Optika.id - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim mengaku jika pihaknya prihatin bahwa ada banyak kekerasan di satuan pendidikan namun tidak banyak dibicarakan baik di tingkat sekolah maupun pemerintahan daerah. Pemberitaannya pun pasang surut di media padahal saat ini Indonesia berada dalam situasi darurat kekerasan di satuan pendidikan.
Baca Juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
"Ada pandemi yang menyebar dengan skala yang lebih besar bahkan dari covid-19. Jumlah korbannya di anak-anak pun lebih besar dari Covid-19, dan pandemi ini adalah kekerasan," ujar Nadiem dalam kegiatan di komplek Kemendikbudristek, Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada sekitar 2133 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2022 lalu. Angka ini menurut Nadiem hanya sebagian kecil dari jumlah kasus kekerasan yang sebenarnya terjadi dan menimbulkan fenomena gunung es.
Asumsi demikian didapat dari pihaknya yang melakukan Asesmen Nasional (AN) tahun 2022 yang mana pihaknya melakukan survei di semua sekolah untuk mengidentifikasi risiko kekerasan baik itu kekerasan seksual, intoleransi, maupun perundungan atau bullying.
Dari data AN 2022 tersebut, pihaknya menemukan 1 dari 3 peserta didik atau setara dengan 34,51% peserta didik yang berpotensi mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 26,9% atau 1 dari 4 peserta didik mengalami hukuman atau kekerasan fisik dan sebanyak 36,31% atau 1 dari 3 peserta didik lainnya berpotensi mengalami perundungan.
"Misalnya dari 36% ini cuma setengahnya atau seperempatnya saja yang benar-benar mengalami kekerasan, itu adalah 10ri seluruh anak kita di Indonesia. Bisa bayangkan nggak 1 dari 10 anak kita mengalami satu bagian dari kekerasan," kata Nadiem.
Baca Juga: KPPPA Minta Kasus Perundungan Sekolah Internasional Binus Diselesaikan dengan UU Pidana Anak
Dia juga mengatakan, dari hasil AN 2022 terlihat, sekolah yang tidak mengadakan sosialisasi terkait kekerasan memiliki tingkat insidensi dan risiko kekerasan yang lebih tinggi. Sebaliknya, tingkat insidensi rendah ditemukan di sekolah-sekolah yang mengedukasi warganya tentang kekerasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, mengurangi dan menghentikan kekerasan terutama pada anak juga menjadi salah satu prioritas di dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Tepatnya di bawah tujuan nomor 16 yaitu Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.
Nadiem menyebut, salah satu syarat pembelajaran adalah rasa aman anak. Tanpa rasa aman, proses belajar tidak bisa dilakukan. Permasalahan literasi dan numerasi Indonesia pun tidak bisa diatasi sebelum masalah kekerasan terselesaikan.
Baca Juga: Bullying Terjadi Lagi, FSGI: Sekolah Tak Boleh Cuci Tangan dan Main Aman
"Nggak ada artinya kita melakukan transformasi pendidikan, transformasi pelatihan guru, kurikulum dan lain-lain kalau anak-anak kita tidak merasa aman," jelasnya.
Pada hari ini, Nadiem meluncurkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Peraturan ini dia sebut memberi perlindungan yang lebih luas dan definisi lebih rinci terkait kekerasan di satuan pendidikan.
Permendikbudristek PPKSP menggantikan Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Editor : Pahlevi