Optika.id - Salah satu topik yang sering disebut dalam debat pemilihan presiden (Pilpres) 2024, Minggu (21/1/2024) lalu oleh ketiga calon wakil presiden (cawapres) adalah hilirisasi. Cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka selalu menggembar-gemborkan bahwa solusi dari tiap masalah adalah hilirisasi. Namun, dirinya tidak menjelaskan lebih lanjut strategi yang menyertainya.
Tak hanya itu, Gibran juga mengklaim bahwa hilirisasi telah berhasil menggenjot nilai tambah dari hasil tambang Indonesia. hilirisasi, menurutnya, membuat Indonesia juga berhasil menjadi produsen baterai kendaraan listrik.
Baca juga: Presiden Prabowo Akan Hadiri KTT G20 dan APEC, Wapres Ambil Alih Kendali
Di sisi lain, cawapres nomor urut 01 Muhaimin Iskandar yang akrab disapa Cak Imin menilai bahwa hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini berlangsung secara ugal-ugalan.
Hilirisasi, sejak dimulai 10 tahun lalu dan mulai difokuskan pada tahun 2020 silam, memang telah berhasil mencapai tujuannya. Khususnya di sektor pertambangan demi menciptakan nilai tambah hasil tambang itu sendiri.
Hal ini dibuktikan pasca hilirisasi nikel yang dilakukan tiga tahun lalu. Neraca perdagangan Indonesia bisa surplus selama 43 bulan berturut-turut.
Pada November 2023, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), surplus neraca perdagangan Indonesia menyentuh angka US$2,41 miliar. Sedangkan surplus akumulatif pada periode Januari hingga November 2023 lalu mencapai angka US$33,63 miliar.
Sedangkan dari sisi Investasinya, realisasi investasi hilirisasi hingga kuartal III-2023 menurut catatan dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencapai angka Rp266 triliun. Angka tersebut mencakup sebanyak 25ri total realisasi investasi nasional pada periode sembilan bulan pertama tahun lalu. Apabila dirinci lebih lanjut, realisasi investasi di masing-masing sektor yakni nikel sebesar Rp97,0 triliun, tembaga sebesar Rp47,6 triliun dan bauksit sebanyyak Rp7,1 triliun.
Selain berdampak pada nilai tambah ekonomi, hilirisasi sektor mineral juga turut menyumbang peran penting dalam mendukung transisi energy ke energy terbarukan. Pasalnya, hasil tambang seperti nikel dan bauksit merupakan dua mineral yang menjadi bahan baku untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.
Kendati demikian, di balik nilai tambah ekonomi yang bisa dibilang fantastis tersebut, hilirisasi ternyata menyimpan derita masyarakat kecil. Khususnya bagi mereka yang tinggal di wilayah tambang. Dengan banyaknya kisruh dan polemik pada hilirisasi, utamanya di sektor mineral dan tambang, maka program ini hanya menjadi glorifikasi bagi pihak-pihak tertentu saja.
Pernyataan cawapres 02 yang mengglorifikasi industri nikel dan ambisi hilirisasinya, seperti yang dijalankan pemerintahan Presiden Joko Widodomengabaikan banyaknya persoalan yang terjadi selama ini, ucap Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjutak, dalam keterangannya yang diterima Optika.id, Rabu (24/1/2024).
Hilirisasi, khususnya nikel, telah banyak menimbulkan kerusakan lingkungan, penggusuran tempat tinggal masyarakat adat, hingga pencemaran akut. Leonard menyebut bahwa hal ini terjadi lantaran Indonesia beroperasi dengan skema perizinan berbasis lahan.
Baca juga: Menteri Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto, Siapa Saja?
Per September 2023 lalu, berdasarkan catatan dari Greenpeace Indonesia, ada sebanyak 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektare dan sebagian besar berada di timur Indonesia. selain itu, di beberapa lokasi juga telah terjadi pembukaan lahan besar-besaran serta deforestasi dalam izin konsesi nikel seluas 116.942 hektare. Masing-masing terjadi di luar pulau Jawa misalnya Pulau Sulawesi seluas 91.129 hektare atau setara dengan 20ri total deforestasi Pulau Sulawesi. Dan di Provinsi Maluku Utara dan Maluku seluas 23.648 hektare atau setara 8ri deforestasi di Kepulauan Maluku.
Eksploitasi nikel yang ugal-ugalan juga telah mencemari laut dan udara, imbuh Leonard.
Tak hanya itu, rencana pembangunan 53 PLTU captive batu bara nantinya akan menambah beban daya sebesar 14,4 gigawatt yang mana sebagian besar di antaranya adalah untuk pemenuhan energy smelter nikel. Dan hal tersebut secara jelas juga akan meningkatkan emisi dan pencemaran udara. Akibat dari penambangan serta pengolahan nikel tersebut, sebanyak 882.000 ton limbah berbahaya mencemari Pulau Obi dan daerah-daerah tambang lainnya.
Cadangan nikel Indonesia pun bakal habis dalam 6 tahun hingga 15 tahun saja, imbas dari masifnya pengembangan smelter, ujar dia.
Lebih lanjut, hilirisasi juga makin memperkaya pihak-pihak tertentu, dalam hal ini yakni pelaku usaha tambang yang kebanyakan berasal dari China. Praktik hilirisasi ini, sebaliknya, justru menjadi suatu alat untuk memiskinkan rakyat. Bahkan, janji hilirisasi untuk memperluas kesempatan kerja ini juga tidak jelas bagaimana ujung dan pangkalnya.
Solusi Semu
Baca juga: Prabowo-Gibran akan Dilantik Hari Ini, Apa Isi Sumpahnya?
Sementara itu, menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar menyebut bahwa ketidakberuntungan yang dialami oleh masyarakat di area tambang tergambar sangat jelas dalam tingkat kemiskinan daerah yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS mengeluarkan data tingkat kemiskinan di wilayah sentra nikel kita ini sangat tinggi, seperti di Sulawesi Tengah hingga Maluku Utara, katanya.
Untuk diketahui, pada Maret 2023 lalu, BPS mencatat bahwa presentase penduduk miskin di Sulawesi Tengah naik dibandingkan September 2022 yakni sebanyak 12,41%. Sementara itu, pada Maret 2023, Maluku Utara tingkat kemiskinannya berada pada level 6,46% naik dari Maret tahun sebelumnya yang sebesar 6,23%.
Melihat fakta tersebut, Melky menegaskan bahwa hilirisasi hasil tambang sebagai upaya percepatan hanyalah solusi semu belaka yang ditawarkan oleh para paslon presiden dan wakil presidennya.
Aneh jika menyebut hilirisasi sebagai aksi keberlanjutan. Kami menilai pemilu 2024 semacam solusi palsu untuk mengatasi permasalahan. Ini justru mencemaskan, tutur Melky.
Editor : Pahlevi