KETABANG KALI (1)

Reporter : optikaid
Sasetya Wilutama

Orang orang kampung menyebut kami tiga sekawan. Padahal saya tak terlalu suka dengan sebutan itu tapi tak bisa berbuat banyak, kecuali diam. Bagaimana mungkin disebut tiga sekawan, padahal kami berbeda dalam banyak hal, baik minat, karakter, sekolah maupun usia.

Mustofa misalnya, beda usia lima tahun lebih tua dari saya. Berkulit hitam gosong dan bandelnya seperti kera mabuk. Beliau sekolah di SD Katolik yg hanya berjarak 100 meter dari rumah dan satu satunya murid berkulit hitam, ketambahan gosong pula, sebab seluruh murid adalah anak anak Tionghoa, berkulit kuning pucat. Tercatat, beberapa kali Guru sekolah menemui Nenek, mengadukan kenakalan Lik Mus. Saya menyebut Lik karena dia memang paman saya, anak bungsu Mbah Sayadi. Selain itu secara pribadi saya sebal pada Purnomo dan jarang bertemu kecuali jika sama sama antri untuk mandi di kamar mandi umum. Purnomo sekolah di SD Negeri Simpang Dukuh. Sedangkan saya sekolah di SD Muhammadiyah.

Baca juga: Kartini Zaman Now

Satu satunya persamaan diantara kami bertiga adalah, kami sesama anak cucu polisi, dan tinggal di areal komplek polisi yang cukup luas. Seluruh area dikelilingi pagar tinggi, lengkap dengan pintu gerbang yang besar sebagai pintu masuk utama, bertulis Taman Olahraga Polisi, Jalan Ketabang Kali Surabaya. Ada tiga lapangan tennis, lapangan basket, bulutangkis, satu gedung serbaguna yang besar lengkap dengan panggung dan peralatan gamelan. Di bawah panggung ada dua ruangan kosong yang berfungsi sebagai gudang. Ada undak-undakan cukup dalam untuk masuk ke ruangan itu. Karena terletak di bawah permukaan tanah, tentu saja kondisi ruangan pengap dan gelap. Menurut cerita ibu, saat saya masih bayi, dan ayah belum punya rumah sendiri, ibu tinggal di salah satu ruang bawah tanah itu. Beberapa langkah dari gedung auditorium itu ada satu bangunan lagi yang difungsikan untuk arena bermain bilyard. Ada tiga meja bilyard di dalamnya, lengkap dengan stick-nya.
Sebagai penanggung jawab kebersihan dan keamanan, kakek mendapat rumah dinas di belakang panggung. Ini satu satunya rumah dinas. Pakde Kadar, ayah Purnomo, walaupun setiap hari berada di komplek, ternyata tidak mendapat rumah dinas. Mungkin karena pangkatnya lebih rendah atau badannya lebih kerempeng dari kakek sehingga tidak mendapat jatah rumah dinas. Saya hampir tidak percaya jika beliau juga seorang polisi. Perawakannya kecil, kerempeng, tapi kekuatannya luar biasa. Beliau pelatih tennis paling senior dan sangat ditakuti para awak lapangan. Jika marah, kata-kata makian dengan enteng menyembur dari mulutnya dan tak ada satupun yang berani menyela. Pakde Kadar benar-benar mempersiapkan Purnomo untuk menjadi juara tennis. Dan memang terbukti. Beberapa kali Purnomo menang kompetisi Tennis tingkat anak-anak dan remaja. Tidak jelas dimana rumah Pakde Kadar. Tiap pagi beliau datang di lapangan dan pulang malam hari. Terkadang menginap di kamar pribadinya, sebuah ruangan kecil yang sebenarnya diperuntukkan untuk ruang ganti pakaian. Hanya sekali saya melihat Pakde Kadar memakai seragam polisi, saat ada kunjungan bapak-bapak Perwira Polisi di lapangan. Waktu itu saya berkesimpulan, Pakde Kadar adalah seorang polisi yang bertugas khusus melatih tennis.

Walaupun Kakek mendapat rumah dinas, jangan membayangkan sebentuk rumah besar seperti rumah dinas umumnya. Tapi bayangkan sebuah bekupon doro (kandang burung merpati), lebih kecil dari rumah type 21. Walaupun bangunan permanen, rumah ini hanya terdiri dua ruang. Satu ruang yang kecil disekat untuk kamar tamu, yang hanya cukup 3 kursi tanpa meja dan kamar tidur nenek. Satu kamar lagi berisi meja makan, yang juga digunakan untuk setrika baju, dan satu tempat tidur kecil. Saya hampir tidak pernah masuk ruang ini karena aroma apek yang cukup menyengat. Ruang ini ditempati Lik Har, putra Mbah nomer empat, yang sejak kecil menderita gangguan jiwa. Tidak pernah kelihatan mandi dan ganti baju, dan sehari hari tidur di kamar itu. Ada satu kamar lagi dengan ukuran lebih sempit yg difungsikan sebagai dapur. Sehari hari Mbah Putri menghabiskan waktu di dapur, mengolah makanan untuk dijual di kantin.

Baca juga: Hijab Buat Nenek

Setelah saya dewasa, saya mengagumi kesabaran dan ketabahan Mbah Putri menghadapi situasi ini. Mempunyai tujuh anak, dan tinggal di rumah dinas yang sangat kecil, bagaimana mengatur tempat tidur untuk anak-anaknya. Dan praktis hanya satu ruangan yang bisa dipakai, sebab nggak ada yang mau tidur bareng Lik Har yang tidak pernah mandi dan ganti baju.**(bersambung)

(Sasetya Wilutama)

Baca juga: Setetes Air

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru