Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Optika.id - Berbagai media mengabarkan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap aparat keamanan Filipina yang bekerjasama dengan Interpol - setibanya di bandara Manila. Penangkapan itu atas perintah International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional yang menuduh sang mantan Presiden melakukan kejahatan melawan kemanusiaan atau crimes against humanity pada saat dia menjabat sebagai Presiden dan memerintahkan penangkapan warganya yang terlibat kejahatan narkotika. Ribuan warga Filipina terbunuh akibat kebijakan "War on Drugs" nya Duterte.
Meski Filipina resmi keluar dari keanggotaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sejak 17 Maret 2019, mantan Presiden Rodrigo Duterte tetap berhasil ditangkap atas surat penangkapan yang dikeluarkan oleh ICC pada Selasa, 11 Maret 2025. Tentu
penangkapan ini menjadi perhatian karena dilakukan meskipun Filipina bukan lagi anggota ICC, di mana badan hukum internasional tersebut tidak seharusnya memiliki yurisdiksi di Manila, sama halnya yang menjadi landasan mengapa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, belum berhasil ditangkap ICC.
Baca Juga: Kita Menyaksikan Ribuan Orang Di-PHK
ICC beralasan bahwa meskipun Filipina sudah keluar dari ICC pada 17 Maret 2019, namun ICC tetap memiliki yurisdiksi atas dugaan kejahatan yang terjadi di wilayah Filipina saat negara ini masih menjadi anggota ICC, yaitu sejak 1 November 2011 hingga 16 Maret 2019.
Sebenarnya ICC dirancang sebagai pengadilan terakhir untuk memiliki yurisdiksi atas orang-orang yang dituduh melakukan beberapa kejahatan internasional yang paling menjijikkan - genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Pengadilan saat ini sedang menyelidiki 11 situasi: 10 di antaranya di Afrika. Angka-angka ini telah memicu reaksi terhadap pengadilan, dengan tuduhan bahwa pengadilan hanya menyelidiki dan menuntut orang Afrika. Memang dalam dua dekade operasinya, pengadilan telah melakukan penyelidikan di 25 negara, 12 adalah orang Afrika.
Karena itu muncul tuduhan bahwa lembaga peradilan ini dimana ada 125 negara meratifikasi Statuta Roma atau Statuta Pendirian ICC ternyata dalam operasionalnya sangat tidak adil karena hanya menyasar negara-negara berkembang dan lemah posisi politiknya di arena global. ICC yang bermarkas di Den Haag Belanda dan didirikan pada tahun 2002 pernah mengadili para pemimpin negara Sebia dan Rwanda atas kasus genosida.
Tuduhan-tuduhan seperti itu nampak terbukti nyata ketika ICC bulan November tahun lalu mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan kepada Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dan komandan militer Hamas almarhum Mohammad Deif karena dianggap bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan; namun pihak Amerika Serikat dan sekutunya negara barat malah membela Israel.
Bahkan pemerintah Amerika Serikat dibawah presiden yang lalu Joe Biden dan presiden yang sekarang Donald Trump memberikan sanksi kepada para hakim ICC (dan keluarganya) disebabkan karena ICC dianggap menuduh Netanyahu Perdana Menteri Israel. Joe Biden menganggap bahwa Surat Perintah Penangkapan kepada PM Israel itu "memalukan". Sanksi tersebut bisa berupa larangan para hakim ICC dan keluarganya untuk memasuki negara AS, bisa juga aset-aset mereka dibekukan oleh AS.
Negara-negara berkembang yang dikenal sebagai "the global south countries" menuduh ICC hanyalah alat politik pihak barat untuk menekan mereka, karena kalau ada kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak barat misalnya di Irak, Afghanistan, Libia dan negara-negara Afrika yang menelan jutaan nyawa namun ICC tidak mampu menyentuh mereka.
Baca Juga: Kami Dihina Dan Kami Marah..
Editor : Pahlevi