Oleh: Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts
Surabaya (optika.id) - Kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, segera diikuti oleh serangkaian upaya untuk mengubah UUD1945 agar sesuai dengan tuntutan reformasi, yaitu demokratisasi, desentralisasi, dan pemberantasan korupsi.
Baca juga: Rebuilding Indonesia Anew
Perubahan itu berlangsung sejak 1999 hingga 2002 melalui 4 kali perubahan besar-besaran yang oleh Prof. Kaelan UGM bahkan disebut constitutional renewal atau bahkan replacement. Makar konstitusi ini telah menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, kedaruratan pemerintahan. Institusi-institusi yang semula bersifat inklusif menjadi bersifat ekstraktif. Setelah MPR dilucuti menjadi sekedar joint sessions, partai politik memonopoli jagad politik sehingga sangat berkuasa.
Terjadi banyak maladministrasi publik di mana regulasi dibuat bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan korporasi. Melalui pilihan langsung presiden dan kepala daerah, keterpilihan menjadi mantra, sementara keterwakilan yang bhinneka tunggal ika yang diwujudkan melalui MPR justru tersisihkan.
Presiden terpilih pun hanya petugas partai jika bukan boneka oligarki ekonomi, apalagi gubernur, bupati dan walikota terpilih. MK dan KPK sebagai produk perubahan konstitusi ini terus mengalami krisis etika sehingga agenda reformasi hanya pepesan kosong belaka.
Para die hard jokower yang dulu memujanya, kini berubah menjadi pengkritiknya yang paling keras sambil mengeluhkan terjadinya demokrasi yang dekaden.
Kedua, batang tubuh UUD hasil perubahan ini tidak lagi dipandu oleh Pancasila sebagai norma-norma dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang dinyatakan dalam alinea ke-4 Pembukaan, tapi diganti oleh nilai-nilai liberalisme, kapitalisme, dan individualisme yang disusupkan ke dalam pasal-pasal batang tubuh konstitusi baru itu.
Akibatnya UUD hasil perubahan ini mengandung banyak inkonsistensi sehingga bernilai oplosan yang menghasilkan pemerintahan mbelgedhes. Secara sistem, sistem operasi Republik ini sebenarnya sudah hang sehingga perlu direstart setelah virus-virusnya dibersihkan dan komponen-komponen sistemnya ditataulang.
Ketiga, UUD1945 yang ditetapkan pada 18/8/1945 adalah sertifikat kelahiran sebuah negara bangsa atau nation state. Akibat perubahan konstitusi yang meliberalkan kehidupan politik dan ekonomi, Republik ini berubah menjadi sebuah corporate state di mana para taipan konglomerat domestik maupun asing bersekongkol dengan dengan elite partai-partai politik untuk mengeruk kekayaan bangsa.
Uang berbicara makin keras, sehingga ketimpangan sosial ekonomi semakin parah yang membahayakan persatuan, dan makin menjauhi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: Kekalahan Resmi Politik Islam di Indonesia
Keempat, perubahan-perubahan mendasar atas UUD1945 itu terbukti disponsori asing melalui National Democratic Institute, sebuah LSM AS yang didanai oleh Kemenlu AS.
Penggantian konstitusi itu membuka resmi jalan bagi perampasan kemerdekaan bangsa ini sejak kita berhasil mengekspor rempah-rempah kita dengan armada laut kita sendiri melalui bandar Sunda Kelapa ke Timur Tengah di awal abad ke-17.
Sejak diproklamasikan kembali kemerdekaan itu olen Soekarno-Hatta, bangsa ini belum pernah benar-benar 100% merdeka secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. UUD hasil perubahan ini telah melahirkan bangsa yang terbelah menjadi kaum cebong, kampret dan kadrun seperti penjajah berhasil melakukan devide et impera.
Kelima, Harus ada upaya terus menerus untuk membangun kesadaran bangsa ini bagi generasi muda agar mereka tidak dijadikan korban para free riders politik ekonomi yang sedang membajak masa depan mereka.
UUD1945 sebagai pernyataan perang melawan penjajahan, telah diubah menjadi karpet merah bagi nekolim investor asing. Investasi asing ini diam-diam menjadi invasi asing sehingga cita-cita menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur makin jauh dari kenyataan.
Baca juga: 17 Program Strategis Prabowo
Keenam, untuk menghentikan kegentingan atau kedaruratan kebangsaan dan kenegaran yang akan menjerumuskan republik ini sebagai negara gagal, tersedia 3 opsi cara bertindak yaitu:
1) dekrit presiden oleh presiden terpilih untuk memberlakukan kembali ke UUD1945,
2) konvensi konstitusi dengan membentuk MPRS lalu membentuk presidium, atau
3) revolusi. Pilihan terakhir akan terjadi secara alamiah jika 2 opsi pertama gagal. Pilihan revolusi akan membawa ketidakpastian, kemunduran sosial-ekonomi-politik, atau bahkan mengulang reformasi palsu 1998 dimana Republik Indonesia gagal menjadi negara maju yang mampu memimpin ASEAN untuk mengimbangi kebangkitan China bersama BRICS.
Jemursari, Surabaya 20 September 2024.
Editor : Pahlevi