Optika.id - Wacana jerat hukum bagi pelanggan PSK rencananya bakal disisipkan dalam salah satu pasal dalam revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (R-KUHP). salah satu penggagas wacana tersebut adalah Arsul Sani, Anggota dari Komisi III DPR RI.
Memang hukum pidana positif kita hanya mengatur pidana bagi para penjaja seks saja. Karena itu, politik hukum pidana kita perlu diperbaiki. Nah, nanti ketika RKUHP dibahas ulang, maka soal konsumen seks ini harus dipastikan bisa dijerat, ujar Arsul kepada wartawan, Rabu (19/1/2022).
Baca juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?
Bagi Arsul, tak hanya untuk memunculkan rasa keadilan, namun sanksi hukum bagi pengguna jasa PSK juga bisa memunculkan efek jera. Pemberian hukuman bagi pengguna jasa seks komersial juga ditengarai bisa membuat hukum pidana merefleksikan moral bangsa Indonesia.
Lebih jauh, Arsul mengungkapkan wacana itu belum dibahas mendetail. Pasalnya, hingga kini draf revisi KUHP masih di tangan pemerintah. Ketika ditanya mengapa, politikus PPP tersebut mengatakan jika yang bisa menjawab adalah Menkumham.
Secara terpisah, Jazilul Fawaid selaku anggota Komisi III DPR menerangkan bahwa siapapun yang menggunakan jasa PSK tergolong dalam kategori tindak pidana perzinahan di RKUHP. Sebelumnya, dalam beleid itu pidana perzinahan tidak menyebut spesifik hukuman pelaku pemesan PSK.
Lebih lanjut dia menerangkan bahwa ada ancaman hukuman pidana penjara maksimal satu tahun bagi pasangan yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Dasar hukumnya adalah Pasal 417 ayat 1 R-KUHP, dimana delik aduan tersebut akan diperluas guna menjerat para pria hidung belang.
Ia menegaskan memang tidak mudah merumuskan dan memutuskan terkait tindak perzinahan. RKUHP pun diatur dalam tindak perzinahan, bukan spesifik pengguna PSK atau bahkan legalisasi prostitusi.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar mendukung sepenuhnya rencana DPR terkait pembuatan aturan guna memidanakan pengguna jasa layanan perempuan panggilan. Praktik prostitusi menurutnya dapat merusak moral dan kualitas generasi bangsa. Sebagai alternatif, dia menyarankan agar pemerintah lebih mempermudah prosedur perkawinan sehingga orang-orang tidak terjebak jerat pelacuran.
Fickar dalam penjelasannya juga menyebut jika KUHP memang belum menjamah pelanggan praktik seks komersial. Dalam UU peninggalan era kolonial itu, ancaman pidana hanya disiapkan bagi penyedia jasa PSK, seperti mucikari atau germo. Ketentuan itu tercermin dalam Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP.
Baca juga: Femisida Masih Dimaklumi Masyarakat Karena Stigma dan Status Korban
Menanggapi gaduh wacana DPR tersebut, Tenaga Ahli Madya Kedeputian II Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Erlinda angkat bicara. Dirinya menyatakan jika pemerintah akan mendukung penuh rencana pemidanaan bagi pengguna jasa layanan seksual. Jika berlaku, regulasi itu dapat menekan menekan angka kejahatan seksual atas nama prostitusi.
Wacana ini, menurutnya seperti oase di padang pasir. Dimana yang selalu menjadi korban adalah perempuan atau para penikmat seks yang berbeda atau sesama jenis. Sementara itu, soal kesejahteraan PSK, Erlinda menyinggung jika pemerintah tidak bakal lepas tangan begitu saja.
Kementerian-kementerian terkait, semisal Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), bakal didorong untuk merehabilitasi para PSK yang berniat menjauhi dunia malam.
Misalnya Kementerian PPPA bisa memberikan pelatihan, kompetensi, serta berbagai macam skill sehingga nantinya para PSK tersebut punya satu pegangan untuk modal bekerja.
Rehabilitasi para PSK, kata Erlinda, merupakan pekerjaan masif yang tak bisa dibebankan kepada pemerintah pusat sendirian. Ia berharap pemerintah daerah juga turut berkontribusi dalam memastikan mantan pekerja seks bisa hidup sejahtera.
Baca juga: Tak Hanya Perempuan, Kaum Laki-Laki juga Wajib Belajar Literasi TPKS
"Termasuk juga para (praktisi) dunia usaha dan akademisi. Kenapa tidak memberikan pelatihan tambahan supaya selamatkan mereka dari lingkaran yang mereka berat untuk keluar, tutur Erlinda.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Amrizal
Editor : Pahlevi