Penggunaan Kekerasan Sudah Bukan Jamannya

Reporter : optikaid
Penggunaan Kekerasan Sudah Bukan Jamannya

[caption id="attachment_9675" align="alignnone" width="300"] Oleh: Cak A. Cholis Hamzah[/caption]

Ketika saya menjadi aktivis mahasiswa tahun 70 an, saya menyaksikan perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Hampir seluruh aparatur negara baik itu bupati,walikota, gubernur, kepala dinas bahkan rektor diseluruh Indonesia di pimpin oleh pejabat dari militer. Bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian untuk tugas skripsi atau disertasi harus mendapatkan ijin dari kantor Sosial Politik (Sospol) yang ketuanya rata-rata berpangkat kolonel.

Baca juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?

Organisasi mahasiswa yang menyelenggarakan acara pelatihan harus juga mendapatkan ijin dari pihak aparat keamanan yang selalu mengirim personel-personel nya berpakain preman untuk memonitor acara mahasiswa itu.

Memang saat itu kita sering mendengar bahwa hal itu dilakukan pemerintah Orde Baru demi keamanan dan pembangunan nasional. Bagi siapapun yang melanggar aturan maka dengan dalih demi pembangunan nasionalmaka akan ditangkap bahkan dengan cara kekerasan.

Contoh penggunaan kekerasan jaman Orba itu terjadi di Jawa Tengah. Pada tahun 1985 pemerintah Orba waktu itu merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah  untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt dan dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektare sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo. Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.

Baca juga: Kekerasan Tak Buat Anak Jadi Penurut dan Disiplin

Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989. Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini. Beberapa media mengabarkan bahwa pemerintah pusat melalui Mendagri menyatakan ganti rugi tanah Rp 3.000/m2 tapi ternyata penduduk dipaksa menerima Rp 250/m2. Warga yang bertahan mengalami intimidasi, teror, kekerasan dan penangkapan.

Tragedi berdarah pada masa Orba juga terjadi di Sampang Madura waktu pemerintah membangun waduk Nipah terjadi pada 25 September 1993. Proses pembebasan tanah menjadi pemicu empat nyawa warga melayang karena tembakan aparat TNI. Waduk Nipah dibangun di atas tanah seluas 527 hektar di tiga desa di Kecamatan Banyuantes, yakni Desa Montor, Nagasareh, dan Tebanah. Warga meenolak pembangunan itu disamping karena ganti rugi nya kecil juga karena makam para leluhurnya hilang.

Pada jaman reformasi ini demokrasi ingin ditegakkan dengan menghindari cara-cara kekerasan dari pihak aparat keamanan seperti pada kasus Kedung Ombo dan Nipah diatas. Namun kenyataannya lain, penggunaan kekerasan oleh aparat terjadi lagi. Kondisi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Jawa Tengah memanas pada Selasa, 8 Februari 2022. Adanya penolakan dari sejumlah warga terhadap pembangunan proyek Bendungan Bener itu menyebabkan kericuhan. Akibatnya, sebanyak 64 Warga Desa Wadas diamankan polisi. Alasan warga Wadas tolak proyek Bendungan Bener adalah karena khawatir akan dampak lingkungan yang dimungkinkan akan terjadi. Utk dalih pengukuran tanah polisi, TNI bersenjata lengkap dan Satpol PP menyerbu desa Wadas, mengejar dan menangkap warga.

Baca juga: Relasi Kuasa Dibalik Anak Pejabat yang Doyan Kekerasan

Orang Surabaya seperti saya mengatakan Gak Usum yang bermakna sudah bukan jamannya lagi cara-cara kekerasan dilakukan terhadap rakyat karena dunia saat ini makin transparan seperti gelas kaca bening dimana semua orang di negeri ini maupun dunia dapat mengetahui apa-apa yang terjadi.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru