Jakarta (optika.id) - Sebagian orang mungkin merasa bahwa putus cinta dengan orang yang disayanginya adalah pengalaman yang sulit dan berat. Pasalnya, tidak mudah untuk melupakan segala kenangan indah yang pernah dijalani berdua dengan mantan kekasih. Maka dari itu, biasanya cara unik dilakukan untuk menghibur hati yang terluka oleh rasa sedih dan kecewa karena putus cinta. Salah satunya adalah mengubah gaya rambut. Hal ini lazim dilakukan oleh perempuan.
Mengubah gaya rambut pasca kandasnya hubungan dengan orang tercinta ini marak usai selebritas dunia, termasuk penyanyi Amerika Serikat, Katy Perry mengubah gaya rambutnya pada tahun 2017 lalu. Alhasil, tren ini pun semakin lazim terjadi dan menandai awal bahwa mengubah gaya rambut usai putus cinta adalah keharusan.
Baca juga: Tren Kecantikan Makin Banyak Bisa Timbulkan Beauty Anxiety
Meskipun demikian, potret budaya pop tentang perubahan rambut usai putus cinta perempuan ini adalah fenomena anyar. Menurut penulis Sadie Stein dalam artikelnya yang dikutip di Jezebel, Jumat (26/1/2024) mengubah gaya rambut pada perempuan yang putus cinta ini baru ada sejak abad ke-20. Perempuan sebelumnya tidak mengubah gaya rambut mereka dengan alasan putus cinta atau stress dengan asmara.
Tindakan katarsis pasca perpisahan menurut Stein ini adalah fenomena baru yang populer terjadi sejak merebaknya film-film remaja pada tahun 1980-an. Menariknya, hal tersebut memiliki hubungan yang jelas dengan gerakan pembebasan perempuan.
Dia mencontohkan, pada potongan rambut tokoh Margaret Maggie McKendrick yang diperankan oleh Maureen OHara dalam film The Parent Trap pada tahun 1961 mungkin adalah yang pertama dalam konteks mengubah gaya rambut usai kandasnya hubungan asmara.
Memenuhi semua kriteria: hasil langsung dari putusnya hubungan, terinspirasi oleh semangat dan kemandirian, dan kebetulan, menyebabkan mantannya terpesona dan pacar barunya merasa terancam, tulis Stein, Jumat (26/1/2024).
Mengubah gaya rambut, termasuk dipotong, diwarnai, atau yang lain, menurut psikolog dari Michigan State University, Ted Schwaba memiliki pesannya sendiri. dikutip dari State News, dia menyebut bahwa meski belum banyak penelitian yang dilakukan perihal orang yang mengubah penampilan mereka setelah putus cinta, namun hal tersebut masuk akal saja lantaran ingin mendapatkan identitas baru.
Ketika berbicara mengenai hubungan, sambung Schwaba, maka orang sering menyatukan identitas diri mereka dengan pasangannya masing-masing. Alhasil, hal tersebut kerap membuat mereka merasa tersesat ketika hubungannya berakhir. Schwaba menyambung, mengubah gaya rambut juga bisa membantu memulihkan perasaan dengan cara menjauhkan diri dari orang yang dikenal selama berhubungan.
Mengubah perilaku kecil, seperti gaya rambut, tidak akan mengubah kepribadian Anda. Tapi itu akan membantu Anda memandang diri sendiri sebagai seseorang yang terpisah dari hubungan masa lalu, kata Schwaba.
Dirinya juga percaya bahwa rasa untuk mengambil kembali kendali diri sendiri memainkan peran penting dalam budaya memotong rambut usai kandasnya hubungan asmara ini. Beberapa perasaan misalnya kecemasan dan depresi, tidak bisa diubah dengan cepat, seperti halnya rambut yang cepat tumbuh. Maka dari itu, dia menilai jika mengubah gaya rambut bisa menjadi pilihan yang baik bagi mereka yang merasa sulit untuk meraih kendali terhadap diri sendiri.
"Ada beberapa hal yang lebih simbolis, yang benar-benar mudah untuk diubah dalam diri kita dan mungkin itulah hal-hal yang paling disukai orang untuk diubah," ujar dia.
Baca juga: Apa yang Dicari Dibalik Tren Kecantikan Ala Korea?
Sementara itu, menurut Psikolog Klinis, Seema Hingorrany dalam Times of India menjabarkan bahwa banyak perempuan yang merasa jika rambut mereka merupakan salah satu hal yang bisa mereka kendalikan sepenuhnya tanpa campur tangan orang lain. Oleh sebab itu, ketika para perempuan itu memutuskan untuk memotong atau mengubah gaya rambut, maka hal yang paling mereka rasakan pertama kali adalah identitas baru yang lebih segar nan cantik.
Di sisi lain, mengubah gaya rambut adalah salah satu cara termudah untuk melakukan perubahan dan perubahannya pun kentara serta bisa diamati.
Potongan rambut yang dramatis akan menunjukkan keinginan untuk melakukan perubahan drastis dan kemudian menyesuaikan dengan kepribadian baru yang kita ciptakan, tutur Hingorrany.
Namun, terlepas dari segala alasan tadi, dikutip dari i-Dvice, Profesor Psikologi dan penulis buku Beauty Sick: How the Cultural Obsession with Appearance Hurts Girls and Women, Renee Engeln menyebut jika mengubah gaya rambut merupakan bentuk perlawanan. Pasalnya, perubahan radikal pada penampilan, terutama mengubah gaya rambut, bisa menjadi salah satu cara untuk menyampaikan pesan bahwa seseorang juga membuat perubahan radikal yang berbanding terbalik dengan kehidupannya yang dahulu.
Bagi seorang peempuan yang melakukan perubahan besar dari rambut panjang menjadi rambut pendek setelah putus cinta, perubahan ini dapat menandakan penolakan terhadap norma-norma tradisional penampilan perempuan. Ini bisa menjadi cara kecil untuk menantang peran gender tradisional, juga tindakan kecil pemberontakan, tutur Engeln.
Baca juga: Ini Bahaya Menggunakan Makeup dalam Jangka Waktu Lama
Alasan lainnya menurut Sosiolog dari Universitas Yale, Rose Weitz dalam JSTOR Daily, yakni rambut sifatnya publik, terlihat mencolok, namun pribadi. Maka dari itu, rambut merupakan hal yang penting dalam posisi sosial perempuan. Apalagi, ada istilah bahwa rambut merupakan mahkota bagi para perempuan.
Rambut merupakan media bagi perempuan untuk melakukan perlawananmeskipun perlawanan tersebut terbatas cakupannya, tutur Weitz.
Dalam penelitian yang Weitz lakukan kepada 44 perempuan terkait gaya rambut mereka, dia menemukan fakta bahwa mereka memanfaatkan rambut bukan hanya sekadar untuk berpartisipasi dalam budaya kecantikan tradisional maupun menegaskan feminitas semata. Namun juga untuk memengaruhi cara orang lain dalam memandang mereka sebagai perempuan.
Seorang perempuan menggambarkan bagaimana ia memotong rambutnya, lalu mendapatkan kembali kasih sayang dari kekasihnya yang baru, yang lain menggambarkan bagaimana mewarnai rambutnya membuat ia dan orang lain dalam hidupnya melihatnya dengan cara yang berbeda, kata Weitz.
Bagaimanapun, imbuh Weitz, hubungan tentunya mempunyai dinamika kekuasaan. Terkadang tubuh perempuan menjadi kanvas, tempat mereka melakukan perlawanan terhadap para lelaki. Namun di saat yang sama, perempuan dipaksa untuk selalu mematuhi norma dan budaya yang memaksa mereka untuk selalu menampilkan feminitas baik melalui busana, tingkah laku, sikap, hingga rambut sekalipun.
Editor : Pahlevi