Ironi Industri Kretek yang Kian Sekarat Dibalik Moncernya Serial Gadis Kretek

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 27 Nov 2023 15:37 WIB

Ironi Industri Kretek yang Kian Sekarat Dibalik Moncernya Serial Gadis Kretek

Optika.id - Serial Gadis Kretek belakangan ini sering menjadi topik hangat yang dibahas oleh publik. serial yang diangkat dari novel Ratih Kumala berjudul sama itu bertengger di peringkat satu di Indonesia dan berhasil masuk daftar global Netflix top 10 dan ditonton lebih dari 1,6 juta jam dalam sepekannya.

Serial yang digarap oleh Kamila Andini dan Ifa Isfansyah tersebut menuai kesuksesan dengan muncul dalam daftar negara-negara baru di Amerika Selatan dan Eropa. Misalnya di Venezuela peringkat 9, Meksiko juga peringkat ke 9, sedangkan Romania peringkat ke 8 dan Chili peringkat ke 7.

Baca Juga: INDEF: Kerugian Ekonomi RI Akibat RPP Kesehatan Tembus Rp103 Triliun

Sebenarnya, Gadis Kretek menceritakan tentang apa?

Gadis Kretek ini mengisahkan tentang kisah cinta antara buruh dan majikan pabrik kretek di Kota M yang penuh dengan plot twist, konflik sekaligus misteri di dalamnya. Latar dari serial ini maju-mundur antara tahun 1960 dan 1990-an. Pemeran utama di dalam kisah ini adalah putri seorang pemilik pabrik kretek Merdeka bernama Dasiyah alias Jeng Yah yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo. Sementara itu ayahnya yang merupakan pemilik pabrik kretek itu, Idroes Moeria yang diperankan oleh Rukman Rosadi yang mempunyai saingan pemilik pabrik kretek Proklamasi, Soedjagad yang diperankan oleh Verdi Solaiman.

Dalam serial itu, Dasiyah dicitrakan sebagai perempuan berdaya yang punya bakat meracik saus kretek paling nikmat. Selain kisah romansa dan bumbu-bumbu tambahan sana-sini, Gadis Kretek mengangkat juga kerasnya persaingan industri rokok kretek pada tahun 1960-an. Ironisnya, seiring dengan kesuksesan Gadis Kretek tersebut, ternyata industri kretek tanah air saat ini sedang berada dalam kondisi sekarat.

Hal tersebut dijelaskan oleh peneliti dari Komite Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan yang menyebut hanya ada 100 dari 600 perusahaan kretek yang ada di Indonesia ini menjadi perusahaan yang menyumbang cukai hasil tembakau (CHT) kepada pemerintah.

“Ini terakhir (data tahun) 2021 dan 2022,” kata dia, Minggu (26/11/2023).

Kejatuhan industri kretek tersebut bermula sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. tak sampai disitu, industri kretek makin tiarap kinerjanya dengan munculnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Nah, (peraturan itu) memangkas banyak sekali pabrik rokok. Karena di situ disebutkan luas lahan pabrik rokok ditentukan harus 200-300 meter per segi. Lanjut itu, yang dari 12.000-an pabrik, tinggal 7000-an. Setelah itu, semakin turun seiring dengan meningkatnya tarif cukai. Itu di sektor hilir.” jelasnya. 

Sementara itu, pertumbuhan kretek dari segi produksi juga kian menurun. Berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), hanya 3,79% saja pertumbuhan produksi sigaret kretek tangan (SKT). Angka tersebut kian menurun hingga -3.28%. seiring dengan itu, pertumbuhan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dari yang semula 11,94% juga anjlok menjadi 0,48%.

Lebih lanjut, nasib tak baik juga menimpa petani tembakau dan cengkih yang menjadi bahan baku kretek. Lahan tembakau yang cenderung stagnan juga membuat produksi tembakau tak kunjung terkatrol naik. Hal yang sama juga terjadi pada lahan dan produksi cengkih.

“Misal, di Jawa Tengah cuma di kisaran 22.000 ton, Jawa Timur 30.000-an ton. Ini sejak 2012,” ujar Zulvan.

Selanjutnya, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) perkebunan tembakau di Indonesia juga kian menurun. Pada tahun 2022 perkebunan tembakau di Indonesia hanya tercatat seluar 202.500 hektare saja.

Baca Juga: Genosida Terselubung, YLKI Desak Pemerintah Serius Perkuat Upaya Pengendalian Tembakau

Angka tersebut menurun sebesar 5,24% dibandingkan dengan luasan di tahun sebelumnya yakni seluas 213.700 hektare. Tak hanya itu, sejak 2013 luas lahan tembakau pun mengalami penurunan sebesar 28,67%. Pada tahun 2022 pun produksi tembakau merosot menjadi 225.700 tonn dari yang sebelumnya 245.400 ton.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara itu, jumlah produksi komoditas cengkeh pada tahun 2022 ini sebanyak 134.000 ton. Angka ini turun dari tahun sebelumnya sebanyak 1,25% atau sebanyak 135.700 ton. Penurunan produksi ini sejalan dengan menyusutnya luas perkebunan cengkeh di Indonesia.

“Dengan regulasi pengendalian tembakau yang ketat ini, berpengaruh sekali ke industri keretek. Mungkin SKT ada relaksasi dari segi cukai, tapi kan secara pasar enggak besar. Paling gede SKM. Cuma SKM sendiri ditekan dengan tarif cukai yang naiknya cukup signifikan.” tuturnya.

Senada dengan Zulvan, Juru Bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona, mengamini bahwa regulasi dari pemerintah itu tak menguntungkan kretek dan industrinya. Regulasi terkait tembakau ini dalam lima tahun terakhir justru kian menekan industri. Bahkan, membuat industri kretek membuatnya sekarat hingga berada di ambang kematian. Siti juga menyebut bahwa dengan kenaikan cukai yang hampir terjadi setiap tahun sejak tahuun 2019 ini membuat pabrik kretek kecil gulung tikar.

“Baru-baru ini muncul pasal tembakau dalam RPP (rancangan peraturan pemerintah turunan UU Kesehatan) Kesehatan. RPP Kesehatan ini menimbulkan sejumlah ancaman dan kerugian bagi seluruh pihak yang berkecimpung di industri ini,” kata Siti, Senin (27/11/2023).

Siti menyambung, RPP Kesehatan itu akan mengatur perihal pengamanan produk zat adiktif, pengendalian, pengaturan dan larangan terkait rokok elektronik dan produk tembakau, termasuk beberapa istilah yang bakal dilarang untuk digunakan. Pasalnya, dalam RPP tersebut, termuat pasal yang menyebut bahwa mewajibkan isi dalam setiap bungkus rokok minimal harus 20 batang.

Baca Juga: Atasi Kecanduan Rokok dengan Terapi Pengganti Nikotin, Mau Coba?

Selain itu, ancaman lainnya adalah berkurangnya jumlah produksi yang disebabkan dari permintaan pasar yang berkurang. Alhasil, hal tersebut membuat permintaan tembakau oleh pabrik ke petani juga berkurang sehingga banyak tembakau yang dihargai murah bahkan tak terbeli oleh pabrik.

“Keretek bagi Indonesia telah berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, menggerakkan ekonomi nasional, dan menjadi sumber pendapatan negara melalui cukai dan pajak,” ujar Siti.

Industri rokok lewat cukai, tegasnya, saat ini berhasil menyumbang sekitar 90% dari pendapatan cukai negara. Lebih lanjut, beberapa daerah penghasil kretek pun mampu menyokong ekonomi daerahnya dalam jumlah yang cukup besar. Mengapa hal tersebut terjadi? Pasalnya, industri kretek mampu menyerap banyak tenaga kerja di tengah gejolak ketidakpastian industri lainnya. Industri rokok, sambungnya, masih bertahan hidup walau tengah sekarat.

“Bahkan di tahun 2019, industri keretek mampu menyerap kurang lebih 6 juta pekerja yang tersebar di berbagai sektor industri,” kata Siti.

Maka dari itu, dia berharap kepada pemerintah selaku pemangku kebijakan agar dapat memperhatikan betul dampak yang timbul di kemudian hari apabila industri kretek terus menerus ditekan dengan kebijakan terkait tembakau.

“Pemerintah seharusnya melindungi kretek. Sebab kretek adalah warisan bangsa yang ditemukan oleh anak bangsa yang seharusnya dijaga kelestariannya,” pungkas Siti.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU