Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Rabu, 28 Feb 2024 18:23 WIB

Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah

Surabaya (optika.id) - Kasus kekerasan anak di lingkungan sekolah menjadi kian memprihatinkan. Pasalnya, perundungan ini masih terus berulang dari waktu ke waktu. Alhasil, seruan untuk menghapus perundungan dan aturan pemerintah untuk mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan sekolah seakan menabrak asap begutu saja.

Fenomena kekerasan di lingkup pendidikan ini bak fenomena gunung es yang di dalamnya ada masalah structural dan kultural yang perlu dibenahi agar kasus perundungan dan kekerasan di lingkungan sekolah mampu dicegah.

Baca Juga: Anak Korban Bullying Wajib Diberi Pendampingan

Kasus perundungan yang mencuat dan akhirnya ditangani selama ini masih lebih banyak karena terlanjur viral di media sosial saja. Seperti kasus perundungan yang terjadi di Binus School Serpong, Tangerang Selatan Banten yang viral baru-baru ini.

Kekerasan tersebut diduga dilakukan oleh sekelompok siswa untuk menyambut salah satu anggota geng baru di tongkrongan tersebut dan terjadi di sebuah warung dekat sekolah.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, menyebut ada dua faktor fundamental yang membuat perundungan di sekolah terus terjadi berulang kali.

Yang pertama menurutnya adalah adanya masalah structural berupa regulasi dari pemerintah yang belum terimplementasi dan berjalan dengan baik. pemerintah sebetulnya telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai upaya untuk pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak di satuan pendidikan.

Alih-alih dipahami dan diikuti oleh semua satuan pendidikan, aturan tersebut menurut Satriawan bahkan belum tersosialisasi dengan baik.

Baca Juga: KPPPA Minta Kasus Perundungan Sekolah Internasional Binus Diselesaikan dengan UU Pidana Anak

Kami melihat problem struktural ini ya, juga terjadi karena aturan ini (Permendikbudristek 46/2023) berupa macan kertas gitu. Di kertas itu sangat detail, ada sanksi-sanksi gitu, tapi dalam implementasi lemah karena minim sosialisasi dan pendampingan, kata Satriwan, kepada Optika.id, Rabu (28/2/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kemudian, faktor lainnya adalah faktor kultural yang mempengaruhi yang mana ekosistem sekolah seharusnya dibangun oleh guru, stakeholder pendidikan, dan orang tua agar bisa menerapkan sikap antitoleransi pada segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang ada.

Tujuannya adalah agar pendidikan bisa memanusiakan manusia di lingkup sekolah. Namun pada kenyataannya, justru praktik senioritas atau bahkan geng di sekolah kerap diabaikan oleh stakeholder pendidikan. maka dari itu, orang tua juga punya peran penting bersama dengan guru untuk mendampingi siswa baik secara psikologis, spiritual maupun emosional.

Perundungan seperti yang terjadi di Binus School Serpong menurut Satriawan memiliki kaitan erat dengan pihak sekolah yang masih belum mengimplementasikan Permendikbud 46/2023 ini. Dia juga mendapatkan informasi bahwa praktik geng senioritas itu sudah terjadi sejak sembilan generasi. Akan tetapi, tradisi kekerasan yang melingkupi praktik ini bahkan tidak mampu dideteksi oleh para guru.

Baca Juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional

Sekolah, imbuh nya, seharusnya bisa membangun sinergi bersama dengan masyarakat di lingkungan sekitar. Hal ini dilakukan agar ruang-ruang potensi adanya kekerasan yang dilakukan antarsiswa bisa dicegah atau ditangani sesegera mungkin.

Misalnya di tongkrongan, menurut dia bukan meminta masyarakat melarang siswa nongkrong namun turut mengawasi jika ada tindak kekerasan yang terjadi.

Kita memetakan anak ngapain di tongkrongan itu. Apakah melakukan tindakan-tindakan menyimpang yang mengarah kepada kekerasan atau kriminal misalnya, tentu bisa dilaporkan ke sekolah, tutur Satriwan.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU