Ma’ruf Amin: Citra Palsu itu Dosa, Bocor Alus Politik: Pencitraan Politik Jokowi Diduga Rp 15 Miliar

Reporter : Pahlevi

Optika.id - Wakil Presiden Maruf Amin dalam pidatonya menyatakan dia ingin dinilai apa adanya. Tidak ingin dicitrakan berlebihan apalagi dicitrakan palsu dan penuh kebohongan, katanya saat menyampaikan pidato perpisahan di acara silaturahmi dan perpisahan Ma'ruf Amin dan Wury Ma'ruf Amin bersama pegawai Setwapres di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (17/10/2024).

"Saya sangat terbatas, tentu sesuai dengan kemampuan yang Allah berikan kepada saya, itu yang bisa saya kerjakan," ucapnya. Lebih lanjut Maruf menegaskan bahwa dirinya tidak ingin menampilkan citra yang berlebihan atau dipoles secara artifisial.

Baca juga: Dosa-dosa Jokowi

"Dan saya tidak ingin dilebih-lebihkan, apa adanya saja. Saya tidak perlu harus dipoles-poles. Kalau orang bilang bagaimana harus dipersonal branding, saya kira tidak perlu. Buat saya apa adanya saja, itu lebih enak," sebut Ma'ruf Amin.

Menurut Maruf dalam konteks agama, tindakan berlebihan atau menciptakan citra palsu merupakan bentuk kebohongan yang tidak dibenarkan.

"Kalau bahasa agama tidak perlu membuat kebohongan-kebohongan, Al iftirah Namanya. Mana yang lebih zalim, kepada Allah daripada membuat kebohongan-kebohongan kepada Allah. Jadi itu, artinya tidak ada yang lebih zalim daripada sesuatu yang membuat kebohongan," sambung dia.

Ia menegaskan, seseorang harus menunjukkan diri sesuai dengan kenyataan, tanpa perlu dilebih-lebihkan.

"Jadi sebenarnya saya itu segini, terus dilebih-lebihkan, itu jangan. Itu namanya membuat kebohongan ikhtiar," kata Maruf di dalam akun X @Chynthia_K (17/10/2024). Baginya, kejujuran dalam kepemimpinan lebih baik daripada membangun citra yang tidak sesuai dengan kenyataan.

"Apalah namanya, personal branding, saya tidak tahu. Apa adanya saja," tandasnya.

Jokowi Lakukan Pencitraan

Menurut podcast Bocor Alus Politik (BAP), tempodot.co, /12/10/2024 Jokowi (Joko Widodo) telah memerintahkan semua jajaran kementeriannya untuk memberitakan tentang keberhasilan Pemerintahan Jokowi selama 10 tahun. Mereka diminta menyebarkan ke seluruh penjuruh Indonesia.

Baca juga: Kunjungi Jatim, Jokowi Resmikan Flyover Djuanda dan RS Kemenkes Surabaya

Ada aksi glorifikasi keberhasilan Jokowi yang harus disebarkan dari pusat kota hingga pulau pinggiran, seperti NTT (Nusa Tenggara Timur). Berbagai baliho, spanduk, tulisan-tulisan yang berisikan Terima Kasih Bapak Joko Widodo dan Ibu Iriana Joko Widodo. Teruslah Menjadi Guru Bangsa.

BAP menduga dana yang diperlukan untuk pencitraan keberhasilan Jokowi itu sekitar Rp 15 miliar. Dengan dana tersebut berbagai kementerian, Lembaga, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), melakukan sejumlah langkah strategis untuk memperkuat citra positif yang ingin ia tinggalkan.

Berbagai kegiatan terus diluncurkan, dengan sorotan media dan publikasi yang semakin intens. Komandonya dari Kemenkominfo, Budi Arie, dan Kantor Kepresidenan yang dipimpin Hasnan Nasbi.

Upaya ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai bentuk personal branding agar Jokowi tetap diingat sebagai pemimpin yang berhasil membawa perubahan besar bagi Indonesia.

Namun, langkah-langkah ini tak lepas dari sorotan dan kritik. Beberapa pihak menilai bahwa di balik gencarnya branding tersebut, terdapat upaya untuk memoles citra pribadi agar Jokowi tetap dikenang secara positif, meskipun tidak semua hasil dari program yang dijalankan sudah sepenuhnya terealisasi.

Baca juga: Wapres Ma'ruf Amin ke Gibran: Kerja dengan Baik, Tantangan Tak Mudah!

Sosok Pengidap Narsisme

Tidak heran kalau Hersubeno Arief dalam podcast Forum News Network, 18/10/2024, menilai Wakil Presiden Maruf Amin sedang menyindir tindakan Jokowi yang melakukan pencitraan. Jokowi ingin dirinya sebagai orang berjasa, penting, berhasil, dan harus diberi ucapan terima kasih.

Tindakan Jokowi ini kata Hersubeno, mengutip pendapat psikologi, dinilai sebagai sosok orang yang diduga mengidap NPD (narsisme personal disorder). Seseorang yang mengalami gangguan kepribadian narsistik.

Glorifikasi keberhasilan Jokowi dalam bentuk baliho, spanduk, tulisan dan narasi di media sosial, dan sebagainya sebagai gejala NPD dimana sosok yang menganggap dirinya lebih baik dan penting daripada orang lain. Orang lain dipaksa dengan rekayasa agar mengagumi, mencintai, dan membanggakan dirinya.

Tulisan: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru