Relasi Peng-Peng di Balik Laporan Ubedilah Badrun terhadap Gibran dan Kaesang ke KPK

Reporter : Aribowo
Untitled-1

Optika.id. Surabaya. Salah satu tesis kunci kegaduhan laporan Ubedilah Badrun (Ubed) tentang dugaan korupsi dan pencucian uang Gibran Rakabuming Raka (Gibran) dan Kaesang Pangarep (Kaesang) ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah formulasi ersatz capitalismnya (EC) Yoshihara Kunio. Tesis itu cukup lawas, tapi masih apik dipakai menjelaskan gejala kolusi Peng-Peng (penguasa dan pengusaha) saat ini.

Ubed merujuk tesis Kunio tatkala menjelaskan kolusi antara Gibran dan Kaesang dengan para pengusaha. Menurut Kunio, di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berkembang gejala ersatz capitalism atau kapitalisme semu (kapitalisme substitusi yang inferior).

Baca juga: Skandal Korupsi Pertamina: Mantan Direktur Umum Jadi Tersangka Kasus Pembelian Tanah

Gejala EC disebabkan oleh 2 hal, yaitu campur tangan pemerintah terlalu besar sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat kapitalisme tidak dinamis. Kedua, kapitalisme di Asia Tenggara tidak didasarkan perkembangan teknologi yang memadahi. Akibatnya tidak terjadi industrialisasi yang mandiri.

Dua faktor itu menyebabkan borjuasi palsu, borjuasi yang selalu minta perlindungan politik demi kepentingan bisnisnya. Kunio mengatakan, bahwa para kapitalis yang mencoba menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis dapat disebut pemburu rente (rent seekers). Para kapitalis itu mencari peluang untuk menjadi penerima rente yang dapat pemerintah berikan dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya.

Di Filipina gejala pemburu rente itu disebut crony capitalist (Kapitalis Konco). Di Thailand gejala tersebut disebut kapitalis birokrat, pinjam model di China. Sedangkan Yahya Muhaimin menyebutnya dengan istilah pengusaha klien (Yahya Muhaimin, LP3ES, 1991).

Baik Kunio dan Muhaimin sepakat bahwa fenomena pemburu rente dari EC merupakan konsekuensi dari besarnya kekuasaan negara, kemampuan intervensi terhadap pasar, dan otonomnya terhadap masyarakat. Muhaimin menganggap pengusaha klien itu masuk ke dalam pasar dengan perlindungan politik dan bisnis dari kekuasaan, baik di parlemen maupun di pemerintah.

Menurut Muhaimin sebenarnya gejala dan sejarah pemburu rente itu telah berkembang sejak awal kemerdekaan Indonesia. Mulai dari jaman rezim Demokrasi Parlementer sampai dengan Demokrasi Pancasila. Bahkan saat ini menggila kembali.

Arief Budiman menganggap pemburu rente itu berkembang sebagai konsekuensi dari gejala negara yang melakukan pembangunan terlambat sehingga negara melakukan intervensi ke berbagai kehidupan masyarakat. Kuatnya kekuasaan negara, oleh Budiman disebut sebagai gejala kapitalis klien dalam konteks hubungannya dengan kekuasaan negara.

Kapitalis klien itu dikemudian hari digunakan untuk menjelaskan dampak dari gejala negara kuat dengan sebutan birokratik rente. Ada transformasi teoritik dari gejala EC menuju ke kapitalisme kroni, pengusaha klien, sampai dengan birokratik rente.

Demokrasi Mati

Ditahun 2018 Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, Harvard University, menulis buku menarik berjudul How Democracies Die. Tulisan tentang Amerika Serikat jaman Trump itu mengisyaratkan ada gejala merosotnya demokrasi di Amerika Serikat dan negara-negara di luar Amerika Serikat.

Demokrasi di AS merosot karena dua faktor yang saling berkaitan. Utamanya, adalah (1) menurunnya norma-norma demokrasi; yang kemudian diikuti dengan (2) kemunculan an extremist demagogue atau an elected autocrat.

Tesis Levitsky dan Ziblatt mengukuhkan kembali tesis demokrasi di Eropa Selatan, yaitu ditentukan elite politik. Demokrasi, di samping merosotnya norma-norma demokrasi, juga oleh sikap dan perilaku elite penguasa. Levitzky dan Ziblatt secara kasar menyebut an extremist demagogue atau seorang otokrat yang terpilih hasil pemilu.

Mengingatkan gejala demokrasi di Eropa Selatan: ditentukankan oleh elite politik, meskipun struktur sosio-ekonomi tidak sekuat di Eropa Barat. Begitu juga sebaliknya, seorang elite politik atau seorang demagoge yang ekstrem (terpilih hasil pemilu) bisa menghancurkan demokrasi dan membenamkan negara dalam cengkeraman oligarki.

Faktor pemimpin yang demagoge, kapitalisme semu, pencari rente, kolusi Peng-Peng, dan suburnya oligarki yang mengelilingi demagoge menjadi penjelas yang menarik di balik laporan Ubed terhadap Gibran dan Kaesang ke KPK. Laporan itu, mungkin secara hukum masih sederhana, namun gejala sosio-ekonomi dan politik itu sudah masuk kategori gila.

Peng-Peng

Pola relasi antara penguasa dan pengusaha dalam pola EC itulah yang menyebabkan birokratik rente, legislatif rente, dan kolusi antara penguasa dan pengusaha. Rizal Ramli menyebutnya Peng-Peng (penguasa dan pengusaha). Sebenarnya di balik istilah Peng-Peng itu ada konotasi unsur Cina atau keturunan Cina. Pengusaha dari Cina asli dan atau keturunan Cina yang mencari rente.

Dijaman Orde Baru sering disebut kolusi Ali-Baba: Ali itu konotasi pribumi (biasanya pejabat) dan Baba dikonotasikan keturunan Cina (baba itu sebutan bapak untuk orang Cina)

Baca juga: Kejaksaan Agung Tetapkan Eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong Sebagai Tersangka Kasus Impor Gula

Rent seeker itu kawin dengan pemegang kekuasaan rule of the rich - yang menjadikan olygarch lebih kuasa dari penguasa. Mereka tidak memiliki kekuasaan tetapi menguasai. Penguasa memiliki kekuasaan tetapi tidak menguasai.

Dulu, pelaku ekonomi memilih berada di luar (pemerintahan dan politik), mengurus uang dan bisnis. Sekarang berusaha ke dalam, mengurus uang, politik dan kekuasaan. Mereka tidak butuh demokrasi atau mendefinisikan apa itu demokrasi sesuai dengan tafsirnya sendiri.

Perselingkuhan itu menurut Kevin Phillips (2002) memicu lahirnya rezime plutocrat di Amerika Serikat. Dalam praktiknya pengusaha menundukkan penguasa. Penguasa lalu menjalankan kekuasaan rule of the rich, berbagai kebijakannya bukan mengacu kepada ideologi negara atau aspirasi rakyat tetapi kepada aspirasi orang-orang kaya.

Kita lihat Peng-Peng itu sudah terjadi dijaman Demokrasi Parlementer hingga Orde Baru. Kita lihat grafis di bawah ini:

Grafis di atas menunjukkan pola Peng-Peng atau EC sudah ada sejak Republik ini berdiri. Pola itu bergantung pusat kekuasaannya. Jika kekuasaan ada di eksekutif maka muncul birokratik rente. Tapi kalua kekuasaan ada di legislative maka muncul pola legislative rente. Kita bisa lihat grafis di bawah ini

Baca juga: Ketua DPRD Jatim 2019-2024 Diusut KPK: Kapan Tersangka?

Bisnis Gibran dan Kaesang
Sebenarnya bisnis Gibran dan Kaesang sangat sederhana. Bisnis makanan, minuman, dan jasa pemula. Karena itu mereka berjualan pisang, es doger, pisang, martabak, makanan, mainan, dan sebagainya.
Dalam bayangan banyak orang jika bisnis seperti itu tidak ada yang istimewa. Tidak perlu ada yang curiga dan memang tidak perlu dicurigai. Sebagai anak presiden, sesuatu yang wajar, dan terasa sederhana.
Namun ketika tiba-tiba bisnis sederhana itu membesar dengan cepat: membuka cabang dibeberapa kota besar. Efek nama anak presiden menimbulkan pasar tersendiri. Awalnya laku. Mungkin kena musibah Covid 19 atau karena manajemennya beberapa bisnis makanan dan minuman itu merosot.

Yang mengagetkan ada suntikan dana, diberitakan secara luas, ada dana sekitar Rp 71 miliar untuk es doger. Lalu mereka membeli saham sekitar 93 miliar lebih. Kata Rizal Ramli, anak baru kemarin sore membeli saham sebesar itu. Darimana duit itu? Dari sanalah logika teoritis Peng-Peng itu berkembang. Kita lihat data grafis di bawah ini

[caption id="attachment_14225" align="aligncenter" width="577"] Sumber: tirto.id[/caption]

[caption id="attachment_14226" align="aligncenter" width="577"] Sumber: tirto.id[/caption]

[removed][removed]

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru