KontraS: Tindakan Hingga Kebijakan Negara Ini Takuti Warganya

Reporter : Uswatun Hasanah
KontraS: Tindakan Hingga Kebijakan Negara Ini Takuti Warganya

Optika.id - Berbagai tindakan negara yang mengakibatkan sempitnya ruang kebebasan sipil dalam kurun waktu dua tahun terakhir disoroti oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Menurut KontraS, berbagai langkah yang diambil oleh negara tersebut terbukti menakuti masyarakat dalam menyampaikan ekspresi mereka. Hasilnya, iklim demokrasi di Indonesia memburuk. Apalagi dibuktikan dalam beberapa laporan internasional yang menyorotinya.

"Selain berbagai laporan yang menjelaskan bahwa situasi demokrasi Indonesia kian memburuk, kami juga mencatat setidaknya terjadi 393 peristiwa berkaitan dengan pelanggaran kebebasan berekspresi," kata Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras, Rozy Brilian melalui telekonferensi, Jumat (7/1/2022).

Baca juga: Centra Initiative: Jokowi Ubah Negara Hukum Menjadi Negara Kekuasaan

Menurut Rozy, tindakan dominan yang diambil oleh negara adalah penangkapan sewenang-wenang dengan total 165 kasus, diikuti dengan pembubaran paksa dengan jumlah 140 kasus. Dalam catatan KontraS juga menyebut jika kepolisian menjadi aktor dominan dari ragam pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi warga negaranya. Tak hanya itu, sasaran dari represi itu adalah masyarakat yang aktif mengkritik serta berusaha menyeimbangkan diskursus negara.

Ia juga menjelaskan jika rentang tahun 2020 sampai 2021 negara masih berkelindan dengan isu pandemic Covid-19. Jadi banyak sekali akademisi serta aktivis yang kemudian mengkritik kebijakan pemerintah, pada akhirnya mendapat serangan ancaman, terror, serta berujung penangkapan bahkan penghakiman sepihak.

Dalam catatan Kontras, dalam periode 2020-2021 ini, terdapat 10 tindakan hingga kebijakan negara yang justru menakut-nakuti warga dalam berekspresi, di antaranya yakni:

Pertama, Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 tentang Penanganan Penghinaan Pejabat dan Hoax Penanganan COVID-19 tanggal 4 April 2020 yang membuka celah bagi kepolisian untuk melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Kedua, Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja yang menunjukan watak represif institusi Kepolisian dalam menyikapi suara yang berbeda dengan narasi pemerintah.

Ketiga, Virtual Police lewat Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif yang bersifat menindak dan mengatur ekspresi warga negara, yang mana seharusnya penindakan diperuntukkan bagi mereka yang melakukan tindakan kriminal lewat media sosial, seperti penipuan online, pelecehan secara daring dan sebagainya

Keempat, kriminalisasi dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang negara begitu diskriminatif dalam penggunaan pasalnya

Baca juga: Simpatisan Yakin Perihal Prabowo Langgar HAM adalah Kabar Bohong

Kelima, Maklumat Kapolri Nomor MAK/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Pebijakan pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona atau Covid-19 yang mengutamakan pendekatan keamanan dan pidana

Keenam, Surat Telegram Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tentang Pelaksanaan Peliputan Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang mengunggah video berkaitan dengan kekerasan dan kinerja buruk kepolisian.

Ketujuh, banyaknya somasi yang dilayangkan oleh pejabat publik yang tidak terima kritik menegaskan bahwa pemangku kebijakan saat ini antikritik.

Kedelapan, bentuk campur tangan terlalu jauh militer terhadap urusan/domain sipil. Dibuktikan dengan pelibatan TNI dan BIN dalam Penanganan Pandemi Covid-19.

Kesembilan, watak anti kritik pemerintah dengan ditandai penghapusan mural. 

Baca juga: Ditjen HAM Pastikan Lindungi Hak Difabel pada Pemilu 2024

Dan kesepuluh, penangkapan pembentang poster yang semakin mempertegas watak represif Kepolisian khususnya terhadap pengkritik pemerintah

"Pola-pola sebagaimana dijelaskan di atas tentu tidak dapat diteruskan, sebab akan memperparah kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia 2022. Masyarakat akan semakin takut menyampaikan kritik karena dibungkam dengan berbagai metode," pungkas Rozy.

Reporter: Uswatun Hasanah

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru