Pajak dalam kekhalifahan Islam

author optikaid

- Pewarta

Selasa, 29 Mar 2022 00:32 WIB

Pajak dalam kekhalifahan Islam

i

Pajak dalam kekhalifahan Islam

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="167"] Ruby Kay[/caption]

Beredar meme disosial media yang menyatakan kalau "Islam membangun Negara tanpa pajak.

Baca Juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Sepintas terdengar bombastis. Namun jika hal ini dijadikan judul thesis, tentu akan diuji secara logis.

1. Kekhalifahan Islam mana yang tak menerapkan pajak?
2. Apakah sebuah Negara bisa bertahan hanya dengan mengandalkan zakat?

Dua pertanyaan di atas harus dijawab dengan lugas bila ingin mendapat nilai A. Tak bisa menyandarkan hipotesa dengan khayalan semata.

Faktanya, sistem perpajakan dalam Islam sudah diterapkan sejak jaman Rasulullah. Ada 5 sumber pendapatan saat beliau menjalankan roda pemerintahan di Madinah, yaitu:
1. Ghanimah (harta rampasan perang)
2. Fa'i. Harta benda yang diambil dari musuh tanpa melakukan peperangan
3. Zakat (khusus bagi muslim)
4. Kharraj (pajak tanah). Diberlakukan secara umum, baik muslim maupun non muslim.
5. Jizyah (pajak khusus bagi non muslim)

Poin 1 dan 2 berlaku situasional. Sedangkan poin 3, 4 dan 5 merupakan sumber penghasilan tahunan.

Mekanisme penerapan dan pemberlakuan pajak ini kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidin dengan sejumlah penyempurnaan. Di jaman Rasulullah dan Abu Bakar, pembayaran pajak belum dilakukan secara sistematis, namun hanya bermodal trust. Kepala suku di jazirah arab ditunjuk jadi collector (amil), lalu hasil pajak dikirim ke Madinah. Belum dikenal konsep pencatatan secara mendetail. Apakah si fulan yang memiliki kebun kurma 100 hektar sudah membayar kharraj? Wallahualam.
Apakah seorang yahudi yang bermukim di Baghdad sudah membayar jizyah? Tak ada yang tahu persis.

Di periode kekhalifahan Umar bin Khattab, baru mulai diberlakukan pajak secara sistematis. Seiring dengan wilayah kekhalifahan Islam yang terus meluas, otomatis wajib pajak juga bertambah banyak. Umar mulai melakukan metode pencatatan. Berapa wajib pajak di Madinah, Mekkah, Baghdad dan kota lainnya yang berada dalam imperium kekhalifahan Islam. Semuanya mesti tercatat dengan baik untuk meminimalisir penyelewengan dana oleh collector pajak. Orang macam Gayus Tambunan sudah eksis sejak jaman dulu cuy. Dan Umar menyadari hal ini, bahwa ada amil yang memalsukan laporan pajak untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu ia mulai mereformasi sistem perpajakan dan mengenakan sanksi terhadap oknum yang coba-coba korupsi.

Kharraj alias pajak tanah menjadi fokus Umar bin Khattab. Beliau mulai memberlakukan sensus penduduk. Si A punya tanah berapa hektar, mesti terukur dengan jelas. Sederet aturan juga mulai diberlakukan. Seorang janda yang suaminya barusan gugur di medan perang, tak berpenghasilan, sudah barang tentu dibebaskan dari kewajiban membayar kharraj.

Sayangnya, reformasi perpajakan yang digagas oleh Umar bin Khattab tidak berjalan dengan mulus di masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Penyebabnya, pemerintahan Ustman berbau nepotisme. Beberapa sanak keluarganya diangkat menjadi gubernur. Tanah yang dimiliki oleh individu yang masih ada hubungan keluarga dengan Ustman bin Affan tidak dikenakan pajak. Dan ini menjadi salah satu faktor munculnya pemberontakan dijaman khalifah Ustman.

Baca Juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat

Terlepas dari nepotisme yang diberlakukan pemerintahan Ustman bin Affan, beliaulah yang menggagas pembentukan departemen perpajakan yang tugasnya fokus mengelola penerimaan dan pengeluaran kekhalifahan. Memastikan kas jangan sampai defisit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di era pemerintahan Ali bin Abi Thalib, langkah awal yang dilakukannya adalah membersihkan birokrat. Gubernur yang masih ada hubungan keluarga dengan Ustman dipecat, lalu digantikan dengan orang yang bisa bekerja secara profesional. Tak peduli sukunya apa, yang penting miliki kapabilitas untuk menjadi gubernur. Konsep perpajakan yang digagas oleh Umar bin Khattab kembali dijalankan oleh Ali bin Abi Thalib.

Lalu perpajakan diteruskan oleh kekhalifahan selanjutnya. Abasiyah, Muawiyah, Fatimiyyah, hingga kekhalifahan Islam terakhir, Ottoman Turki juga memberlakukan pajak.

Islam tak pernah melarang pajak. Justru kekhalifahan Islam sangat menyadari bahwa pajak diperlukan untuk membiayai Negara. Rakyat baik itu pengusaha atau pengembala domba memerlukan rasa aman. Tugas Negara untuk mewujudkan rasa aman itu dengan membentuk tentara yang dipersenjatai dan digaji.

Yang dilarang dalam Islam adalah memberlakukan pajak yang memberatkan rakyat kecil. Bagaimana skema pajak yang ideal untuk pengusaha dan rakyat jelata? Diskursus ini sudah jadi pembahasan cendekiawan muslim sejak dulu kala. Salah satu ilmuwan muslim yang buah pemikirannya tentang perpajakan banyak dipakai oleh kekhalifahan Islam abad pertengahan adalah Ibnu Khaldun.

Baca Juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Berkaca dari sejarah, opini yang menyatakan bahwa Islam membangun Negara tanpa pajak jelas keliru. Tanpa pajak, kekhalifahan Islam di Andalusia takkan mungkin bertahan selama 800 tahun. Menggaji tentara, menggaji guru, menggaji birokrat, memfasilitasi laboratorium penelitian, menggaji pengawal sultan, membangun benteng megah di Cordoba, semuanya bersumber dari hasil pajak.

Rakyat takkan memberontak jika pajak berdampak positif bagi kehidupan mereka. Namun jika uang pajak malah digunakan penguasa untuk berfoya-foya, jangan terkejut bila suatu saat proletar akan memberontak. Tragedi yang menimpa Raja Louis XVI dari Perancis cukup kiranya dijadikan bahan renungan.

Louis XVI awalnya dicintai rakyat, namun ketidakcakapannya dalam memerintah membuat Perancis mengalami resesi ekonomi. Pajak tinggi namun pengangguran merajalela, panen gagal, harga sembako selangit. Awalnya dipuji, kemudian diludahi. Rakyat pun melakukan revolusi. Louis XVI dan sang ratu Marie Antoinette akhirnya dihukum mati. Tahun 1793, kepala mereka dipenggal dengan guillotine ditengah musim dingin bulan januari.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU