Pemilih Pemula Ramaikan Pemilu 2024: Tidak Rasional dan Masih Dipengaruhi Keluarga

Reporter : Uswatun Hasanah

Surabaya (optika.id) - Pemilu 2024 ini menjadi penentu yang mendebarkan bagi rakyat Indonesia dalam memilih presiden untuk lima tahun ke depannya. Di satu sisi, pemilu kali ini juga dimeriahkan oleh jumlah pemilih pemula dari kalangan Gen Z yang cukup besar.

Tahun ini, ada sekitar 46.800.161 pemilih dari kalangan Gen Z atau setara dengan 22,85ri total pemilih Indonesia yang jumlahnya sekitar 204.807.222 orang. Momen ini juga menjadi pengalaman pertama mereka dalam mencoblos pilihan politik masing-masing.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Salah satunya adalah Luqman, remaja berusia 18 tahun di Mojokerto begitu menanti momen pertamanya dalam mencoblos pilihan politiknya. Dirinya mengaku sudah mengantongi nama capres-cawapres yang akan dicoblosnya di bilik suara.

Ada pasti kalau pilihan yang sudah fix, cuma ya masalahnya paling baru paslon capres-cawapres yang saya yakin, kata Luqman ketika berbincang dengan Optika.id di Mojokerto, Selasa (20/2/2024).

Selama ini, dia mengaku tidak absen dalam mengikuti agenda debat capres-cawapres Pemilu 2024. Dia mengaku banyak mendapatkan informasi soal arah visi-misi ketiga paslon dari rangkaian debat yang digelar.

Senada, Nanda (20) juga merasa yakin dengan pilihan paslon capres-cawapresnya. Dia merasa senang dengan atmosfer tempat pemungutan suara (TPS) yang ramai sehingga dia bersemangat untuk datang meskipun hari sedang panas.

Di sisi lain, dia mengaku bahwa pilihannya untuk mencoblos capres-cawapresnya itu didasari dari informasi yang didapat di Tiktok.

Banyak itu konten politik di Tiktok yang bikin saya yakin dan mantap untuk nyoblos salah satu kandidat capres-cawapresnya. Kan saya tahu dan bisa mantap itu ya dari medsos ya. Kalau enggak gitu, saya enggak tahu apa programnya. Tapi yang bingung ya milih caleg. Banyak banget yang enggak jelas, ungkapnya.

Dedi Kurnia Syah selaku Analis Politik Indonesia Political Opinion (IPO) menilai jika Gen Z yang merupakan pemilih pemula memiliki karakteristik yang cenderung FOMO atau mengikuti keriuhan. Isu mana yang sedang ramai dibicarakan dan dibahas publik, maka Gen Z akan cenderung condong berkiblat ke arah yang sama.

Ada semacam kekhawatiran tertinggal tren, sehingga situasi ini jelas tidak rasional, kata Dedi, Rabu (21/2/2024).

Pemilih pemula, sambungnya, merupakan sasaran empuk dari gimik politik dan kampanye remeh-temeh dari peserta pemilu. Akan tetapi, kontestan pemilu di sisi lain juga memiliki kekhawatiran tersendiri dalam menargetkan pemilih Gen Z ini. Yakni takut mereka hanya ikut arus propaganda dan tidak benar-benar memutuskan memilih.

Artinya mereka ramai di masa kampanye tetapi belum tentu hadir atau memilih paslon itu, ujar Dedi.

Menurut dia, pertimbangan generaasi pemilih pemula ini jauh lebih sederhana. Selain karena faktor trend an popularitas, mereka juga bisa dengan sangat mudah tergiring oleh para pemengaruh alias influencer di media sosial.

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Peneliti Psikologi Sosial Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menambahkan bahwa pemilih pemula cenderung dipengaruhi oleh orang terdekatnya seperti keluarga hingga sahabat karib. Mereka pada dasarnya bisa memilih dengan cara mempertimbangkan isu apabila memiliki cukup waktu yang digunakan untuk mendalami gagasan para kontestan pemilu.

Akan tetapi pilihan dan keputusan cepat membuat mereka mengikuti siapa yang didukung oleh orang terdekat, kata Wawan dalam keterangannya, Rabu (21/2/2024).

Wawan menyebut bahwa media sosial yang sering digunakan oleh Gen Z sebagai referensi politik bukanlah merupakan tempat yang aman dan bagus untuk pendidikan politik. Banyak pesohor dan pendengung (influencer dan buzzer) di sana yang memanfaatkan media sosial sebagai tempat propaganda agenda kubu mereka yang cenderung tidak seimbang.

Kita perlu paham, beberapa influencer hadir dengan agenda tersendiri dan membawa dukungan tertentu setelah menjalin kerja sama, beberapa informasi yang pemilih pemula dapatkan bisa jadi bias dan tidak sepenuhnya membantu. Hal ini mungkin saja terhindarkan jika pemilih itu bisa lebih kritis dalam menelaah informasi yang ada, jelas Wawan.

Lebih lanjut, Kunto Adi Wibowo selaku analis politik dari Universitas Padjajaran (UNPAD) mengamati bahwa saat ini para pemilih pemula memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan angkatan pemilih yang lebih tua. Pasalnya, jumlah pemilih rasional saat ini jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah pemilih yang mengedepankan emosional atau kultural.

Hampir sama dengan pemilih senior, kebanyakan adalah memiliki rasional terbatas misalnya memilih karena endorser atau popularitas atau gimik gimik tertentu. Yang rasional mungkin hanya 10-12 persen, sama dengan angkatan sebelumnya, kata Kunto.

Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Gimik politik saat ini menurut Kunto masih menjadi pemicu preferensi pilihan politik pemula. Dan hal ini sejalan dengan banyaknya berbagai konten gimik di media sosial yang menampilkan para kontestan pemilu di dalamnya.

Wawan menambahkan bahwa gimik tersebut berpengaruh pada preferensi pilihan mereka, terutama di Pilpres dan Pileg.

Mereka menggunakan heuristik lah atau istilahnya jalan pintas kognitif jadi yang paling menyenangkan, paling populer, paling banyak dibahas rekan rekannya, itu yang jadi preferensi politik mereka, jelas Kunto.

Lebih lanjut, faktor lain yang memengaruhi preferensi politik Gen Z adalah orang terdekat. Tidak jarang preferensi politik lingkar terdekat menjadi jalan pintas para pemilih pemula ini melabuhkan pilihannya untuk kontestan pemilu tertentu.

Biasanya mereka pertimbangan teman menjadi penting, lalu orang tua, kemudian endorser-endorser merasa relevan ya, sangat mungkin itu tiga kelompok yang jadi pertimbangan mereka, tambah dia.

 

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru