Optika.id - Menjelang tahun politik 2024 yang sudah di depan mata, kontestasi pemilu kian menghangat dengan arus politik dari masing-masing tokoh yang tidak bisa ditebak karena manuvernya tiba-tiba. Baik untuk koalisi maupun parpol itu sendiri
Menurut Dosen Komunikasi Politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, pemilihan mitra koalisi tidak akan selalu memengaruhi kepada elektabilitas parpol. Pasalnya, Dedi mengamati bahwa pemilih Indonesia terbagi mnejadi dua. Yang pertama adalah pemilih berbasis partai yang memang loyal dan yang kedua adalah pemilih yang melihat figure.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Adapun pemilih berbasis partai yang loyal ini memang umumnya merupakan loyalis partai besar seperti Partai Golkar, dan PDIP. Sementara yang melihat figure lebih melihat ketokohan orang tersebut dibandingkan dengan partainya. Yang kedua ini lebih cenderung memiliki kelekatan atau kewibawaan sehingga pemilih yang kedua ini kerap menggunakan emosionalnya.
Sisanya lebih banyak kecenderungannya memilih tokoh daripada parpol. Dengan kondisi itu, saya kira komposisi koalisi bisa saja mempengaruhi, tetapi tidak signifikan. Kenapa? Karena lebih signifikan lagi kalau tokoh yng lebih menonjol lebih dulu kemudian tokoh inilah yang akan mempengaruhi koalisi berhasil atau tidak," kata Dedi, Selasa (17/10/2023).
Misalnya pemilih berbasis tokoh yakni PKB. Pada masa lalu, PKB gemar menggunakan figure publik misalnya Rhoma Irama dan Zainuddin MZ untuk memobilisasi massa dalam mendukung PKB dan menarik pemilih, utamanya pemilih pemula. Strategi PKB tersebut terbilang cukup sukses dan ditiru oleh sejumlah parpol saat ini meski akhirnya tokoh tersebut tidak diperhatikan lagi dalam parpol. Menurut Dedi, parpol tidak akan ambil pusing dalam memilih mitra koalisi pasalnya mereka lebih mengejar kemenangan dalam pemilu.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Maka dari itu, dia menegaskan bahwa koalisi tidak akan melihat platform parpol, tetapi mereka melihat bagaimana cara memenangkan pemilu itu sendiri.
Sejauh ini koalisi parpol memang untuk kepentingan kekuasaan, bukan untuk nilai dasar perjuangan, itulah sebabnya koalisi dinamis, tidak tetap sebagaimana di negara lain," kata Dedi.
Dedi menambahkan, selama parpol hanya mementingkan ego parsial, maka untuk menang agar berkuasa menduduki parlemen akan pupus perlahan pasalnya akan aada masa di mana pemilih sudah skeptic kepada parpol.
Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
"parpol saat ini mungkin sudah menyadari, dan itu menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak ingin penghapusan ambang batas karena bisa jadi ancaman di mana parpol minim kuasa di masa mendatang, pungkasnya.
Editor : Pahlevi