Optika.id - Beberapa pihak yang terdiri dari keluarga korban, politisi di DPR RI, dan sejarawan berharap permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte atas kekerasan ekstrem tentaranya pada 1945-1949 di Indonesia diikuti langkah konkret.
Salah seorang anak saksi mata dari aksi brutal Tentara Belanda di Rengat, Riau pada 5 Januari 1949 berharap ada kompensasi moril dan materiel dari Pemerintah Belanda.
Baca juga: Bukan Angkatan Darat, Sejarawan Ungkap Partai Golkar Sebenarnya Lahir dari Soekarno
"Saya kira tidak cukup dengan minta maaf, pemerintah Belanda harus melakukan hal kongkret, seperti apa yang dia lakukan terhadap korban Westerling (di Sulawesi Selatan) dan korban di Rawa Gede," kata Panca Setyo Prihatin dalam keterangannya, Minggu (20/2/2022).
Sejarawan UIN Raden Mas Said Surakarta Latif Kusairi menuturkan, kejahatan perang dan kelam masa lalu perlu rekonsiliasi. "Meminta maaf penting, sejauh tidak melukai korban dan pelaku kekerasan itu," ujar Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Budaya, UIN Raden Mas Said ini kepada Optika.id, Minggu (20/2/2022).
Menurutnya bisa saja ada kompensasi dari Pemerintah Belanda, tetapi kompensasi sudah sulit dicari. Pasalnya, kata Latif, ini kekerasan bersifat massal.
Permintaan maaf saja sudah cukup?
"Ya bukan cukup. Tapi materiel dan moril yang akan sulit dilakukan. Kecuali mau mengkalkulasi dan wilayah-wilayah mana yang mau diberikan kerugian tersebut. Kalau seperti Rawa Gede saja bisa," jawabnya.
Sementara itu, sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso mengatakan permintaan maaf Belanda itu harus direspons secara baik oleh pemerintah Indonesia, dengan mengutamakan kepentingan korban.
"Pemerintah harus memfasilitasi kalau ada sesuatu yang diinginkan oleh korban. Belum tentu mereka minta (kompensasi) uang, mungkin mereka sudah menerima ini sebagai suratan takdir dan ingin membangun sesuatu yang baik, kita harus mendengarkan mereka," kata Bondan dalam keterangannya.
Menurutnya, permintaan maaf PM Belanda menunjukkan itikad baik untuk melihat kekerasan ekstrem pada 1945-1950 secara lebih adil, dengan mengesampingkan kepentingan politik dan mengangkat persoalan kemanusiaan.
Permintaan maaf itu, katanya, harus segera direspons secara baik oleh Pemerintah Indonesia dengan mengutamakan kepentingan korban.
"Kita menyikapi dengan positif dulu permintaan maaf itu. Nanti langkah selanjutnya tentu arahnya keadilan bagi korban, bagaimana baiknya yang bisa mendamaikan apa yang selama ini jadi luka," katanya.
Bondan juga setuju pernyataan maaf harus diikuti oleh langkah konkret, berupa kompensasi pada korban. Tetapi terkait bentuk kompensasinya, harus ditanyakan langsung kepada korban.
Sejauh ini, beberapa keluarga korban pembantaian tentara Belanda telah memenangkan gugatan untuk mendapatkan kompensasi, di antaranya keluarga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan pada 1947 dan di Rawa Gede, Jawa Barat pada tahun yang sama.
Tetapi, Bondan mengingatkan masih banyak korban di berbagai daerah lainnya yang belum tersentuh, seperti di Rengat.
"Harus ditanyakan ke korban, apa yang mereka rasakan. Kalau mereka merasa apa yang dilakukan (Belanda) sudah cukup untuk (korban) Rawagede dan Westerling, tapi kan di tempat lain belum, masih banyak korban yang belum ditanya," ujarnya.
Bondan berharap permintaan maaf itu bisa menjadi titik awal rekonsiliasi antara korban di Indonesia dengan pelaku orang-orang Belanda. "Dengan demikian kita bisa bergerak maju, tidak lagi mengingat luka-luka ini," katanya.
Pemerintah Didesak Respons Permintaan Maaf
Selain itu, Anggota Komisi Bidang Hukum dan HAM DPR RI, Nasir Jamil juga mendesak pemerintah segera merespons permintaan maaf tersebut. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mendesak pemerintah Indonesia agar segera merespon permintaan maaf pemerintah Belanda atas kekerasan ekstrem tentaranya di masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949.
Hal itu ditekankan Nasir, karena sudah ada tuntutan dari keluarga korban kekerasan itu yang menuntut pemerintah Belanda agar memberikan kompensasi kerugian materi.
"Sekarang tinggal pemerintah Indonesia menyikapi pernyataan permintaan maaf oleh PM Belanda itu. Kalau kita diam saja, tidak bereaksi, ya, tentu Indonesia seperti ayam sayur," katanya.
Dia mengharapkan agar pemerintah Indonesia tidak kemudian berujar seolah-olah kekerasan ekstrem tentara Belanda itu sebagai peristiwa sejarah belaka.
Nasir meminta pimpinan DPR agar mengundang Duta Besar Belanda untuk menjelaskan pernyataan permintaan maaf PM Belanda tersebut.
"Alangkah baiknya bila DPR bisa merespon permintaan maaf itu dengan cara mengundang Dubes Belanda untuk Indonesia," katanya.
Kehadiran Dubes Belanda itu dibutuhkan untuk menjelaskan lebih detil tentang pernyataan permintaan maaf itu. "Seperti apa pemintaan maaf tersebut dan apa latar belakang sebenarnya," ujarnya.
Dari keterangan Dubes Belanda itu, menurutnya, DPR bisa menyikapi apa hanya cukup dengan pemintaan maaf sehingga masalahnya selesai, atau ada hal-hal lain, dan didorong ke pemerintah untuk melakukan tindakan konkret.
Sementara, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, mengatakan pemerintah sedang menyusun respons atas hal ini.
Korban: Permintaan Maaf Tidak Cukup
Diketahui, PM Belanda Mark Rutte menyatakan permintaan maaf mendalam menanggapi hasil penelitian tiga lembaga penelitian berjudul 'Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950' yang menyebutkan ada pembiaran terjadinya kekerasan ekstrem.
"Penelitian ini mendorong saya untuk mengulang lagi permohonan maaf, di sini dan saat ini: Atas kekerasan ekstrem yang sistematis dan meluas yang dilakukan Belanda pada tahun-tahun itu dan pandangan yang konsisten oleh kabinet-kabinet sebelumnya, saya menyampaikan permintaan maaf yang mendalam atas nama pemerintah Belanda kepada rakyat Indonesia hari ini," kata Rutte dalam keterangan resminya, dilansir situs resmi Pemerintahan Nasional Belanda (De Rijksoverheid. Voor Nederland), Minggu (20/2/2022).
"Dalam respons pertama pemerintah kepada Parlemen hari ini, pemerintah akan bertanggung jawab penuh terhadap kesalahan kolektif mereka (pemerintah Belanda di masa 1945-1950), pemerintahan yang menjadi basis kekerasan ekstrem dalam periode yang disebutkan itu," ujar Rutte. Dia mengatakan permintaan maaf juga disampaikan kepada orang-orang di Belanda yang terdampak kekerasan ekstrem yang terjadi di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Untuk periode sejarah 1945-1950 di Indonesia, Mark Rutte menyebutnya sebagai 'lembaran hitam dalam sejarah kita', dan 'babak menyakitkan dalam sejarah kita'. Permintaan maaf Rutte, kata dia, mengulang kembali permintaan maaf Belanda pada 2020 lewat Raja Belanda. Saat itu, Raja Belanda meminta maaf ke Indonesia atas kekerasan 1945-1949.
Panca Setyo Prihatin mengatakan keluarga korban mengapresiasi permintaan maaf PM Belanda, namun hal itu tidak cukup.
Baca juga: Presiden Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Sejarawan Sambut Baik
"Saya kira tidak cukup dengan minta maaf, pemerintah Belanda harus melakukan hal kongkret, seperti apa yang dia lakukan terhadap korban Westerling (di Sulawesi Selatan) dan korban di Rawa Gede," kata Panca.
Saat melakukan penyerangan ke Rengat pada 5 Januari 1949, sejumlah saksi mata dan laporan-laporan dari Belanda, pasukan khusus Belanda juga membunuh warga sipil.
Berdasarkan keterangan saksi mata, serangan itu menyebabkan antara 1.500 dan 2.000 orang di Rengat - sebagian besar warga sipil - terbunuh. Adapun dokumen militer Belanda menyebut warga yang terbunuh tercatat 120 orang.
Salah-seorang laskar pejuang yang terbunuh adalah adik dari ayah Panca Setyo. Sang ayah, Wasmad Rads, adalah anggota laskar pejuang Indonesia ketika serangan itu terjadi. Dia selamat setelah bersembunyi di gorong-gorong.
"Kejahatan perang itu tidak bisa berhenti pada permintaan maaf, tapi juga harus dihitung sebagai kerugian moril dan materiel," ujar pria kelahiran 1971 ini.
Sebagai langkah awal, Panca mengharapkan pemerintah Indonesia segera merespons permintaan maaf PM Belanda itu dan mendengarkan tuntutan keluarga korban.
Hal itu dia tekankan, karena khawatir pemerintah pusat tidak mengetahui dampak kekerasan ekstrem, sistematis dan meluas oleh Tentara Belanda terhadap keluarga dan keturunan korban.
"Jadi, saya mengharapkan pemerintah pusat mendengarkan pula tuntutan keluarga korban," ujar dosen sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru, Riau ini.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi