Lewat Presidential Threshold, Cukong Kuasai Negara 'Plutokrasi' ?

Reporter : Seno
IMG-20211115-WA0009

Optika.id, Surabaya - Menanggapi statement Refly Harun Ahli Hukum Tata Negara Universitas Tarumanagara, tentang demokrasi di Indonesia yang telah dirusak oleh 'segelintir elit'.

Seperti yang dikatakannya dikutip dari kanal YouTube-nya, Sabtu (13/11/2021), "demokrasi kita ini dirusak oleh percukongan, dirusak oleh segelintir elit yang berambisi merebut kekuasaan dengan cara mudah dan murah. Dengan cara mudah terutama, yaitu dengan menerapkan misalnya presidential threshold itu. Itu jelas. Agar tidak ada lagi calon yang bisa nyalon selain dua pasangan saja."

Baca juga: Mahfud Lepas Jabatan, TKN Ingin Prabowo Tetap Jadi Menhan

Menurut Dr. Umar Sholahudin pengamat politik Universitas Wijaya Kusuma, negara jika dikuasai para cukong akan menjelma menjadi 'Plutokrasi'. Plutokrasi ini yang akan mengancam kehidupan demokrasi.

Diketahui, Plutokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar kekayaan yang mereka miliki. Mengambil kata dari bahasa Yunani, ploutos yang berarti kekayaan dan kratos yang berarti kekuasaan.

"Riwayat keterlibatan kaum hartawan dalam politik kekuasaan memang berawal di kota Yunani, untuk kemudian diikuti di kawasan Genova, Italia."

"Karena semua bisa diatur dengan uang dan uang. Para cukong memanfaatkan lahan demokrasi untuk mengeruk benefit politik (akses kekuasaan) dan ekonomi, yakni kekayaan berlimpah yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam," tutur alumnus doktoral Universitas Airlangga ini pada Optika melalui chat WhatsApp, Selasa (16/11/2021).

Lebih lanjut Umar mengatakan, dua sumber daya yakni akses kekuasaan dan eksploitasi SDA (Sumber Daya Alam) ini dapat memperkokoh oligarki.

Diketahui, cukong adalah menunjuk kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan besar di Indonesia. Kata ini sendiri berasal dari bahasa Hokkien yang lazim dilafalkan di Indonesia oleh suku Tionghoa-Indonesia. Cukong (zhugong) dalam bahasa Hokkien atau bahasa Mandarin berarti pemimpin, ketua, pemilik atau bos.

Sementara, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat. "Baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk 'sedikit' dan 'memerintah'."

Umar pun menegaskan saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang dalam kondisi plutokratif dan oligarkis.

Ditanya ciri-ciri negara Plutokrasi seperti apa, Umar menjawab, "negara dikuasai para pengusaha atau pemilik modal, tak sekedar menguasai tetapi mengendalikan jalannya pemerintahan dan pembangunan suatu negara."

1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset negara. Umar menuturkan hal ini berdasarkan pada Data TNP2K tahun 2019.

Plutokrasi dan PT Saling Berkelindan

Hubungan 'plutokrasi' dengan Presidential Threshold (PT) seperti apa?

Umar menjawab, pengaturan Presidential Threshold dapat melalui pembuatan regulasi/hukum, bisa dikendalikan oleh para plutokrat dengan sumber daya ekonomi yang berlimpah.

Apakah PT di Indonesia permainan para cukong?

"Tidak menutup kemungkinan, karena faktanya hampir 60 persen lebih anggota dewan adalah pengusaha, makanya produk politik dan hukumnya juga nggak jauh dari kepentingan mereka," jawabnya.

Umar menyarankan mestinya PT nol persen. Tetapi dia juga setuju dengan usul PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang mengusulkan PT turun menjadi 10 persen.

"Mestinya nol persen, tapi moderasinya ya 10 persen, saya setuju dengan PKS, akan memberi ruang politik yang agak luwes kepada partai politik," tukasnya.

Menurutnya angka PT sekarang sebesar 20 persen terlalu besar sehingga menguntungkan partai politik besar.

"Angka itu terlalu besar dan akan menguntungkan partai besar (penguasa)," tutupnya.

PKS Ingin PT Turun Jadi 10 persen

Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ingin Presidential Threshold diturunkan menjadi 10 persen. Sebab, ketentuan ambang batas yang berlaku sekarang membuat PKS kewalahan di pemilihan presiden 2024.

Diketahui, pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan 'Pasangan calon (Paslon) yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.'

"Sayangnya dengan tidak ada revisi UU Pemilu, kami agak kerepotan. Kami PKS berharap Presidential Threshold itu 10 persen saja," ucap Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera dalam diskusi virtual, Sabtu (8/5/2021).

Menurut Mardani, pemangkasan ambang batas presiden akan membuat pilihan capres mendatang lebih beragam. Ia menilai semakin banyak pilihan semakin bagus untuk kontestasi karya dan gagasan bukan perpecahan.

"Kalau cuma dua pasangan maka peluang divided lebih besar. Makanya kita perlu menyelesaikan masalah ini. Yang kami inginkan suksesi nanti kontestasi karya dan gagasan bukan pertarungan. Ini yang harus diatur," imbuhnya.

Sementara, Komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum) Pramono Ubaid Tanthowi sempat mengusulkan agar presidential threshold dikurangi. Menurutnya, ambang batas tinggi memiliki banyak dampak buruk, salah satunya masyarakat menjadi terbelah lantaran hanya ada dua pasang calon.

Baca juga: Prabowo Sindir Anies dan Ganjar Soal Pertahanan: Jangan Menyesatkan, Memprovokasi, dan Menghasut

"Saya sejak awal termasuk orang yang sebenarnya tidak setuju dengan presidential treshold yang sangat tinggi karena dampaknya bisa ke mana-mana, soal masyarakat terbelah," kata Pramono dalam diskusi daring, Senin (25/1/2021).

MPR Dorong PT Dihapuskan

Hal senada dikatakan Wakil Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Syarief Hasan, mendorong agar aturan presidential threshold atau batas pengajuan calon presiden untuk Pilpres 2024 ditinjau ulang. "Aturan ini jelas membatasi partisipasi politik dan hak setiap warga negara Indonesia," tutur Syarief Hasan, Kamis (28/10/2021).

Politisi Demokrat ini menilai konstitusi atau UUD 1945 tidak pernah mengatur batasan persentase tertentu untuk pengajuan calon presiden dan wakil presiden.

Dia mengatakan berbagai batasan atau hambatan yang diatur dalam regulasi pemilu adalah ketentuan yang sejatinya tidak tepat menafsirkan maksud konstitusi. "Dengan kata lain, penghapusan presidential threshold justru meningkatkan kualitas demokrasi sesuai konstitusi," tutur Syarief.

Dia menyatakan di sejumlah negara demokrasi aturan pembatasan pengajuan presiden berupa persentase tertentu tidaklah dikenal. Aturan ini justru mengikis hak demokrasi bagi warga negara, selain mempersempit peluang rakyat memilih calon pemimpin yang terbaik.

"Bisa dibilang pengajuan calon presiden dan wakil presiden tanpa adanya aturan presidential threshold adalah praktik dan tradisi demokrasi universal," tuturnya.

Oleh karena itu, dia menuturkan jika Presiden Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang mencabut aturan presidential threshold maka telah mengembalikan demokrasi pada hakikat sebenarnya.

Lebih lanjut, penerbitan Perppu ini juga sejalan dengan amanat Pasal 6A UUD 1945 yang menegaskan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. UUD 1945 tidak mengatur batasan persentase tertentu untuk pengajuan calon presiden dan wakil presiden. Karenanya, berbagai batasan atau hambatan yang diatur dalam regulasi kepemiluan sejatinya dihilangkan.

Empat Dampak PT 20 persen

Selain itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, mencatat setidaknya ada empat dampak yang harus diterima jika PT tetap 20 persen.

Pertama, ujarnya, adalah minimnya pasangan calon.

Hanya akan muncul dua pasang calon yang head to head, meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam praktiknya. Buktinya, dalam pemilu yang lalu, bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon, kata La Nyalla, dalam diskusi di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (5/6/2021).

Dampak keterbelahan masyarakat dalam dua kubu, menurutnya, masih dirasakan sampai saat ini dan dinilai sangat tidak produktif.

Baca juga: Prabowo Sebut Tanpa Kekuatan Militer, Bangsa Akan Dilindas Seperti Gaza

Kedua, ambang batas pencalonan mengerdilkan potensi bangsa. Menurut La Nyalla, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan calon pemimpin yang kompeten. Namun, calon-calon kompeten itu tidak bisa muncul karena digembosi aturan main. Pembatasan itu juga mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan calon terbaik.

Ketiga, ambang batas pencalonan juga berpotensi mengendurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat.

Peluang Golput tinggi, karena calon terbaik mereka tidak dapat tiket untuk maju, sehingga kedaulatan rakyat melemah, digerus kedaulatan partai, kata La Nyalla.

Dampak keempat, menurut La Nyalla, adalah partai kecil cenderung tidak berdaya di hadapan partai besar, terkait keputusan calon yang akan diusung bersama. Padahal, menurut senator asal Jawa Timur ini, partai politik didirikan untuk mengusung kadernya, agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional. La Nyalla menegaskan, Presidential Threshold terbaik adalah 0 persen, Rabu (27/10/2021).

Ketentuan batas keterpilihan, lanjut LaNyalla, karena untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar. Itu diatur dalam UUD hasil amandemen di Pasal 6A Ayat (3) dan (4).

Sedangkan terkait pencalonan, UUD hasil amandemen jelas menyatakan tidak ada ambang batas. Karena dalam Pasal 6A Ayat (2) menyebutkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Artinya setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. Pencalonan itu diajukan sebelum pilpres dilaksanakan, ucap LaNyalla.

Namun semakin salah kaprah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang malah mengatur tentang ambang batas pencalonan, sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.

Dalam Pasal 222 UU 7/2017 menerakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Jadi selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, pasal tersebut juga terdapat kalimat pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Ini membuat komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR tersebut diambil dari komposisi lama atau periode 5 tahun sebelumnya, tutur Mantan Ketua Umum PSSI itu.

Menurutnya pasal tersebut aneh dan menyalahi Konstitusi. Undang-Undang Pemilu tersebut jelas bukan Derivatif dari Pasal 6A UUD hasil amandemen. Jadi selama Undang-Undang ini berlaku, maka Pilpres tahun 2024 mendatang, selain masih mengunakan ambang batas pencalonan, juga menggunakan basis suara pemilu tahun 2019 kemarin. Atau basis hasil suara yang sudah basi. Padahal di tahun 2024, ada partai baru peserta pemilu. Lantas apakah mereka tidak bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres. Padahal amanat konstitusi jelas memberikan hak pengusung kepada partai politik peserta pemilu, pungkasnya.

(Pahlevi)

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru