturan tersebut diimplementasikan di lapangan. Di sisi lain, kedua lembaga penyelenggara pemilu itu harus bisa menyamakan persepsi mengenai definisi kampanye, definisi media sosial, materi dan metode kampanye, larangan serta iklan kampanye dan sanksi pelanggaran kampanye di media sosial.
Baca juga: Polwan di Surabaya Tegur Pria Sedang Makan, Ini Penjelasannya!
"Kesamaan pandangan ini diharapkan memberikan kepastian dalam penegakan hukum seperti yang diatur pada PKPU dan Perbawaslu," ungkapnya.
Lebih lanjut Adinda berharap kepada KPU dan Bawaslu agar bisa bekerja sama dengan instansi pemerintah lainnya misalnya Kemenkominfo dan masyarakat sipil serta pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya.
"KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan kolaborasi dengan masyarakat sipil, PSE media sosial, dan para pemangku kepentingan lainnya, untuk mensosialisasikan peraturan tentang kampanye politik di media sosial kepada masyarakat," ujarnya.
Editor : Pahlevi