Kemenangan Prabowo = Kebangkitan Orde Baru?

author Pahlevi

- Pewarta

Kamis, 18 Apr 2024 02:37 WIB

Kemenangan Prabowo = Kebangkitan Orde Baru?

Surabaya (optika.id) - Setelah 2 kali mencoba maju menjadi Presiden Republik Indonesia dan gagal. Kini kans Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka sangat terbuka lebar menduduki kursi pemerintahan tertinggi di negeri ini. Sembari menunggu sengketa Pilpres yang hasilnya akan diumumkan Mahkamah Konstitusi pada 22 April 2024 mendatang.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebelumnya telah menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024 dalam satu putaran. Prabowo-Gibran memperoleh 96.214.691 suara sah. Mereka unggul di 36 dari 38 provinsi seluruh Indonesia. Paslon ini juga menang di luar negeri.

Baca Juga: Presiden Prabowo akan Hadiri Tanwir dan Milad ke-112 Muhammadiyah di Kupang

Dalam Pilpres 2024, tak ada lagi sosok Prabowo Subianto yang senantiasa meledak-ledak dan nasionalis yang muncul pada kampanye-kampanye pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Saat ini, Prabowo mengganti citranya menjadi bapak-bapak menggemaskan di TikTok, mengacungkan simbol hati dengan jari-jarinya, dan memamerkan tarian gemoy yang menjadi viral. Strategi ini berhasil membius kalangan pemilih muda, yakni generasi yang kurang mendapat informasi tentang masa lalu Indonesia. Sangat mirip dengan strategi Bongbong Marcos (Presiden Filipina).

Kemiripan strategi memenangi Pilpres ala Prabowo dengan Bongbong Marcos disinggung sejak Desember 2023. Kala itu gaya kampanye Prabowo disebut mirip dengan putra mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos itu lantaran sama-sama mengandalkan gimik di media sosial. Bahkan sempat beredar kabar Prabowo-Gibran menyewa konsultan politik yang sama dengan Bongbong Marcos.

Potensi kemiripan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies atau IPS Nyarwi Ahmad. Ia mengatakan saat Bongbong Marcos memenangi Pemilu Filipina, pemilih muda di sana cukup signifikan. Mereka cenderung menyukai hal yang sifatnya bukan high politics (politik tinggi), melainkan low politics (politik rendah).

Bukan politik dengan gagasan-gagasan besar, melainkan politik yang isunya receh, ucapnya seperti dilansir Tempo, Kamis (18/4/2024).

Dalam beberapa hal, Prabowo memang memiliki kemiripan strategi dengan Bongbong Marcos dalam memenangkan Pilpres. Misalnya, sama seperti Bongbong Marcos yang memilih Sara Duterte-Carpio, putri Presiden berkuasa saat itu, Rodrigo Duterte, sebagai pasangannya, Prabowo juga memilih Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo atau Jokowi, sebagai wakil presiden.

Kemenangan Bongbong Marcos tak lepas dari keberadaan Sara. Sebagai penerus Rodrigo Duterte, Sara mendapatkan banyak dukungan dari simpatisan sang ayah. Selain itu, Sara juga membantu Bongbong untuk membuat terobosan di wilayah pemilih baru. Sama seperti Bongbong, keunggulan suara Prabowo juga tak lepas dari peran Gibran yang memikat pemilih dari kalangan muda dan dianggap sebagai penerus Jokowi.

Prabowo dan Bongbong juga punya konsep yang sama dalam membentuk citra diri selama kampanye. Bongbong adalah putra mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos terkenal diktator. Dalam beberapa tahun terakhir sebelum akhirnya menjadi presiden, Bongbong Marcos memanfaatkan kekuatan media sosial untuk membangun citra diri untuk menepis kesan otoriter sang ayah.

Pun Prabowo, mantan Panglima Kostrad ini diketahui sebagai sosok yang keras dan tegas. Citra itu menjadi lebih seram ketika diembel-embeli diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat 1998, meski belum dibuktikan pengadilan hingga kini. Demi menghapus citra tersebut, Prabowo kemudian memanfaatkan media sosial untuk mem-branding diri sebagai sosok gemoy, lebih ramah dan suka joget.

Selain itu, ada beberapa pemilih pada hari-H Pemilu 2024 mengatakan bahwa mereka ingin orang yang kuat di kursi kepresidenan. Yakni seseorang yang bisa melanjutkan kebijakan-kebijakan Presiden Joko Widodo. Sementara itu, sebagian lainnya khawatir jika negara ini kembali dipimpin seorang jenderal militer, dan Prabowo juga pernah menjadi menantu Soeharto, maka Indonesia akan kembali tergelincir ke masa Orde Baru (Orba).

Parlemen Semu

Kini dengan dimotori Presiden Joko Widodo, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tampak terus bergerilya merangkul lawan-lawan politiknya. Tujuannya, memastikan keberlanjutan program peninggalan Jokowi dan memuluskan program baru Prabowo.

Tetapi, para pengamat politik menilai hal ini dapat berujung pada pemerintahan rasa Orde Baru dengan kehadiran "parlemen semu".

Presiden Jokowi menurut sejumlah anggota tim kampanye Prabowo-Gibran, berupaya membangun komunikasi dengan ketua umum partai politik dari kubu dua pasangan lain: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Pada 12 Februari, atau dua hari sebelum pemungutan suara, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X membenarkan kabar bahwa ia sempat diminta Jokowi membantu menjembatani pertemuan dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Namun pertemuan Jokowi dan Megawati tak kunjung terlaksana hingga saat ini. Megawati tak datang saat open house Presiden Jokowi, begitupun sebaliknya. Tetapi Puan Maharani yang tak lain Putri dari Megawati, sempat berstatement bahwa hubungannya dengan Partai Gerindra baik-baik saja.

Diketahui, PDI-P membentuk koalisi bersama PPP, Partai Hanura, dan Partai Perindo untuk mengusung pasangan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud.

Sementara itu, Prabowo-Gibran yang bernomor urut 2 didukung koalisi "gemoy" yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PSI, PBB, Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Prima.

Lalu pada 18 Februari, empat hari setelah pemilu, Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Istana Negara, Jakarta.

Diketahui, Nasdem membentuk koalisi bersama PKS dan PKB untuk mengusung pasangan nomor urut 1 Anies-Muhaimin.

"Saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya," kata Jokowi sehari setelah pertemuan itu, tanpa mengungkap detail pembicaraan dengan Surya. Sementara itu, Surya membantah adanya ajakan Jokowi untuk merapat ke kubu Prabowo-Gibran.

"Pertemuan itu hanya membicarakan hal yang ringan-ringan. Tidak lebih dari pada itu," kata Surya Paloh.

Surya mengatakan, Nasdem masih berada di Koalisi Perubahan yang mengusung Anies-Muhaimin.

Di luar itu, Jokowi sempat mengatakan akan mengundang ketua umum partai-partai lain ke Istana Negara, meski tak menyebut kapan.

Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menilai wajar bila lobi-lobi politik segera dilakukan tak lama setelah pemungutan suara.

"Ini terutama melihat hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei yang menunjukkan kemenangan Prabowo-Gibran dan besarnya total perolehan suara partai-partai dari dua kubu pasangan lain. Kalau melihat komposisi di parlemen, yang masuk jadi pendukung pasangan (nomor urut) 1 dan 3 itu juga memiliki suara yang besar di parlemen. Artinya, dia punya pengaruh dan signifikansi yang besar nanti di parlemen kalau memang kemudian mereka semua oposisi," katanya seperti dilansir BBC News Indonesia, Kamis (18/4/2024).

"Maka ya pasti ada gerak cepat dari Jokowi, apalagi ketika posisinya masih sentral, masih menjadi presiden," lanjutnya.

Dia mengatakan Indonesia tidak perlu mengulangi situasi yang sama seperti di era Orde Baru yang dipimpin presiden otoriter Soeharto.

Saat itu, kata Aisah, muncul "parlemen semu" yang membuat fungsi checks and balances tidak berjalan dengan semestinya.

"Demokrasi yang kita harapkan kan demokrasi substantif, tidak hanya prosedural. Jadi, lupakanlah kejadian-kejadian Orde Baru dan jangan ditiru pembentukan parlemen semu," kata Aisah.

"Salah satu (ciri) pembentukan parlemen semu itu ya kalau koalisinya terlalu besar dan hanya menyisakan sedikit oposisi, karena kelompok oposisi itu nggak akan terlalu efektif juga pada akhirnya untuk melakukan checks and balances itu," sambungnya.

Sudah Ada Pembicaraan

Dradjad Wibowo, anggota dewan pakar tim kampanye Prabwo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, mengklaim telah terjadi pembicaraan antara pimpinan partai "layer kedua" dari tiga kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden soal koalisi pemerintahan lima tahun ke depan.

Pimpinan "layer kedua" yang dimaksud adalah para wakil ketua umum, sekretaris jenderal, dan ketua dewan pakar dari berbagai partai politik atau parpol.

"Untuk kabinet secara keseluruhan, Pak Prabowo kan sudah menyampaikan, nomor 1, nomor 3, kalau memang cocok, klop, bisa (dilibatkan). Tapi tentu akan ada pembicaraan antar-parpol dulu," kata Dradjad seperti dilansir BBC News Indonesia beberapa waktu yang lalu.

"Kalau di layer kedua pimpinan parpol itu sudah ada (pembicaraan), tapi di level ketua umum memang belum ada."

Menurutnya, Presiden Jokowi bersama Prabowo, Gibran, dan para ketua umum partai bakal bersama-sama memutuskan susunan kabinet pemerintahan baru.

Keterlibatan Jokowi dalam seleksi menteri, katanya, penting untuk memuluskan transisi pemerintahan dan rencana Prabowo-Gibran untuk melanjutkan, memperluas, dan menyempurnakan program-program yang telah berjalan saat ini.

Apalagi, Prabowo-Gibran juga memiliki delapan program prioritas, yang disebut Program Hasil Terbaik Cepat, termasuk pemberian makan siang dan susu gratis di sekolah yang membutuhkan dana besar serta pembentukan Badan Penerimaan Negara, yang bakal fokus menggenjot penerimaan perpajakan dan non-pajak.

"Makanya, kepala negara telah memulai pendekatan dengan ketua umum partai politik dari kubu pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD," kata Dradjad.

Baca Juga: Kado Awal Tahun: UMP Naik 6,5 Persen, Kesejahteraan Guru Meningkat Signifikan di 2025

Bila kesepakatan koalisi dapat tercapai sejak awal, Dradjad menyebut pemerintahan ke depan bisa lebih fokus mengalokasikan energi untuk kebijakan yang bermanfaat, bukan untuk kegaduhan politik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Supaya program lebih mulus saja. Kita kan memang harus kerja sama dengan DPR," katanya.

Demokrasi Gotong Royong

Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan penting bagi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk merangkul pihak-pihak yang kalah agar dapat mengamankan kebijakan pemerintahannya, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.

"Pihak pemenang itu bagaimanapun harus merangkul yang kalah dan di saat yang sama harus membangun koalisi pemerintahan baik di pemerintahan eksekutif maupun legislatif yang mayoritas, yang lebih besar dari oposisi, agar kebijakan-kebijakannya berjalan dengan mudah, lancar," kata Ujang pada Optika.id, Kamis (18/4/2024).

Strategi ini telah dijalankan Presiden Jokowi di masa 10 tahun pemerintahannya, dan ia menyebutnya sebagai "demokrasi gotong royong".

"Karena itu, wajar bila Prabowo-Gibran yang mengusung tema keberlanjutan berusaha kembali menerapkannya dengan bantuan Jokowi," ujar Ujang.

Saat kekuatan oposisi di parlemen lemah, kata Ujang, harapan untuk mengawal demokrasi jatuh pada gerakan politik ekstra-parlementer yang dimotori masyarakat sipil, termasuk akademisi, para ahli, mahasiswa, dan buruh.

"Biasanya, untuk menjaga dan mengawal proses demokrasi ini, kalau kekuatan oposisinya lemah di parlemen, itu diambil alih oleh kekuatan ekstra-parlementer. Untuk demokrasi, ya ini harus kita kawal," tukasnya.

Diketahui, di periode pertamanya pada 2014-2019, Jokowi berhasil memperbesar koalisinya di tengah jalan dengan memasukkan Partai Golkar, PPP, dan PAN ke pemerintahan.

Sementara itu, di periode keduanya pada 2019-2024, Jokowi tercatat menggandeng Gerindra dan PAN, bahkan memasukkan pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno yang menjadi pesaingnya di pemilihan presiden lima tahun silam ke kabinet.

Dari sana, koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi berhasil menguasai 81,9% kursi di parlemen.

Dwifungsi ABRI

Selain itu, pegiat media sosial Jhon Sitorus juga menyoroti kebijakan-kebijakan terbaru Presiden Joko Widodo. Menurutnya, Presiden Jokowi sejak berteman dengan Prabowo Subianto menjadi aneh.

Sorotan itu diutarakan menanggapi ancaman dwifungsi ABRI hidup kembali. Ini setelah pemerintah mengumumkan tengah menyusun aturan agar jabatan ASN boleh diisi oleh TNI/Polri.

Pengumuman itu tentu menuai kontroversi. Pasalnya, terakhir TNI/Polri boleh mengisi jabatan ASN terjadi pada masa era orde baru, tepatnya pada pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto.

Jhon Sitorus pun turut melayangkan kritikan tajam terkait wacana aturan tersebut. Ia menilai orde baru sudah kembali bangkit. Menurutnya, situasi ini bisa menghancurkan masa depan Indonesia.

"Orde baru itu nyata dan sudah kembali. Dwifungsi ABRI sudah dihidupkan kembali, dominasi TNI-POLRI terhadap sipil semakin melemahkan hak-hak sipil. Mestinya demokrasi membuat kita makin maju, bukan malah makin mundur," kritik Jhon Sitorus dalam cuitannya di X dikutip Optika.id, Kamis (18/4/2024).

"Kita yang tak mau belajar dari masa lalu atau sengaja membawa Indonesia kejurang kehancuran. Padahal, ada wacana penambahan KODAM baru untuk menampung kelebihan SDM dan personel TNI. Kenapa sekarang seolah-olah dipaksakan? Mau memperkuat tindakan represif? Mau mengekang kemerdekaan berbicara?" sambungnya.

Tak sampai di situ, Jhon Sitorus menilai tanda-tanda orde baru hidup kembali di era Jokowi disebabkan oleh kedekatan sang presiden dengan Prabowo. Padahal, mantan Presiden RI dari Habibie, Gus Dur dan Megawati sudah berupaya menjaga reformasi.

Baca Juga: Rezim Gemoy Tapi Duit Cupet

"Habibie memecat Prabowo, Jokowi menaikkan pangkat Prabowo. Gus Dur menghapus dwifungsi ABRI, Jokowi menghidupkan kembali," sentilnya.

"Megawati mendirikan KPK untuk memberantas semua koruptor, Jokowi membuat KPK jadi pilih-pilih kasus. Ya, begitulah. Sejak berteman dengan Prabowo, Jokowi jadi aneh," tegasnya.

Minta Pemilihan Langsung Dikaji Ulang

Sebelumnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo kembali meminta agar sistem pemilihan langsung dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dikaji ulang. Menurutnya sistem pemilihan langsung yang saat ini diterapkan lebih banyak mudaratnya.

Saya sudah menyampaikan ini ke sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Termasuk kepada civitas akademika di Universitas Perwira Purbalingga (Unperba). Coba dikaji sistem pemilihan langsung yang saat ini dilaksanakan di Indonesia. Lebih banyak manfaat atau mudaratnya, kata Bamsoet sapaan akrabnya saat menghadiri wisuda mahasiswa Unperba, di kampus Unperba dilansir serayunews, Kamis (14/9/2023).

Politisi Partai Golkar tersebut juga menyampaikan bahwa kondisi masyarakat Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan masyarakat Amerika dan negara maju lainnya.

Padahal pendapatan per kapita masyarakat kita masih rendah. Masyarakat kita belum siap untuk melaksanakan pemilihan langsung, tegasnya.

Sementara di masyarakat kita, menurutnya, menjelang Pemilu muncul istilah NPWP alias Nomor Pira Wani Piro. Menurutnya pemikiran pragmatis ini muncul karena masyarakat yang belum siap melaksanakan pemilihan secara langsung. Sehingga semua terjebak pada demokrasi angka-angka dan transaksional yang sangat mahal.

Jadi jangan mimpi jika tidak punya duit bisa jadi anggota dewan. Saat ini pertarungannya bukan pertarungan ideologi. Tapi pertarungan berebut suara, katanya.

Pihaknya sedang mengkaji kembali mengenai sistem pemilihan langsung apakah memberikan manfaat kepada rakyat atau lebih banyak mudaratnya. Saat ini menurutnya kita telah melupakan demokrasi yang ditanamkan pendiri bangsa. Yaitu sistem demokrasi musyawarah mufakat dan perwakilan.

Unperba saya minta segera melakukan kajian soal pemilihan langsung. Apalah akan dipertahankan atau kita akan kembali ke sistem demokrasi perwakilan, sesuai sila keempat Pancasila, ujarnya.

Kendati demikian menurut Wakil Ketua DPP Partai Golkar tersebut ada yang beranggapan bahwa sistem pemilihan tidak langsung membuat orang-orang partai yang bisa memimpin. Semunya tergantung masyarakat dalam menentukan pilihan sistem ap yang mau dipakai.

Bamsoet juga pernah mengusulkan untuk mengembalikan lembaga MPR sebagai institusi tertinggi di negara.

Menurutnya, usulan tersebut bertujuan agar MPR bisa terlibat aktif dalam menyelesaikan persoalan yang kini belum ada solusinya di dalam konstitusi Indonesia.

"MPR kemarin sudah ramai dibicarakan, padahal kita hanya bicara tentang kewenangan yang bisa kita harapkan kembali dimiliki oleh MPR, kewenangan subjektif superlatif agar kita MPR mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak ada jalan keluarnya di konstitusi kita," kata pria yang karib disapa Bamsoet saat menyampaikan pidato di Peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-78 MPR RI di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/7/2023).

Bamsoet mengatakan pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan bangsa ke depannya terutama yang tidak ada jalan keluarnya konstitusinya.

"Jadi sekali lagi Bapak Presiden, MPR tengah berupaya keras untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang mungkin akan dihadapi oleh bangsa kita ke depan," kata Bamsoet.

"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," kata Bamsoet.

Hal tersebut tentunya semakin mengembalikan memori kita pada zaman orba. Di masa Orde Baru, MPR memang menjadi lembaga tertinggi negara. Salah satu fungsinya memilih Presiden dan Wakil Presiden serta melantik keduanya. Juga mengeluarkan sejumlah ketetapan MPR (TAP MPR).

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU