Pilpres 2024: Konvensi Capres Masih Relevan kah?

Reporter : Seno
IMG-20211102-WA0042

Optika.id - Dalam sejarah perpolitikan tanah air, Partai Golkar lah yang pertama kali menggelar model konvensi dalam menjaring calon presiden menjelang pemilihan presiden tahun 2004. Tetapi, partai berlambang pohon beringin ini justru menafikan model konvensi pada Pilpres 2009.

Pada tahun 2014, Partai Demokrat sempat menjalankan konvensi Capres namun gagal, lantaran elektabilitas para peserta konvensi gagal memenuhi kriteria. Serta tidak menarik bagi parpol yang lain, sehingga tidak mencapai Presidential Threshold. Tahun 2019 tidak ada partai politik yang menjalankan konvensi capres. Padahal, dengan sejumlah kekurangan dalam pelaksanaannya, konvensi tetap merupakan metode cerdas dalam memilih pemimpin nasional, dan cara elegan dalam membangun demokrasi bangsa.

Baca juga: Mahfud Lepas Jabatan, TKN Ingin Prabowo Tetap Jadi Menhan

Kini, meski pilpres 2024 masih 3 tahun lagi, citarasa demokrasi yang akhir-akhir ini meredup oleh perilaku minor dari parpol dan para elitenya, seolah kembali bergairah dengan adanya rencana Partai Nasdem untuk melakukan konvensi.

Menurut Airlangga Pribadi Ph.D, pengamat politik Universitas Airlangga, konvensi calon Presiden masih penting. Tentunya untuk menjaring tokoh dan figur yang mendapatkan dukungan dari bawah.

"Dan konvensi menunjukkan keterbukaan Partai terhadap suara dari rakyat. Konvensi juga perlu disinergikan dengan pola pengambilan kebijakan di internal setiap partai-partai politik," ujar alumnus Murdoch University ini pada Optika, Selasa (2/11/2021).

Ketika ditanya mengenai syarat Presidential Threshold partai politik diharuskan berkoalisi untuk mengusung calon presiden. Airlangga mengingatkan bahwa keputusan terakhir, adalah proses politik tentu perlu mempertimbangkan dinamika aliansi politik. "Namun yang paling penting adalah etika politik bahwa hasil konvensi Partai akan diperjuangkan dalam penentuan calon Presiden dan wakil presiden dalam aliansi dengan partai lain," jelasnya.

Nasdem Ingin Gelar Konvensi

Sementara itu, partai politik Nasional Demokrat (Nasdem) menjadi partai politik pertama yang berencana menggelar konvensi calon presiden untuk Pilpres 2024. Konvensi ini bisa menjadi kesempatan bagi tokoh atau bakal capres non parpol meraih tiket capres atau cawapres pada 2024.

"Konvensi menghasilkan calon presiden terbaik sebagai pemenang konvensi. Dan yang terkahir, dia memastikan mendapatkan tiket untuk mengantarkan mereka sebagai calon resmi," ujar Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Jakarta, pekan lalu.

Orang-orang yang memiliki kompetensi dan integritas dalam memimpin, tapi tak memiliki jalur untuk maju ke Pilpres 2024 akan dipersilakan mengikuti konvensi. Sehingga, konvensi ini bukan hanya untuk orang-orang yang merupakan elite kelompok atau partai politik tertentu.

Untuk itu, dia mengimbau ketua umum partai politik tak maju sebagai peserta konvensi. Sebab hal tersebut dinilainya dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam koalisi nantinya.

"Memang sebaiknya kalau ada konvensi dilakukan, ketua umum partai tidak ikut. Kalau ketua umum partai yang ikut (Pilpres 2024), sebaiknya dia jangan ikut (konvensi)," katanya.

Terkait mekanisme konvensi, dijelaskan oleh Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali. Pertama, Partai Nasdem terlebih dahulu menjalin komunikasi dengan partai politik yang ingin berkoalisi untuk Pilpres 2024.

"Ya, jadi nanti jika kemudian membentuk koalisi di luar, jadi koalisi sebelumnya, lalu diserahkan," ujar Ahmad Ali.

Setelah itu, barulah Partai Nasdem dan koalisinya akan menggelar konvensi untuk menyeleksi bakal capres untuk 2024. Koalisi tersebut akan memutuskan, apakah akan mencalonkan sosok yang diajukan atau tidak.

Namun, jika konvensi tersebut tak menyetujui sosok yang diajukan menjadi calon presiden, barulah partai mendiskusikannya dalam internal koalisi. Hal itu disebutnya merupakan keputusan mutlak dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

"Jika kemudian tidak terjadi kesepahaman antara partai koalisi tentang metode yang akan dilaksanakan secara konvensi, kemudian dilakukan penjaringan yang menjadi domain ketua umum," ujar Ahmad Ali.

Parpol Tak Punya Jago

Hal berlawanan dikatakan Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia), Hendri Satrio. Dia menilai, konvensi capres yang akan digelar Nasdem akibat dari parpol tak punya tokoh yang bisa dijagokan.

Baca juga: Prabowo Sindir Anies dan Ganjar Soal Pertahanan: Jangan Menyesatkan, Memprovokasi, dan Menghasut

"Kalau partai papan tengah cari capres itu karena otomatis mereka tidak memiliki figur sentral atau tokoh yang mumpuni secara popularitas sehingga perlu menjaring para tokoh," kata Hendri dalam keterangannya.

Hendri mengamati konvensi capres bukan kali ini saja dilakukan sebuah parpol. Konvensi pertama kali diadakan di Indonesia oleh Partai Golkar. Tokoh pernah ikut konvensi capres Golkar di antaranya Wiranto, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh.

Wiranto yang saat itu menjadi pemenang konvensi, kemudian oleh Partai Golkar resmi diusung sebagai capres pada Pilpres 2024.

"Golkar lakukan dulu itu efektif dan bagus. Artinya itu jadi jalan tengah di parpol untuk dorong orang yang menurut parpol itu pantas jadi capres," ujar Hendri.

Hendri mempersilakan parpol manapun mengadakan konvensi capres. Dia mengimbau parpol tak perlu cemas prematur soal suara yang bakal diperoleh sang peserta konvensi.

"Masalah menang atau enggak di pilpres belakangan karena itu pilihan rakyat," ucap Hendri.

Namun, Hendri mengingatkan Nasdem agar tak meniru Partai Demokrat. Dalam konvensi yang pernah digelar Demokrat, Hendri menyayangkan tokoh yang telah terjaring malah diabaikan.

"Biasanya penjaringan tokoh ini kalau memang bagus (prosesnya) hasilnya bagus misalnya Dahlan Iskan di Demokrat waktu itu ada Anies Baswedan juga. Sebenarnya kalau dipatuhi bagus, tapi Demokratnya mbalelo enggak patuhi atau teruskan hasil konvensi," ucap Hendri.

Ada 3 Jalur Maju Capres 

Baca juga: Prabowo Sebut Tanpa Kekuatan Militer, Bangsa Akan Dilindas Seperti Gaza

Di kesempatan lain, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda AR mengatakan, bahwa saat ini ada tiga jalur untuk menjadi capres untuk Pilpres 2024. Pertama adalah jalur kepala daerah, seperti sejumlah gubernur saat ini yang memiliki elektabilitas tinggi.

Jalur inilah yang dimanfaatkan oleh Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Saat itu, Jokowi meraih simpati publik saat menjadi wali kota Solo dan kemudian melenggang ke DKI Jakarta, hingga menjadi presiden.

"Ini eskalator politik menuju capres 2024 yang potensial. Khususnya gubernur di Pulau Jawa, yaitu Gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur," ujarnya dalam rilisnya.

Kedua adalah jalur partai politik yang dimiliki oleh para elite di dalamnya. Beberapa nama elite partai yang berpotensi maju sebagai capres adalah Prabowo Subianto, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar.

"Karena partai politik adalah pemilik tiket untuk maju di Pilpres 2024," imbuhnya.

Terakhir adalah jabatan menteri yang dipegang oleh sejumlah sosok potensial, seperti Sandiaga Salahuddin Uno, Erick Thohir, dan Mahfud MD. Menurutnya, mereka memiliki pekerjaan yang dapat dipantau publik, sehingga dapat memperoleh elektabilitas.

"Jadi ini adalah eskalator politik potensial yang kita analisis berdasarkan temuan survei ini dan tergantung siapa mendapatkan momentum politik ini," pungkasnya.

(Pahlevi)

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru