Koalisi LSM: Pelanggaran Pemilu 2024 Sudah Masuk Kategori Kejahatan Pemilu!

Reporter : Eka Ratna Sari

Surabaya (optika.id) - Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk Keadilan Pemilu menyatakan bahwa berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi dalam proses Pemilu 2024 sudah melewati batas kecurangan pemilu, dan harus disebut sebagai kejahatan pemilu. Koalisi ini menilai bahwa pelanggaran pemilu yang melibatkan penyelenggara negara dari berbagai tingkatan sudah bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu mengungkapkan hasil pemantauannya sejak penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) pada 13 November 2023 hingga 31 Januari 2024. Dalam kurun waktu tersebut, Koalisi LSM menemukan 121 kasus pelanggaran. Angka ini naik 300 persen dibandingkan dengan periode Mei-November 2023 yang hanya mencatat 56 kasus.

Baca juga: Dagelan Kabinet Prabowo: Bau Jokowi dan Kaesang

Begitu kandidat capres/cawapres ditetapkan, ada mobilisasi aparat besar-besaran, ujar Halili Hasan dari Setara Institute, Kamis (8/2/2024).

Koalisi LSM mengidentifikasi tiga bentuk penyimpangan aparatur negara, yaitu pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu, dan pelanggaran profesionalitas. Dari ketiga bentuk penyimpangan itu, Koalisi LSM menetapkan 31 kategori tindakan.

Tindakan pelanggaran yang paling sering dilakukan adalah dukungan aparatur sipil negara (ASN) terhadap kandidat (38 kasus), kampanye terselubung (16 kasus), dukungan terhadap kandidat tertentu (14 kasus), politisasi bantuan sosial (bansos) (8 kasus), dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu (9 kasus), penggunaan fasilitas negara (5 kasus), dan dukungan penyelenggara negara terhadap kontestan tertentu (2 kasus).

Halili menyampaikan, dari segi pelaku, Presiden RI Joko Widodo menjadi salah satu pelaku terbesar penyimpangan atau pelanggaran. Jokowi dinilai telah memobilisasi sumber daya negara untuk pemenangan kandidat tertentu.

Berdasarkan catatan Koalisi LSM, Presiden tercatat melakukan 11 kasus pelanggaran atau urutan keempat dari subjek pelanggar. Pelaku penyimpangan netralitas pertama dilakukan oleh ASN pemerintah kabupaten (13), menteri (13), lurah atau kepala desa (12), presiden, polisi (9 kasus), ASN pemerintah provinsi (8 kasus), anggota TNI (7 kasus), bupati (4 kasus), wali kota (4 kasus), dan camat (4 kasus).

Baca juga: Pertemuan Tertutup Jokowi dan Prabowo: Momen Penting di Solo

Sementara itu, Armand Suparman dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai bahwa aspek terstruktur, sistematis, dan masif sudah terpenuhi dalam berbagai pelanggaran beberapa bulan belakangan.

Aspek terstrukturnya terpenuhi. Dia yang punya kewenangan untuk mengatur anggaran yang dialokasikan, didistribusikan. Di mana dan kapan, siapa saja targetnya. Jadi, secara sistematis ada kebijakan yang menopang, baik langsung maupun tidak langsung, kecurangan-kecurangan yang ada dan itu menguntungkan salah satu pasangan calon, kata Armand.

Sedangkan aspek masif pelanggaran pemilu disebutnya dapat dilihat dari banyaknya kasus terdokumentasi yang terjadi di masyarakat.

Baca juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk

Armand menekankan, laporan Koalisi LSM ini seharusnya menjadi wake up call bahwa proses Pemilu 2024 tidak baik-baik saja. Temuan-temuan yang diperoleh menunjukkan bahwa alat negara digunakan, sumber daya dipakai, jabatan/kewenangan/fasilitas/anggaran/kebijakan juga dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu.

Ini bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu yang seharusnya ditegakkan, kata Armand.

Al Araf dari Centra Initiative menilai bahwa kejahatan pemilu dilakukan sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres. Ia menilai kekuasaan telah mempermainkan konstitusi secara banal dan brutal.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru