Optika.id - Menjelang tahun politik 2024, keberadaan buzzer politik telah merebak di sosial media. Berbagai narasi dikumandangkan oleh para pendengung dari kandidat tertentu untuk menjatuhkan lawan dan meraih citra baik bagi kandidat yang diusungnya. Namun, dari berbagai kontroversi yang ditimbulkan oleh kehadiran buzzer politik ini, sejak kapan awal mula buzzer politik eksis?
Istilah buzzer tanpa menyematkan embel-embel politik sebenarnya sudah muncul di Indonesia sejak tahun 2009 selaras dengan kehadiran media sosial Twitter saat itu (kini berganti nama menjadi X). jumlah pengguna media sosial yang melonjak secara signifikan kemudian menyebabkan arus informasi semakin cepat. Alhasil, momentum tersebut yang semula dipakai untuk mempromosikan produk dan jasa yang konotasinya positif, kemudian berubah dengan cepat.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Adapun pergeseran ini dijelaskan oleh Shiddiq Sugiono dalam penelitiannya yang berjudul Fenomena Industri Buzzer di Indonesia: Sebuah Kajian Ekonomi Politik Media, dikutip Optika.id, Rabu (29/11/2023), dia menulis bahwa buzzer kerap disematkan cap buruk sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada tahun 2012 silam. Sebelumnya, para buzzer ini menjadi bagian strategi pemasaran usaha. bahkan, ketika Pilkada 2012 telah berakhir, eksistensi buzzer politik masih terus berlanjut hingga saat ini.
Bahkan, campur tangan buzzer politik ini kian berlanjut dan meramaikan dinamika Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Topik yang secara umum mereka angkat pada tahun-tahun tersebut adalah isu identitas sehingga menimbulkan polarisasi dan berakibat perpecahan di tengah masyarakat.
Meskipun buzzer politik ini menuai pro kontra hingga stigma yang buruk bagi ekosistem demokrasi, namun tak dapat dipungkiri bahwa industri buzzer politik ini menjanjikan. Operasi buzzer politik kini tak lagi sekadar mengandalkan akun-akun anonim apabila ingin mengamplifikasi pesan. Buzzer politik ini juga melibatkan oknum selebriti atau pegiat media sosial populer dan sudah mendapatkan banyak pengikut di media sosialnya. Orang-orang ini biasanya mengidentifikasi dirinya dengan sebutan influencer.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Dilansir dari reportase ABC pada tahun 2018 silam, buzzer atau influencer ini ditawarkan uang sekitar USD500 untuk satu kali unggahan di media sosialnya. Bahkan, aktivis politik, Denny Siregar mengaku jika dirinya pernah ditawarkan USD1.000 per bulannya untuk menjadi buzzer professional.
Tak hanya itu, Inside Indonesia berdasarkan hasil wawancaranya menemukan bahwa satu akun buzzer untuk satu postingannya dibayar sekitar Rp50.000 hingga Rp200.000 per bulannya. Umumnya, para pendengung itu bisa mengelola hingga lebih dari 30 akun. Jadi, dalam sebulan mereka bisa mendapatkan dana hingga RP6 juta per bulannya dari hasil buzzernya itu.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai jika bisnis buzzer politik ini berjalan lancar lantaran diduga ikut menenteng kepentingan penguasa. Berdasarkan laporan ICW, total anggaran belanja pemerintah terkait aktivitas digital mencapai Rp1,29 triliun dalam kurun waktu 2014-2020. Sedangkan pengeluaran untuk merekrut influencer dan membiayai segala aktivitasnya yang terkait dengan rezim melonjak sekitar 80ri Rp17,68 miliar pada tahun 2017 kemudian naik jadi Rp90,45 miliar pada tahun 2020.
Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Laporan ICW tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Shiddiq. Pasalnya, Shiddiq menemukan adanya hubungan antara pihak-pihak yang ingin mencapai tujuan politik dengan menggunakan buzzer. Pemerintah disinyalir ikut memakai para buzzer untuk melawan oposisi dan mempertahankan kekuatannya.
Imbalannya tentu tidak main-main dan sebatas uang tunai saja, melainkan juga jabatan yang prestisius dan dekat dengan rezim. Alhasil, untuk menanamkan cakar legitimasinya, regulasi dipakai pemerintah sebagai pertahanan. Pemerintah dituduh memanfaatkan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Akibatnya, para oposisi pun banyak yang terjerat kasus hukum dengan dalih ujaran kebencian.
Editor : Pahlevi