Oleh: Agus Muhammad Maksum
Baca juga: Badai Korupsi Timah: Bagaimana Solusi Agar Rakyat Tidak Tersingkir?
Surabaya (optika.id) - Di tengah gemerlap keraton Yogyakarta, tersembunyi rahasia dan intrik yang mendidih di antara dinding-dinding batu purbakala. Keraton Ngayogyakarta, sebuah simbol kejayaan dan kekuatan, kini menjadi medan pertarungan yang tak kasat mata, pertarungan antara dua kekuatan besar: Patih Danureja, penasihat yang lalim dan cerdik, yang membela tatanan lama dan kerjasama dengan Penjajah Belanda, melawan Pangeran Diponegoro, sang pahlawan rakyat yang berjiwa api, yang menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan penuh bagi tanah Jawa.
Patih Danureja dan Diponegoro awalnya kawan karib sesama santri, bahkan naiknya Danurejo jadi Patih juga atas lobby dan usaha maksimal Pangeran Diponegoro, tapi belakangan Danurejo lebih berkawan pada Penjajah Belanda dan Pangeran Diponegoro tetap hati dan perjuanganya pada Rakyat Jawa.
HB IV diangkat jadi Raja masih belum cukup umur sehingga keputusan Keraton bergantung pada Wali termasuk di anatara Wali adalah Patih Danurejo dan Pangeran Diponegoro
Patih Danureja, dengan jubah kebesarannya, berdiri di salah satu sudut keraton, mengawasi dengan tatapan tajam. Sebagai seorang strategis, ia mengerti keuntungan bersekutu dengan Belanda. Namun, ia juga menyadari bahwa hati rakyat tidak bisa dipenjara dengan kekuatan senjata saja. Di bawah naungan kolonial, ia berusaha mengatur keseimbangan yang rapuh antara kekuasaan dan kepatuhan.
Di sisi lain, Pangeran Diponegoro, dengan semangat yang tak pernah padam, melihat lebih jauh dari sekedar kekuasaan keraton. Baginya, kebebasan adalah nyawa yang mengalir dalam darah setiap Javanese, dan penjajah hanyalah belenggu yang mesti dipatahkan. Setiap kata yang diucapkannya, setiap tindakan yang diambilnya, dipenuhi dengan keberanian dan dedikasi untuk rakyatnya.
Pertarungan ini bukan hanya sekedar pertarungan senjata, namun juga pertarungan ideologi dan hati nurani. Patih Danureja mengumpulkan para penasihat dan penguasa lokal yang masih ragu, mencoba meyakinkan mereka bahwa kerjasama dengan Belanda adalah jalan terbaik untuk mempertahankan kekuasaan dan kemakmuran. Namun, setiap pertemuan rahasia, setiap bisikan di koridor keraton, hanya menambah ketegangan.
Sementara itu, Diponegoro tidak sendirian dalam perjuangannya. Dari pelosok desa hingga penjuru kota, kata-katanya menyalakan api dalam jiwa rakyat. Bau mesiu dan desas-desus perang mulai mengudara, dan tindakan-tindakan kecil pemberontakan mulai terasa. Keraton, yang seharusnya menjadi simbol kesatuan dan kekuatan, perlahan menjadi medan perpecahan.
Konflik mencapai puncaknya ketika sebuah pertemuan diam-diam di keraton diadakan. Diponegoro, dengan segala keberanian, memasuki ruangan, tatap mukanya teguh, menantang setiap penasihat yang berdiri di sisinya. Dengan suara yang bergema di seluruh ruangan, ia memproklamirkan keinginannya untuk melawan Belanda, membebaskan Jawa dari belenggu penjajahan, dan mengembalikan kehormatan keraton sebagai pusat kekuasaan rakyat.
Patih Danureja, terkejut namun tidak tergoyahkan, menanggapi dengan kebijaksanaannya. Ia berargumen tentang risiko dan bahaya yang mungkin terjadi jika mereka menentang Belanda. Namun, kata-kata Diponegoro seolah menyihir ruangan itu, dan satu demi satu, penasihat mulai bergeser ke sisi pangeran.
Keraton, yang pernah menyaksi kan upacara dan perayaan, kini menjadi saksi bisu pertarungan akan nasib bangsa. Dua tokoh, dua visi, dua jalur yang berbeda, namun satu tujuan yang sama: menentukan masa depan Jawa.
"Prahara Keraton: Pangeran dan Pecahnya Singgasana" di warnai meninggalnya HB IV karena diracun, ini adalah cerita tentang dinamika Istana sebenarnya dari babat yang di tulis oleh pelaku yakni Pangeran Diponegoro, dalam perjuangan penuh keberanian, pengorbanan, dan perjuangan untuk keadilan. Di balik kemilau tahta, tersembunyi luka hati yang menjadikan dinamika di balik tembok kekuasaan Jawa.
Editor : Pahlevi