Optika.id Surabaya- Rencana revisi terhadap Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero) menghadirkan banyak pro kontra di publik.
Sebab, Pemerintah sedang melakukan revisi terhadap Permen ESDM tersebut untuk mengubah skema ekspor impor PLTS Atap ke jaringan listrik PLN dari 1:0,65 menjadi 1:1.
Baca juga: Pratikno Berikan Jawaban Soal Isu Bahlil Jadi Menteri ESDM!
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mukhtasor, mengatakan bahwa revisi tersebut sama saja mengabaikan potensi uang APBN yang menguap tanpa nilai tambah industri nasional produsen PLTS.
"Permen tersebut lebih rasional dan adil saat sebelum direvisi karena setrum yang diproduksi oleh PLTS Atap diekspor ke jaringan PLN pada siang hari, dan digunakan oleh pemasang PLTS Atap pada malam sebanyak 65 persen sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik," kata Mukthasor, Rabu (25/8).
Menurutnya, bahwa kompensasi itu dapat digunakan sebagai biaya untuk mengatasi berbagai masalah. Sebuah saja biaya menyalakan pembangkit untuk mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS.
Selain itu, lanjut Ia menganggap, bahwa biaya kompensasi yang ada sebelumnya akan diabaikan karena semua listrik yang diekspor siang dapat seluruhnya diimpor kembali malam. Dengan skema 1:1 ini, kompensasi biaya penyimpanan menjadi tanggungan PLN.
Sehingga ketika beban keuangan menimpa PLN, pada akhirnya menjadi beban APBN karena kerugian PLN akan menjadi tanggungan pengeluaran APBN, ujarnya.
Lanjutnya lagi dirinya menjelaskan, Draft Revisi Permen ESDM saat ini juga mengabaikan amanat Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional.
Sehingga membuka pintu masalah di mana potensi kemampuan APBN justru akan menguap. Hal tersebut terjadi karena APBN pada akhirnya terdampak beban kompensasi biaya penyimpanan setrum yang dialihkan dari tanggung jawab pemasang PLTS Atap menjadi beban PLN.
Jika Draft revisi Permen ESDM tersebut disahkan, menunjukkan bahwa Menteri ESDM sudah tidak efektif mengkoordinasikan penyelarasan kebijakan lintas sektoral, khususnya dengan Kementerian Perindustrian, terangnya.
Baca juga: Kembangkan Pembangkit Listrik, ITS Ingin Bantu Nelayan di Gili Ketapang
Lebih lanjut lagi Mukhtasor menambahkan, jika DEN tidak mengambil sikap dalam penyelarasan ini, berarti DEN telah gagal menjalankan amanat UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi, di mana kebijakan lintas sektoral harus dikoordinasikan.
"Saran saya agar pemerintah membatalkan Draft Revisi Permen ESDM tersebut dan menggantinya dengan strategi menguatkan industri nasional produsen solar cell," ucapnya.
Selain itu, kata dia, nantinya biaya yang semula harus digunakan untuk menutup kompensasi diubah menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS, terlebih produsen solar cell.
Dengan demikian harga solar cell dari industri nasional kompetitif di pasaran dan pengguna PLTS Atap dapat membelinya lebih murah, sehingga keekonomian PLTS Atap akan meningkat, paparnya.
Sementara itu, Mukhtasor menambahkan lagi, terlebih strategi menguatkan industri nasional produsen solar cell sejalan dengan PP No. 14 tahun 2015 yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga: ITS dan Pemkot Surabaya Bersinergi Bangun Pabrik AMDK HE2O
Dalam PP tersebut, pemerintah menetapkan enam jenis industri andalan dalam Pembangunan Industri Nasional yang salah satunya adalah industri pembangkit energi.
Ia pun berharap agar Presiden Jokowi dapat mengambil sikap yang tepat terhadap kekeliruan yang terjadi di Kementerian ESDM saat ini.
Untungnya, kebijakan atau program yang berdampak luas harus dilaporkan ke Presiden dan berkoordinasi dengan Sekretaris Kabinet, sehingga masih ada waktu untuk memperbaiki, jelasnya. (Ramadhani)
Editor : Pahlevi