Optika.id - Sudah lebih dari empat tahun Novita Soraya tinggal di Jakarta. dia merantau dari Tanah Datar, Padang Sumatera Barat untuk bekerja di sebuah agensi kreatif di Jakarta. jauh dari tempat tinggalnya kadang membuat Soraya, sapaannya, merasa kesepian.
Meskipun dia dikelilingi oleh teman-teman yang selalu memberikan dukungan, namun rasa kesepian karena jauh dari keluarga nyatanya tidak bisa ditampik.
Baca juga: Kesepian Akut, Para Pria Gunakan AI Chatbot Untuk Ngobrol
Gue sering banget ngerasa sendiri. Biasanya kalau ngerasa kesepian, yang bisa gue lakuin cuma nangis aja sih, ucapnya pada Optika.id, Jumat (29/12/2023)
Dia merasa selama ini masih belum ada teman dekat yang bisa menjadi tempatnya untuk berkeluh kesah. Di sisi lain, dia mengaku jika mengalami trauma dengan seseorang yang membuatnya jadi enggan membuka diri dan bercerita masalah pribadinya kepada orang lain. alhasil, kondisi tersebut membuatnya kian merasa terisolasi dan merindu pada kampung halamannya.
Rasa kesepian yang dialami oleh perantau ini kerap berakar pada harapan yang tidak selaras dengan realitas. Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini Hermawan.
Proses adaptasi bagi perantau bisa menjadi sangat sulit, tutur Sani, dalam pesannya, Jumat (29/12/2023)
Proses adaptasi yang dia maksud yakni terkait dengan upaya membangun hubungan yang erat dengan lingkungan yang baru. karakteristik para perantau dnegan penduduk tetap atau warga lokal, sebutnya, tentu berbeda secara signifikan sehingga adaptasi atau penyesuaian yang diharapkan bisa membangun hubungan dengan lingkungannya masih belum tercapai sesuai dengan harapan.
Hal ini bisa menjadi pemicu utama terjadinya kesepian pada perantau. ujar psikolog anak, remaja, dan keluarga itu.
Sementara itu, menurut Sosiolog dari Universitas Nasional (UNAS), Nia Elvina mengatakan bahwa banyak perantau yang terpisah dari keluarga atau teman dekat mengalami perubahan lingkungan sosial yang signifikan. Alhasil, hal tersebut mengakibatkan perasaan kesepian pada mereka yang jauh dari rumah.
Baca juga: Pandemi dan Rasa Kesepian yang Mengancam Umat Manusia
Pertumbuhan yang cepat dan urbanisasi di wilayah seperti Jabodetabek dapat menciptakan jaringan sosial yang tidak stabil. Banyak orang datang dari luar daerah dan proses adaptasi sosial bisa menjadi sulit, kata Nia.
Apalagi, hal tersebut diperparah dengan adanya kesenjangan budaya dalam penggunaan teknologi. Saat ini, sebutnya, seseorang cenderung lebih memilih bergaul secara virtual seperti lewat media sosial. Maka dari itu, setiap ada notifikasi grup, orang tersebut biasanya langsung memberikan respons dan lain sebagainya.
Sejatinya, teknologi dalam bentuk hp (handphone) atau lainna, digunakan sebagai alat untuk memperlancar interaksi atau komunikasi sesama masyarakat, bukan menjadi tujuan, imbuhnya.
Sejauh pengamatannya, generasi saat ini banyak yang terperangkan dalam relasi sosial virtual yang cenderung dangkal. Maka dari itu, fenomena ini kemudian mengarah pada kurangnya ikatan sosial di dunia nyata yang berakibat individu tersebut merasa terisolasi di tengah masyarakat.
Di dalam kereta atau tempat umum lainnya, interaksi langsung antarindividu semakin menurun. Banyak orang lebih tertarik pada layar ponsel masing-masing, yang mengakibatkan kurangnya komunikasi langsung atau interaksi sosial ang substansial di antara mereka, tutur Nia.
Baca juga: Apa Itu Toxic Family dan Indikasi dalam Kehidupan Sehari-Hari?
Terlepas dari itu, kesepian yang kerap dialami oleh para perantau ini tentunya bisa mengakibatkan stress yang tinggi hingga depresi dan berpotensi menurunkan kesejahteraan mental.
Dampak kesepian pada perantau tidak dapat diabaikan, tegasnya.
Ia menyarankan, untuk mengatasi kesepian pada perantau dapat dilakukan dengan membangun koneksi sosial yang lebih erat.
Mendapatkan dukungan emosional dan menyesuaikan harapan dengan realitas yang dihadapi, pungkasnya.
Editor : Pahlevi