Litbang Kompas, Bagaimana Kepercayaan Publik ke MK?

Reporter : Danny

Jakarta (optika.id) - Di tengah-tengah Mahkamah Konstitusi (MK) memulai persidangan memerika gugatan dua pasangan calon presiden, Anies-Muhaimin dan Ganjar Mahfud, Litbang Kompas, Senin, 25 Maret 2024, melaporkan survei yang diselenggarakannya atas biaya sendiri, 18-20 Maret 2024, yang menunjukkan bahwa sebagian besar atau 69,5 persen publik yakin Mahkamah Konstitusi (MK) mampu menyelesaikan sengketa hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dengan adil.

Dikutip dari Kompas.id edisi Senin (25/3/2024), ada 11,6 persen responden yang sangat yakin, dan 57,9 persen yang yakin MK akan mampu menyelesaikan sengketa dengan adil. Sementara itu, ada 23,7 persen tidak yakin dan 4,5 persen yang sangat tidak yakin, serta 2,3 persen responden yang menjawab tidak tahu.

Baca juga: Litbang Kompas: Jokowi Masih Punya Pengaruh Besar di Pilkada 2024

Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu menyebutkan, tingginya keyakinan publik itu linier dengan kepercayaan publik terhadap lembaga penjaga konstitusi tersebut.

Ketika publik percaya, ini beriringan linier dengan keyakinan bahwa MK saat ini bisa bekerja menyelesaikan perkara-perkara sengketa atau perselisihan hasil pemilu yg masuk ke MK, tukas Yohan seperti dilaporkan oleh Kompas.com, Senin.

Menurut Yohan, keyakinan publik ini juga dipengaruhi rekam jejak MK dalam menangani sengketa hasil pilpres pada edisi-edisi sebelumnya. Apalagi, penanganan sengketa juga diatur secara cukup rigid di mana MK hanya mendapat waktu 14 hari untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Kenapa percaya, karena kan secara konstitusi sudah mengatur batasan waktu di MK itu, MK kan kalau penyelesaian sengketa pilpres dia hanya 14 hari, kalau sengketa pileg 30 hari, katanya,

Survei dilakukan oleh Litbang Kompas pada 18-20 Maret 2024 melalui telepon terhadap 505 responden dari 38 provinsi. Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

Dilaporkan, survei memiliki tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian ± 4,36 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Jajak pendapat sepenuhnya dibiayai oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara).

Sengketa pilpres

Adapun sengketa hasil Pilpres 2024 diajukan oleh dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), yakni pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Kedua pasangan ini sama-sama meminta agar pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming didiskualifikasi karena persoalan syarat administratif terkait pencalonan Gibran yang diwarnai pelanggaran etika berat hakim MK yang juga ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, serta pelanggaran etika para komisioner KPU RI. Di samping itu, mereka juga mendalilkan soal adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam berbagai isu berat, seperti korupsi penggunaan dana APBN untuk memengaruhi pemilih dengan imbalan bantuan sosial maupun uang tunai, ketidaknetralan ASN maupun TNI dan Polri yang mengarahkan pemilih untuk memilih calon tertenu yang ditentukan oleh Jokowi..

Menurut Litbang Kompas, survei pada 18-20 Maret 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar atau 71,2 persen publik masih memiliki kepercayaan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi (MK).

Selanjutnya, terdapat 11,8 persen responden yang sangat percaya, dan 59,4 persen yang percaya terhadap MK. Sementara, ada 19,0 persen tidak percaya dan 4,0 persen yang sangat tidak percaya, serta 5,8 persen responden yang menjawab tidak tahu.

Menurut Yohan Wahyu, kepercayaan publik ini dipengaruhi oleh pergantian ketua MK dari Anwar Usman yang tersandung masalah etik, ke Suhartoyo.

Paman Usman pereburuk citra

Baca juga: MK Sebut 106 Perkara Sengketa Pileg Akan Lanjut Pembuktian!

Hasil survei Litbang Kompas itu juga mencatat bahwa separuh atau 50,1 persen responden mengakui bahwa kasus pelanggaran etik eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mempengaruhi penilaian mereka terhadap lembaga MK.

Separuh responden (50,1 persen) mengakui, kasus pelanggaran etik Ketua MK beberapa waktu lalu memengaruhi pertimbangan mereka dalam menilai lembaga penjaga konstitusi saat ini, jelas tpeneliti Litbang Kompas itu. Sementara, ada 46,9 persen responden yang justru mengaku tidak terpengaruh dengan kasus tersebut.

Kasus pelanggaran etik Anwar Usman sendiri merupakan buah dari putusan MK yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden sehingga Gibran Rakabuming Raka dapat mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Akibat pelanggaran etik, Anwar Usman dicopot dari jabatan ketua MK dan dilarang ikut serta menangani sengketa hasil Pilpres 2024.

Yohan juga melaporkan, responden yang merupakan pemilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo-Gibran cenderung tidak menjadikan putusan tersebut sebagai pertimbangan menilai MK.

Hal ini dinyatakan oleh hampir 60 persen kelompok responden simpatisan Prabowo-Gibran ini, tulis Yohan.

Menurut Yohan, sikap tersebut menandakan ada partisanship atau keberpihakan di kalangan pendukung Prabowo-Gibran terhadap kandidat yang ia usung.

Baca juga: Resmi, MK Gelar Sidang Perdana Pileg 2024 Hari Ini

Survei juga mencatat, pasangan Prabowo-Gibran adalah pihak yang diuntungkan dengan putusan MK yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

Menurut Yohan, sikap partisanship itu sering kali dipengaruhi oleh sikap pilihan politik.

Jadi setiap kita menilai isu, menilai tentang apa pun isu itu, sering kali sentimen pilihan politik itu berpengaruh, itu terbaca juga ketika di jajak pendapat ini, tambahnya.

Sebaliknya, sebagian besar responden pemilih Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mengaku kasus pelanggaran etik di MK menjadi pertimbangan mereka dalam menilai kerja lembaga tersebut.

Dilaporkan, hampir 70 persen responden simpatisan Anies-Muhaimin dan 62,5 persen responden pemilih Ganjar-Mahfud yang bersikap seperti itu.

Sebagian besar dari dua kelompok pemilih pasangan calon ini menyatakan, pelanggaran etik yang pernah terjadi di MK bisa berdampak pada kemampuan lembaga menyelesaikan kasus-kasus sengketa pemilu, tulis Yohan.

Menurutnya, perbedaan sikap itu lebih banyak dipengaruhi partisanship ketimbang faktor demografis lainnya seperti latar belakang pendidikan maupun status sosial dan ekonomi.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru