Optika.id - Kekerasan terhadap perempuan secara berulang kali patut menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Hal ini dikarenakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan secara berulang tersebut bisa berujung pada femisida.
Menurut Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, femisida ini merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dinilai paling ekstrem dan sadis yang berujung pada kematian.
Baca juga: Dorong Kemandirian Pasca Lepas, KemenPPPA Minta Lapas Bekali Napi Perempuan Pelatihan Kewirausahaan
Adapun kekerasan ini didasari adanya ketimpangan relasi kuasa, agresi, serta munculnya rasa superioritas terhadap perempuan.
Jika kekerasan ini terjadi terus, bisa saja berujung femisida atau kekerasan yang berujung pada kematian seseorang, dan kasus ini sudah banyak terjadi dalam beberapa tahun terakhir, kata Siti, dalam keterangannya, Senin (16/10/2023).
Berdasarkan keterangannya, dia mengaku sejak 2017 pihaknya sudah mulai melakukan pemantauan melalui pemberitaan online terkait kematian pada perempuan yang berkaitan dengan femisida.
Sementara itu, berdasarkan pantauan dari media, pada periode Juni 2021 2022, ditemukan sebanyak 307 kasus. Dari 307 kasus yang ditemukan, terdapat 84 femisida pasangan intim yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, atau mantan pacar.
Ada sejumlah alasan yang membuat mengapa seorang laki-laki tega melakukan femisida hingga berujung membunuh pasangannya. Dalam beberapa kasus yang ditemui oleh Komnas Perempuan Indonesia, alasan-alasan tersebut antara lain cemburu, korban meminta cerai, pelaku yang kesal dengan korban, ketersinggungan maskulinitas, faktor ekonomi, KDRT hingga tewas dan lain-lain.
Salah satu kasus terbaru yang menimpa wanita di Surabaya, di mana dia mengalami kekerasan dari kekasihnya dan berujung kematian pada korban, ini yang perlu kita pahami bersama, ucap Siti.
Baca juga: Femisida Masih Dimaklumi Masyarakat Karena Stigma dan Status Korban
Meski dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat, namun Siti menyayangkan bahwa masih banyak yang tidak sadar dan tidak mengenali femisida. Bahkan, kekerasan yang berujung femisida ini masih belum dianggap serius oleh pemerintah.
Padahal, Siti menyebut jika pihaknya bersama dengan Komite CEDAW sudah mendorong pemerintah membentuk femicide watch. Tugasnya adalah untuk mempublikasikan laporan tentang femisida, serta upaya-upaya yang telah dilakukan oleh negara untuk mencegah dan menanganinya.
Lebih lanjut, pihaknya juga mendorong agar pemerintah mempersiapkan skema penanganan khusus untuk femisida. Karena, karakteristik femisida berbeda dengan pembunuhan biasa.
Dengan demikian, diharapkan hukumannya bisa proporsional serta ada jaminan dukungan terhadap pemulihan keluarga korban. Khususnya, jika perempuan yang dibunuh adalah seorang kepala keluarga atau penopang keuangan anggota keluarga lainnya.
Baca juga: Tak Hanya Perempuan, Kaum Laki-Laki juga Wajib Belajar Literasi TPKS
Untuk saat ini hukuman bagi pelaku femisida mengacu pada ketentuan dalam tindak pidana pembunuhan atau tindak pidana penganiayaan yg menyebabkan kematian, ujarnya.
Dirinya juga menyarankan agar apabila seseorang terjebak dalam relasi pacaran atau pernikahan yang abusive, agar berani segera keluar dari hubungan tersebut. Sebabnya, jika mereka terus bertahan dalam hubungan tersebut, maka mereka akan terus menerus menerima kekerasan secara berulang dari pasangan yang seharusnya mencintai, mengasihi dan melindungi mereka.
Mereka juga harus berani melapor jika mengalami kekerasan apapun dalam hubungan mereka, sebab jika mereka tidak berani dan tidak dibantu, mereka akan terus mengalami kekerasan, papar dia.
Editor : Pahlevi