Menafsir Makna Filosofi Karakter Muslim Berkemajuan KH. Ahmad Dahlan (2)

author optikaid

- Pewarta

Kamis, 17 Feb 2022 13:28 WIB

Menafsir Makna Filosofi Karakter Muslim Berkemajuan KH. Ahmad Dahlan (2)

i

Menafsir Makna Filosofi Karakter Muslim Berkemajuan KH. Ahmad Dahlan (2)

[caption id="attachment_12269" align="alignnone" width="160"] Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I Sekdir Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Surabaya & Pengasuh Pesantren Bumi Al Quran Grand Masangan Sidoarjo[/caption]

KH.Ahamad Dahlan merupakan pendiri sekaligus Imam bagi jamaah Muhammadiyah. Keberhasilan dakwah Muhammadiyah hari ini tidak lepas dari hasil tirakat, kegigihan, keikhlasan dan ketawadhuan KH.Ahmad Dahlan dalam membangun Muhammadiyah. Banyak ajaran ada nilai-nilai filosofi ajaran yang dapat kita pelajari dari KH. Ahmad Dahlan, diantaranya 17 Karakter Islam Berkemajuan.

Maka tulisan ini mencoba menafsirkan makna filosofis dari 17 karakter Muslim berkemajuan KH. Ahmad Dahlan secara sosiologi-fenomenologi, bagian ke 2:

Kelima, Kaya tapi bersahaja.

Kekayaan sering menjadikan manusia lupa asal usul, menjadi angkuh, sombong dan autis sosial (tidak peduli) pada orang miskin. Selain itu kekayaan sering menjerumuskan kepada hidup mewah, konsumtif dan hedonis, sehingga sering lupa diri seolah kekayaanya tidak akan habis atau langgeng dan lupa taat kepada Allah SWT sang Maha pemberi rejeki SWT menurunkan azabnya, sebagaimana terdapat dalam Q.S Al Isra' 17:16 sebagai berikut:

Artinya: Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka malakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).
Karakter di atas bukanlah karakter muslim berkemajuan.

Karakter muslim berkemajuan adalah kaya tapi bersahaja. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) arti bersahaja adalah sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Artinya seorang Muslim berkemajuan menjadikan kekayaan hanya dipahami sebagai titipan ilahi, sehingga tidak perlu dijadikan media kesombongan dalam pergaulan kehidupan. Kekayaannya digunakan sewajarnya secara hemat dan digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat di jalan dakwah.

Sebagaimana firman Allah:
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya mendapatkan pahala yang besar. (QS. al-Hadid:7).

Keenam, Hartawan tapi dermawan.

Banyak Harta terkadang menjadikan orang semakin bakhil bagi pemiliknya. Bakhil merupakan sebuah kata berasal dari bahasa arab yang dalam bahasa Indonesia berarti kikir atau pelit. Bakhil adalah sifat yang harus dihindari oleh setiap muslim, karena kebakhilan adalah sikap egois yang dilarang oleh Islam, tercela dan berakibat buruk baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam Surat Ali Imran ayat 180, Allah berfirman: Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.

Ada beberapa bahaya dari penyakit bernama sifat bakhil. Di antaranya:
1) Bakhil menjadikan seseorang terlalu berlebihan dalam mencintai dunia.
2) Bakhil bisa mengikis rasa kepedulian kita terhadap sesama yang kurang mampu dan membutuhkan.
3) Bakhil yang terus dipelihara akan menumbuhkan sikap suka menumpuk-numpuk harta. Karena itu, dalam salah satu hadisnya Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita sebuah doa memohon supaya dijauhkan dari sifat Bakhil. Karakter di atas bukanlah sifat muslim berkemajuan.

Bagi muslim berkemajuan, kepemilikan harta dipahami sebagai:

Pertama, harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada menjadi ada.

Kedua, harta sebagai perhiasan hidup. Hal ini memungkinkan manusia untuk menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.

Ketiga, harta sebagai ujian keimanan. Hal ini berkaitan dengan cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Keempat, harta sebagai bekal ibadah.

Harta digunakan untuk melaksanakan perintah-Nya dan muamalah di antara sesama manusia, melalui zakat, infak dan sedekah.

Dari pemahaman di atas, bagi muslim berkemajuan memaknai hartawan haruslah dermawan bukan bakhilan. Dermawan artinya dengan ikhlas memberi, berbagi, menolong atau rela berkorban di jalan Allah baik dengan harta bahkan dengan jiwa dan raganya baik berupa berbentuk uluran tangan untuk bersedekah, infak, zakat, dan sebagainya (Muhammad Hamid, 2012: 19).

Ketujuh, Kiai tapi tidak Semuci.

Labelisasi status sosial tinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap individu atau kelompok sering menjadi lupa diri bagi penerimanya, bahkan berubah menjadi kesombongan atau sok-sokan lupa asal usul dalam bersikap di masyarakat.

Fenomena di atas sering terjadi dalam relasi status sosial keagamaan. Sering kita jumpai individu yang dilabel masyarakat sebagai orang alim atau istilah Jawa disebut Kiai, lantas lupa daratan terlalu jumawa atas keunggulan dirinya atau ilmu yang dimiliki dan menganggap rendah orang lain. Fenomena ini oleh orang Jawa disebut sok suci atau "semuci".

Menurut Ari Saptaji, semuci adalah orang yang menganggap diri mereka lebih bermoral, lebih saleh, lebih baik karakternya, dan hal itu dijadikan pembenaran untuk menghakimi pihak lain, digerakkan oleh benci dan dengki. (detikNews, 10/8/2018).

Dalam ranah psikologi sosial, ada kajian yang disebut efek semuci. Kajian ini berangkat dari pengamatan bahwa orang biasanya terlalu optimistis atas keunggulan diri mereka. Bias ini cenderung semakin menguat dalam tataran moral dan kesalehan beragama. Orang menganggap diri mereka lebih bermoral, lebih saleh, lebih baik karakternya, dan hal itu dijadikan pembenaran untuk menghakimi pihak lain.

Model Kiai yang semuci, alih-alih menjadikan rendah hati atas ilmu yang dimiliki, sebagaimana fenomena padi semakin berisi semakin merunduk. Tetapi efek semuci ini lebih sering justru membuahkan dengki dan congkak. Karakter semuci menganggap pihak yang tidak atau belum memenuhi standar kesucian kita sebagai layak untuk diceramahi dan dicaci-maki.

Malangnya, di era media sosial ini, kenyinyiran semuci ini ditengarai kian mencolok. Kita makin gampang terpapar oleh dampaknya, dan boleh jadi ikut terseret arusnya. Karakter di atas bukanlah sifat dari muslim berkemajuan.

Adapun karakter muslim berkemajuan, walaupun dalam kehidupan sosial keagamaan mereka dilabeli sebagai Kiai, Ustadz, Syekh, Ulama, Guru dan sebagainya oleh masyarakat, mereka tidak terbuai, lupa asal usul, jumawa, congkak, dengki dan merendahkan orang lain.

Tetapi mereka tetap rendah hati, menghormati orang lain, egaliter, tawadhu, dan terus belajar kepada siapa saja yang dianggap memiliki ilmu lebih karena merasa dirinya masih bodoh dan masih banyak dosa. Sebagaimana fenomena padi semakin berisi semakin merunduk.

Bersambung.......

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU