Rebuilding Indonesia Anew

Reporter : Pahlevi


Oleh: Prof Ir Daniel Mohammad Rosyid

Optika.id - Segera setelah Perang Dunia II berakhir di sekitar 1940an, AS sebagai pemenang perang segera mempersiapkan perang baru yang jauh lebih murah namun lebih efektif yang oleh Bung Karno disebut nekolim. Instrumen terpenting dalam penjajahan baru itu adalah sekulerisasi besar-besaran di banyak negara-bangsa baru yang baru dimerdekakan.

Baca juga: Kekalahan Resmi Politik Islam di Indonesia

Tujuan proyek ini adalah memastikan bahwa khilafah Islam tidak bangkit kembali setelah keruntuhannya pada 1924. Bahkan sejak Proklamasi Kemerdekaan 17/8/1945 Belanda mencoba menjajah kembali Indonesia dengan menumpang NICA sampai KMB 1949 memastikan kedaulatan semu bagi RIS di mana RI diperangkap dalam sistem keuangan riba melalui Bretton Woods institutions seperti IMF dan the World bank.

Hambatan pokok dalam proyek neokolonisasi itu adalah UUD45 sebagaimana ditetapkan pada 18/8/1945 yang telah dirumuskan oleh pikiran-pikiran terbaik bangsa saat itu, yaitu para pendiri bangsa ulama negarawan dari berbagai latar belakang, kecuali komunis, sebagai pernyataan perang terhadap penjajahan dalam bentuk apapun.

Namun setelah pergantian UUDRIS menjadi UUDS yang menghadapi kebuntuan konstitusi, Bung Karno akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD45. Namun kekuatan-kekuatan global memaksa Bung Karno untuk berkelit di antara pengaruh kapitalisme liberal AS dan Barat dengan komunisme otoriterian Rusia dan China.

Kita kemudian menyaksikan kejatuhan Soekarno dan kemunculan Soeharto yang harus mengikuti AS. UUD45 lalu ditafsirkan lebih ke kapitalisme liberal dengan fitur pokoknya adalah demokrasi, dan ekonomi kapitalistik. Kita menyaksikan rangkaian Pemilu dan rangkaian investasi asing yang masuk melalui UU No1 Penanaman Modal Asing 1967.

Lahirlah konglomerat-konglomerat baru yang oleh Kunio disebut sebagai ersatz kapitalist yang besar karena fasilitas dan binaan Soeharto. Indonesia bahkan berhasil mencetak pertumbuhan yang sangat tinggi melebihi 10% pertahun sehingga dijuluki Macan Asia jauh mendahului China yang waktu itu baru memulai membuka diri di bawah pimpinan Deng Xiaoping.

Kebangkitan Indonesia di bawah Soeharto yang makin dekat dengan ICMI terbukti dianggap sebagai ancaman oleh kekuatan-kekuatan sekuler kanan radikal pro-AS di Indonesia sehingga harus dijatuhkan melalui gerakan Reformasi 1998. Gerakan ini dimanfaatkan juga oleh kelompok-kelompok kiri radikal yang mendendam Soeharto sejak peristiwa G30S/PKI.

Capaian terbesar gerakan reformasi ini adalah penggantian total UUD45 menjadi sebuah UUD baru yang sangat liberal kapitalistik namun masih dibungkus dengan nama UUD1945 NRI. Anehnya, sekalipun UUD45 sudah dikubur di bawah kaki mereka ini, masih juga kelompok-kelompok sekuler radikal ini menarasikan Islam sebagai musuh terbesar NKRI dan Pancasila.

Baca juga: Kembali ke UUD1945: Challenges and Responses

Reformasi kemudian terbukti hanya pepesan kosong yang berpuncak pada Jokowisme sebagai hasil pilpres langsung yang hanya menghasilkan presiden petugas partai jika bukan boneka oligarki. Baik elite parpol maupun figur seperti Joko Widodo saling memanfaatkan politik sebagai public goods untuk kepentingan kelompok atau keluarga.

Bahkan Prabowo harus mendirikan Gerindra sebagai kendaraan politik untuk berkuasa melalui sebuah proses yang disebutnya sendiri sebagai panjang, melelahkan, mahal dan brutal. Setelah dua kali pilpres kalah berturut turut, Prabowo harus mengubah siasat untuk memenangkan Pilpres 2024 demi mewujudkan cita-cita politiknya.

Bahkan para die hard Jokowers seperti Gunawan Muhammad, Ikrar Nusa Bakti, Frans Magnis Soeseno, dan Butet Kartarajasa yang semula memuja Jokowi kini menyesalkan dekandensi demokrasi di tangan Jokowi. Namun mereka ini gagal atau tidak mau melihat akar masalahnya.

Hambatan utama yang dihadapi Prabowo sebagai Presiden terpilih adalah tatanan ekonomi politik yang liberal kapitalistik yang dilahirkan oleh UUD2002. Oleh karena itu penting bagi Prabowo untuk mengembalikan tatanan pemerintahan pada cita proklamasi yang dirumuskan dalam UUD1945 yg telah diberlakukan kembali melalui dekrit presiden Soekarno 5/7/1959 yang hingga hari ini tidak pernah dicabut.

Baca juga: 17 Program Strategis Prabowo

Seperti Thaliban melalui Imarah Islamy Afghanistan harus menghadapi ekosistem global sekuler, kapitalistik dan liberal yag tidak bersahabat dengan nilai-nilai dasar yang diperjuangkannya sejak 2021, Presiden terpilih Prabowo akan menghadapi ekosistem politik ekonomi yang berlawanan dengan UUD45. Apakah Prabowo memiliki cukup keberanian untuk menyatakan dekrit kembali ke UUD45 sebagai terobosan hukum untuk mewujudkan paltform politik Gerindra akan kita lihat dalam waktu dekat.

Betapapun instrumental dan stratejik, tentu kembali ke UUD45 sebagaimana diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5/7/1959 itu hanya syarat perlu, neccessary condition, masih belum cukup.

Syarat cukupnya adalah GBHN yang ditetapkan MPR untuk 1) menyediakan pendidikan untuk menyediakan syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka, kompeten, sehat dan produktif, 2) pasar yang terbuka dan adil bebas riba, 3) investasi yang cukup untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berbasis potensi-potensi agro-maritim yang melimpah, 4) birokrasi yang profesional, amanah dan bebas KKN hingga ke daerah-daerah otonom, 5) pasokan energi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 5-7% pertahun selama 10-20 tahun ke depan, dan 6) pemerintahan maritim yang efektif untuk memastikan pembangunan ekonimi yang efisien dan merata ke seluruh pelosok RI.

Kabul, Afghanistan. Senin 7 Oktober 2024.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru