Gamang Memilih Pindah atau Tetap Bertahan Ibukota?

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Rencana kebijakan pemindahan ibukota dipicu oleh banjir dan kemacetan yang membebani Jakarta selama ini. Adapun rencana pemindahan ibukota juga dimaksudkan untuk pemerataan pembangunan. Keputusan memindahkan ibukota ke luar pulau jawa dipertimbangkan agar Indonesia tidak jawasentris dan diharapkan nantinya pertumbuhan ekonomi bisa merata di setiap wilayah.

Rencana pemindahan ibukota tidak terjadi sekali dua kali, wacana ini terjadi sejak era presiden Soekarno, Soeharto, SBY dan Joko Widodo. Peluang pemindahan ibukota ini semakin besar kala Jokowi kembali menjadi Presiden RI 2019-2024.

Baca juga: Jokowi Soal Pindah ke IKN: Pindah Ibu Kota Jangan Dikejar-kejar

Keberadaan Jakarta memang saling mempengaruhi antar provinsi, kota dan kabupaten di sekitarnya secara ekonomi, sosial, serta ekologi. Tak hanya itu, keberadaan Jakarta dipengaruhi oleh kerja sama antara pemerintah daerah di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Di sisi lain, rencana pemindahan ibukota baru dinilai tidak membicarakan evaluasi serta efektivitas pemerintah daerah dan pemangku kepentingan guna menyelesaikan aneka masalah di era otonomi daerah yang telah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun ini.

Pertanyaannya, Apakah otonomi daerah kurang berjalan sehingga masalah di Jabodetabek tidak kunjung selesai atau malah bertambah? Apakah otonomi daerah belum mampu mengungkit potensi ekonomi daerah sehingga pemerataan sulit diwujudkan? Bagaimana kerja sama daerah membantu menjawab kedua pertanyaan sebelumnya? 

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, membangun sebuah kota baru tak bisa dalam waktu yang pendek. Pembangunan untuk menjadi kota yang tumbuh kembang, kata dia, bisa sampai 20 hingga 30 tahun.

Dalam skala serta dimensi yang berbeda, kawasan perkotaan yang lain juga berpotensi memiliki masalah yang serupa dengan Jabodetabek, untuk itu evaluasi terhadap efektivitas otonomi daerah harus dilakukan guna mengatasi masalah pemerintah daerah di kawasan Jabodetabek yang bergantung pada Jakarta. Keberhasilan penyelesaian beragam masalah dalam kerangka otonomi daerah di provinsi, kota dan kabupaten di Jabotabekjur akan menjadi pelajaran baik untuk mengantisipasi potensi masalah yang sama di kawasan perkotaan Indonesia lain. 

Mengingat tujuan pemindahan ibukota dan penyelenggaraan otonomi daerah sama yakni pemerintah lebih inovatif dan mandiri untuk mengurangi masalah di daerah serta mampu meningkatkan pemerataan di daerah, maka penyelenggaraan otonomi daerah perlu dievaluasi terlebih dahulu. Bisa jadi, ibukota negara tidak harus pindah, melainkan pemerataan otonomi daerahnya saja yang harus diperbaiki, ucapnya, Sabtu (30/9/2023).

Jakarta Sebagai Mesin Pertumbuhan 

Baca juga: Muhammadiyah Ingin Dirikan Kantor hingga Fasilitas Kesehatan dan Pendidikan di IKN

Sebagai ibukota dengan beragam fungsi seperti politik, keuangan, perdagangan, industri, budaya dan lain-lain, Jakarta adalah mesin pertumbuhan pembangunan. Hal ini membuat Jakarta tumbuh pesat melampaui kemampuan fisiknya hingga menjalar ke keluar batas administrasi memasuki provinsi Jawa Barat serta Banten yang dikenal Jabodetabek.

Kepadatan orang serta aktivitas di Jakarta tentu membutuhkan tempat. Adanya peningkatan infrastruktur transportasi, kota-kota mandiri yang tumbuh di pinggiran Jakarta pun menjadi tempat tinggal karyawan dan pekerja dari ibukota.

Kota mandiri tersebut dilengkapi dengan infrastruktur pendukung seperti kawasan perumahan, pusat perbelanjaaan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Ketika Jakarta mengetatkan aturan lingkungan dan menyusul mahalnya harga tanah, sebagian manufaktur juga ikut bergeser ke pinggiran ibukota. Kawasan industri baru juga tumbuh di Bogor, Tangerang dan Bekasi. 

Beberapa masalah serius membebani internal Jakarta seiring perkembangan pesat Jakarta ke pinggiran seperti banjir dan kemacetan. Macet telah menjadi peristiwa harian di Jakarta serta kota tetangga. Jakarta juga kerap kali mengalami banjir, baik dari kiriman maupun luapan kali Ciliwung. Dampak macet dan banjir ini menimbulkan kerugian besar secara sosial ekonomi. Seperti rincian dari Bappenas menyebut bahwa kerugian ekonomi sebesar Rp65 triliun. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan kerugian tersebut mencapai Rp100 triliun.

Baca juga: PKS Meminta Maaf ke Warga Jakarta Usai Batal Dukung Anies-Sohibul: Ini Rasional!

Dampak lainnya adalah menguatnya ketimpangan ekonomi Jabodetabek dengan sebagian daerah di Jawa Barat dan secara umum dengan daerah di Banten yang tidak tergabung ke dalam wilayah Jabodetabek.

Adapun ketimpangan yang terjadi dengan luar Jawa masih terjadi kecuali dibandingkan dengan daerah penghasil minyak atau batubara. Oleh karena itu, ibukota harus dipindahkan di lokasi yang lebih ke tengah agar mudah diakses dari seluruh penjuru Indonesia.

Dengan memanfaatkan serta memaksimalkan otonomi daerah, beban Jabodetabek sedikit demi sedikit dapat dikurangi. Otonomi daerah ini mengatur tentang penyelenggaraan daerah termasuk kerja sama antar daerah yang dapat mengurangi dampak fragmentasi dan kesenjangan.

Kerja sama dapat meningkatkan kepaduan dan keselarasan. Bersama-sama dengan UU 26/2007 tentang Tata Ruang yang masih bersifat hirarkis mengharuskan perencanaan tata ruang di tingkat administrasi yang lebih rendah harus menyesuaikan dengan perencanaan tata ruang administrasi yang lebih tinggi. 

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru