Oleh: Agus Muhammad Maksum
Baca Juga: Prahara Istana: Raja Vs Pangeran dan Pecahnya Singgasana Berujung Perang Jawa
Bangka Belitung (optika.id) - Selama tiga hari saya berada di Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, saya merasakan langsung kesedihan dan kebingungan rakyat di Pulau Timah. Pulau yang seharusnya kaya raya ini kini berada dalam bayang-bayang ketidakpastian.
Dari pesawat yang hendak mendarat, pemandangan sungai dan rawa-rawa yang keruh kecoklatan di tengah hijaunya tanaman sudah menyiratkan duka alam dan rakyatnya.
Bertemu warga mulai dari Pejabat Gubernur hingga tukang ojek dan penjaja nasi goreng, tiada habis mereka bercerita tentang pengelolaan timah yang tidak mensejahterakan mereka.
Gubernur mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi tertinggi di Sumatera yang sebelumnya mencapai 4,5% kini merosot menjadi yang terendah, hanya 1%. Pj Gubernur Dr. Syarizal menjelaskan bahwa penangkapan bos besar pencuri timah, Aon alias Thamron, menyebabkan mandeknya perputaran tambang, termasuk tambang rakyat, sehingga pertumbuhan ekonomi turun drastis hingga minus 3,5%.
Di tengah hati saya berpikir, seharusnya rakyat bersuka cita dengan tertangkapnya bos besar pencuri timah. Namun kenyataannya, mereka justru ikut bersedih dan terkena dampaknya, sehingga putaran ekonomi terganggu.
Seorang driver ojek yang melayani saya selama di Sungai Liat bercerita dengan fasih tentang kesulitannya. "Bang, saya ini baru tiga minggu jadi driver Grab. Sebelumnya saya kerja di smelter timah, sekarang berhenti dan cari hidup jadi tukang ojek."
Medengar intro cerita si abang yang menarik saya ajak berhenti di sebuah warung kopi, dan saya pun absen dari Sidang Ijtima Ulama untuk mendengarkan keluh kesah si abang driver ojek ini. "Bang, kenapa pencuri kelas kakap tertangkap malah bikin ekonomi rakyat berhenti berputar? Bukannya harusnya rakyat senang, pertambangan rakyat mestinya berjaya dengan bermitra dengan PT Timah, perusahaan negara yang diamanahi untuk mengelola timah demi kesejahteraan rakyat."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Si abang driver ojek melanjutkan ceritanya. "Begini, abang ustadz. Penambang rakyat ini pada umumnya menjual hasil tambang pada smelter di luar PT Timah karena harganya lebih bagus. Smelter itu yang mendapatkan izin atau mandat dari PT Timah. Mereka sudah ada kerjasama dengan PT Timah. Smelter-smelter inilah miliknya Bos Besar, Bosnya Harvey Moeis, suaminya Sandra Dewi. Bos besar inilah namanya Aon atau Thamron. Setelah tertangkapnya Aon dan Harvey Moeis, smelter-smelter itu ikut berhenti."
"Bang, harusnya bagus itu. Mestinya PT Timah bisa berfungsi sebagai penerima hasil tambang rakyat secara langsung dan penambangan tetap beroperasi." Namun, kenyataannya PT Timah juga ikut dalam permainan ini, makanya ada pejabat-pejabat PT Timah yang ikut ditangkap.
Cerita si abang driver ojek ini bagi saya merupakan jawaban dari keluh kesah Pak Pj Gubernur yang pertumbuhan ekonominya merosot serta banyaknya rakyat yang kehilangan penghidupan akibat bos besar yang disebut terlibat dalam korupsi senilai 271 triliun rupiah.
Dalam pikiran saya, seharusnya menurut konstitusi, para penambang rakyat ini harusnya memiliki koperasi yang menghimpun para pelaku tambang. Koperasi ini diberi IUP (Ijin Usaha Pertambangan) sesuai ketentuan, termasuk pengelolaan lingkungan pasca penambangan. PT Timah hanya menerima hasil tambang timah dari koperasi yang beranggotakan rakyat pelaku aktivitas tambang.
Jika ketentuan konstitusi dijalankan dengan aturan yang dibuat dan ditegakkan oleh seluruh aparat negara, insya Allah rakyat Bangka Belitung akan sejahtera dengan model koperasi pertambangan. Namun, masalahnya, aparat negara baik yang bekerja di sektor pertambangan maupun aparat penegak hukum ikut bermain dan mencari keuntungan dari situasi yang saling melindungi upaya-upaya ilegal. Akibatnya, kesejahteraan rakyat terabaikan.
Kini, badai korupsi timah ini harus dilihat sebagai peluang besar untuk mengembalikan pengelolaan tambang timah sesuai konstitusi. Mewujudkan koperasi tambang rakyat sebagai solusi adalah langkah konkret yang harus diambil. Hanya dengan pengelolaan yang jujur, transparan, dan sesuai konstitusi, kekayaan alam Pulau Timah dapat dinikmati oleh rakyatnya sendiri, membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi Bangka Belitung.
Catatan Agus Maksum dalam Perjalanan 3 Hari Mengimuti Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI di Pulau Bangka.
Editor : Pahlevi