Optika.id - Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkapkan alasan mengapa korban kekerasan seksual enggan melapor ke polisi lantaran mereka tidak dapat memahami secara penuh apa yang terjadi terhadap dirinya.
Masing-masing dari mereka membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk mengakui bahwa dirinya korban. Sehingga, sering ada penundaan untuk melapor ke sistem peradilan pidana (kepolisian).
Baca juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?
Selain itu, dia membeberkan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih belum memiliki perspektif gender yang baik. Menurutnya, tidak semua aparat penegak hukum mengerti bagaimana memberikan pelayanan terhadap korban kekerasan seksual.
Ada ketidakpercayaan dan ketidaknyamanan jika aparat penegak hukum mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan korban. Misalnya, kalau korban kenal dengan pelaku, polisi menuduhnya suka sama suka, padahal enggak," ucapnya ketika dihubungi, Rabu (23/2/2022).
Tak hanya itu, faktor lainnya menurut Siti Aminah menuturkan jika sistem pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang memberatkan untuk kasus kekerasan seksual. Korban kasus kekerasan seksual yang berusia 18 tahun ke atas harus memiliki berbagai bukti yang bisa berupa keterangan korban, saksi, saksi ahli, korban, bahkan hingga pelaku.
Dalam prinsip KUHAP sendiri, minimal dua orang saksi yang melihat dan mengetahui kejadian kekerasan seksual. Padahal, kasus kekerasan seksual selalu dilakukan di ruang tertutup. Maka, kasus kekerasan seksual umumnya hanya berpangku pada keterangan korban saja.
Di sisi lain, yang menjadi faktor keengganan korban melapor adalah konteks sosial di Indonesia yang berupa persoalan moralitas. Seperti hubungan seksual di luar nikah hingga kekerasan seksual yang kerap menyalahkan bahkan menyudutkan perempuan. Biasanya, perempuan disalahkan masyarakat sebab tidak mampu menjaga diri.
Baca juga: Femisida Masih Dimaklumi Masyarakat Karena Stigma dan Status Korban
Sehingga, korban tidak akan cerita kepada orang lain. Jarang korban bercerita kepada orang lain kalau saya baru saja diperkosa, bahkan saksi yang mengetahui tidak langsung ada, ujar Siti Aminah.
Di sisi lain, korban cenderung melaporkan atau berbicara kasus kekerasan seksual yang menimpanya ke media sosial. Korban kasus kekerasan seksual yang berbicara ke media sosial berharap mendapatkan perhatian dari berbagai lembaga pengawas hingga warganet. Media sosial merupakan ruang untuk berkomunikasi yang lebih terbuka.
Menurut Siti Aminah, tidak semua kasus kekerasan seksual harus viral terlebih dahulu jika ingin mendapatkan keadilan. Sebab, banyak juga aparat penegak hukum yang bekerja dengan baik dalam menangani kekerasan seksual, sehingga korban mendapatkan keadilan dan akses terhadap pemulihan
Namun, Siti Aminah sepakat bahwa proses korban yang speak up di media sosial ini adalah salah satu upaya dalam mencari bantuan atau perhatian dari lembaga-lembaga pengawas maupun atasan dari sistem peradilan pidana, kala korban menemui hambatan-hambatan keadilan yang diterima oleh korban secara beruntun.
Baca juga: Tak Hanya Perempuan, Kaum Laki-Laki juga Wajib Belajar Literasi TPKS
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi