Ali Safa'at: MK Sudah Tak Punya Kepercayaan di Ruang Publik

Reporter : Danny
Dok. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Optika.id - Putusan MK menjadi persoalan yang membuat perhatian, mulai dari elite politik sampai masyarakat keluarga. Banyak yang membuat meme, mahkamah keluarga, paman datang dan lain sebagainya. Ali Safa'at mencoba membuat catatan untuk menyampaikan persoalan ini walaupun judulnya bagaimana putusan MK tidak bisa melepaskan konstruksi secara keseluruhan. Dimulai dari utusan PUU yang sebelumnya sudah ada eksaminasi yang dilakukan UGM, sampai pada salah satunya adalah mantan hakim konstitusi.

Mungkin sudah banyak diskusi mengenai putusan ini, terkait dengan batas usia capres cawapres. Ada soal prosedur disenting opinion Arief Hidayat juga soal pembatalan, dicabut dan diterima. Karena itu ada persoalan permohonan yang terakhir kali tidak di tandatangani. Pelanggaran terhadap prinsip harus mendengarkan semua pihak, walaupun perkara yang sifatnya kontentious. Mengadili norma dan presiden bukan pada pemohon, walaupun dalam prakteknya selalu berhadapan.

Baca juga: Megawati Respon MK: Ternyata Hakim Masih Punya Hati Nurani dan Keberanian!

UU MK dapat meminta keterangan DPR, MPR dan Presiden. Prinsip ini sangat penting dalam putusan 90 kemudian mengalami putusan berbeda. Dalam putusan pertamanya, itu merupakan wilayah pembentuk UU untuk menentukan berapa batas usia. Putusan ini mengabulkan dengan memberikan persyaratan yang bersifat alternatif berupa pengalaman.

Putusan pertama mendengar keterangan dari Presiden dan dengan DPR begitu dimana sebelumnya dalam pembahasan putusan tersebut atau mempelajari keterangan DPR dan Presiden tidak ada halangan kalau usianya.

"Konflik interest, mustahil tidak diketahui adalah Mahkamah Konstitusi Anwar Usman karena persoalan konflik off interest banyak menyoroti sejak beliaunya melakukan pernikahan dengan adik Presiden. Kemudian potensi ini konflik harusnya hakim bersangkutan mengundurkan diri, pada perkara gelombang pertama Anwar Usman tidak ikut memutus. PUU 21/2023 justru yang bersangkutan ikut memutus," kata Ali dalam pantauan Optika.id saat diskusi melalui YouTube Forum Insan Cita, Minggu, (5/11/2023). 

"Ketiga, argumentasi mengapa putusan ini harus dikabulkan dan tidak cukup memberikan jawaban untuk mengubah pendirian mahkamah sebelumnya meletakkan usia itu sebagai open leader policy. Secara rasional menerima argumentasi, jadi itu sama sekali tidak disentuh bahwa yang berpengalaman ya boleh-boleh saja. Saya yakin sudah membaca putusannya. Sampai membuat arsiran diagram kalau dengan konfigurasi yang ada maka putusannya itu menolak dan tidak mengabulkan," ujarnya lagi. 

Saat ini, masyarakat bisa merasakan sudah tidak ada lagi kepercayaan, atau justru percaya MK untuk menjadi bagian alat mencapai skema politik tertentu. Dalam kondisi seperti ini, mahkamah konstitusi akan memutus hasil pemilihan umum maupun hasil pemilu dan pemilihan lain. Tanpa adanya keputusan besar, MK kehilangan legitimasinya dan itu tentu akan sangat rawan pada saat misalnya terjadi perselisihan kemudian MK tidak percaya.

Meskipun ada yang tidak puas, keputusannya sekarang tidak bisa diterima. Setidaknya lalu menyetujui. Kalau dulu caleg masih mau membawa ke MK, untuk saat ini memasukkan ke MK jika tidak ada perubahan besar bukan merupakan alternatif. Dan arahnya bisa dibaca, setidaknya ada prasangka. Itu menjadi penting terhadap apa yang keputusan dibuat.

Baca juga: Peluang Jadi Kader PDIP, Ini Respon Anies!

"Konflik off interest itu sudah diatur dalam kode etik mahkamah konstitusi. Kasus ini, pada intinya terkait pada posisi memiliki hubungan dengan salah satu cawapres dan itu pasti disadari. Semua orang bisa membicarakan, melanggar prinsip independensi. Hakim konstitusi harus menjaga dan menunjukkan sikap independen," tegasnya. 

"Untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap MK, selain posisi sendiri konflik interest adalah pernyataan saat memberikan kuliah umum. Pemimpin muda itu bagus, dalam PMK itu salah satu pelaksanaannya harus mengundurkan diri dari pemeriksaan satu suara. Mengakibatkan tidak terpenuhinya forum," tambahnya. 

Tidak lalu menguji pihak secara individual tetapi di dalam peraturan ini yang ditegaskan adalah memiliki kepentingan langsung. Jika dikabulkan menjadi cawapres, jika tidak dikabulkan tidak akan menjadi cawapres. Nalar publik pasti tau kalau masih dilakukan, berarti ada kesengajaan. Saya kira tidak bisa ditolak, bagaimana akibatnya sebetulnya ada kekuasaan kehakiman. Di dalam pasal 17 ayat 3, para pihak bisa mengganti hakim dengan perkara yang sedang disidangkan.

"Perkara sebagaimana dimaksud, yang memiliki konflik kepentingan harus diperiksa dengan majelis hakim berbeda. Ada juga argumentasi yang menyampaikan dengan pasal 13, artinya putusannya tidak sah. Batal demi hukum atau sebagainya. Siapa yang akan menyatakan hal tersebut," jelasnya. 

Baca juga: KPU Segera Terbitkan Aturan di Setiap Daerah untuk Patuhi Putusan MK

"Kalau kita mengikuti putusan tanggal 7, bahwa putusan itu akan dihukum atau biasa saja. Apa saja wewenang majelis MK dimana disebutkan bahwa kewenangan dari Majelis Kehormatan menjaga kehormatan Mahkamah adalah memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran kode etik. Yang diadili bukan perkaranya, sudah disebutkan tadi khususnya sistem independensi dan tidak keberpihakan. Kalau di PMK tentang majelis kehormatan kemudian sanksi pemberhentian, menyatakan tata cara pemberhentian dengan tidak hormat dengan alasan melanggar kode etik," ungkapnya dengan nada tegas. 

Sebenarnya, putusan MK tidak terlalu mengubah secara mendasar terhadap tatanan keadilan dan seterusnya. Ali meyakini semua orang memiliki pandangan tentu akan memperkaya perspektif terkait dengan putusan MK tersebut. Etika berbangsa itu lebih tinggi, memang tidak ada larangan tapi konflik interest itu mewajibkan Anwar untuk mundur. 

"Sebetulnya pelanggaran kode etik dapat menjadi kode dasar untuk memutus upaya banding atau kasasi itu dengan salah satu bukti yang diajukan adalah putusan bahwa terjadi kode etik. Putusan itu tidak bisa membatalkan itu, dibatalkannya lewat tingkat banding. Nah, problemnya putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir. Dengan sendirinya adalah yang bisa mengubah adalah Mahkamah Konstitusi itu sendiri dapat melalui permohonan baru yang tidak salah ada beberapa permohonan baru terkait batas usia ini atau melalui Majelis Kehormatan MK," pungkasnya. 

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru