[caption id="attachment_9845" align="alignnone" width="132"] Oleh: Diki Wahyudi (Mahasiswa S2 Ilmu Politik Fisip Unair)[/caption]
Benar belaka, manusia biasa seperti kita ini, dimata otoritas tak lain adalah seorang teroris yang harus selalu diintai dan diawasi (Agamben)
Baca juga: Demokrasi Tergerus, LaNyalla: Sistem Pilpres Liberal Penyebab Penurunan Kualitas Demokrasi
Awal tahun 2022, kondisi sosial politik yang dialami masyarakat Indonesia kembali menuai cerita memilukan dan tragis. Berawal pada Selasa (08/02/2022), insiden tindakan represif yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian berakhir dengan penangkapan 67 orang masyarakat yang menolak pengukuran bendungan bener.
Insiden di desa wadas belum usai, kembali terjadi tragedi yang sangat tragis yaitu penembakan pendemo yang menolak tambang hingga tewas di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Terungkap nama warga Erfaldi yang menjadi korban penembakan yang dilakukan oleh oknum polisi.
Kepala divisi propam polri, Irjen Ferdy Sambo pun membenarkan jika ada oknum polisi yang katanya berpakaian preman saat itu telah menembak seorang pendemo tersebut. Namun, kejadian yang terjadi di Parigi, anggota polisi disinyalir semuanya berpakaian preman disaat mengamankan aksi demonstrasi yang terjadi.
Berkaca dari kedua kasus tersebut, aparat kepolisian sudah lalai dalam menjalankan tugasnya. Terkait dengan pelaksanaan di saat mengamankan aksi demonstrasi sebagai upaya perwujudan penyampaian pendapat di muka umum, di tetapkan aturan kepolisian negara republik indonesia no 9 tahun 2008 perihal tata cara penyelenggaraan, pelayanan, pengamanan dan penanganan perkara penyampaiaan pendapat di muka umum.
Dalam pelaksanaan tugasnya, sesuai dengan (Pasal 13 perkapolri 9/2008) yaitu melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah, menyelenggarakan keamanan. Dari bunyi pasal yang sudah disebutkan pihak kepolisian harus menghargai kebebasan berpendapat masyarakat dan melindunginya.
Pasal (24 Perkapolri 9/2008) dijelaskan, dalam menerapkan upaya paksa, pihak kepolisian harus menghindari terjadinya hal-hal kontra produktif, contohnya tindakan aparat yang spontanitas dan emosional misalnya sampai mengejar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul, apalagi tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan atau melanggar ham.
Pasal-pasal yang sudah di jelaskan diatas, sudah menjadi kewajiban pihak berwenang untuk mamatuhinya, tujuannya tak lain ialah agar pihak berwenang berkewajiban untuk mematuhinya dan mengevaluasi kejadian-kejadian yang dialami oleh masyarakat yang menjadi korbannya.
Aparat tidak boleh melakukan tindakan sewenang-wenang, mengingat penyampaian pendapat di muka umum sudah dilindungi oleh undang-undang dan menjadi kesepakatan bersama bagi masyarakat indonesia, alasannya karena negara ini tidak mau lagi kembali pada rezim otoritarianisme.
Namun kejadian yang dialami oleh masyarakat di wadas dan tragedi penembakan pendemo di Parigi Moutong, mengingatkan kembali kisah traumatik yang dialami oleh masyarakat Indonesia pada era orde baru, dimana saat itu rakyat kesulitan untuk menyampaikan aspirasi, ketika aspirasi digaungkan konsekuensinya ialah berhadapan dengan senjata laras Panjang.
Tak heran, jika indeks demokrasi negara ini menurun, penyebabnya ialah dari aparat itu sendiri yang tidak menghormati nyawa manusia atau menghormati kebebasan berpendapat di muka umum, karena sejatinya setiap masyarakat mempunyai hak untuk memberikan solusi demi kebaikan dan kemajuan bagi negara ini.
Baca juga: Setara Institute: Prabowo-Gibran Akan Bawa Indonesia ke Otoritarianisme 2.0
Konsolidasi Demokrasi
Kita semua perlu kiranya, merefleksikan kembali arti penting dari demokrasi itu sendiri, mengutip Miriam Budiarjo, sejatinya prinsip dasar demokrasi adalah kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat (goverment or rule by the people). Pada konteks ini, seluruh kelompok masyarakat sudah semestinya harus menjalankan fungsi demokrasi.
Jika fungsi demokrasi tidak di jalankan semestinya, maka tak heran jika rezim ini seakan demokratis namun sejatinya otoriter. Ciri-cirinya sederhana, kasus yang terjadi di wadas dan juga di Sulawesi adalah ciri bahwa rezim sekarang tidak mau mendengarkan keluh-kesah dari rakyat, anehnya yang di dengar hanyalah para konglomerat dan para pemilik modal besar.
Begitupun dengan Samuel P. Huntington dalam karya fenomenalnya The Third Wave of Democratization, menyebutkan ada tiga periode perkembangan demokrasi, di antaranya: Pertama, ditandai dengan kemajuan di bidang industrialisasi, urbanisasi dan ekonomi; Kedua, ditandai faktor politik dan militer menyusul kemenangan sekutu saat perang dunia kedua yang sejumlah negara beralih ke sistem demokrasi; dan Ketiga, ditandai dengan melemahnya legitimasi rezim otoriter.
Pada tahun 1998, Indonesia mengalami transisi dari rezim otoritarianisme ke demokrasi, alasannya ialah, rakyat ingin berpartisipasi di dalam pembangunan negara yang lebih baik, sehingga runtuhnya rezim yang sangat bengis, tak ayal karena masyarakat sudah lelah mengalami intimidasi dari negara melalui state aparatus.
Meminjam istilah dari Georgio Agamben, aparatus ialah seperangkat praktik, perilaku, institusi, yang memiliki sebuah kapasitas untuk mengarahkan, menentukan, mengendalikan atau sekaligus mengamankan perilaku, gestur, dan pikiran dari manusia itu sendiri.
Baca juga: Genderang Kritik Dibungkam, YLBHI: Ada Empat Pola Negara Memberangus Gerakan
Aparatus jika di kaitkan dengan institusi polri, maka ia tidak boleh memberangus kebebasan berpendapat dari masyarakat, dimana ontology makhluk hidup memiliki kedudukan , sedangkan disisi lain, aparatus oikonomia yang mengatur dan membimbing mereka menuju jalan kebaikan yang selalu diimpikan oleh setiap manusia.
Maka, negara tidak boleh melakukan kekerasan, apalagi melalui aparatusnya, masyarakat memiliki hak dan kewajiban, bisa jadi kalau mengutip pikirannya Arendt, rakyat bisa melakukan tindakan kekerasan terhadap negara jika sudah abai akan kondisi kesejahteraan rakyatnya, namun negara tidak diperkenankan melakukan kekerasaan terhadap rakyatnya, alasannya manusia yang ada di dalam suatu negara memiliki wewenang atas hak hidupnya.
Masih ada waktu untuk merenungi kembali jalannya demokrasi di indonesia, seluruh stakeholder harus bekerja sama dan bersuara akan kejadian yang menimpa negara ini, jangan sampai tragedi 1998 terulang kembali karena negara sudah menunjukkan ciri-ciri otoritarianisme,
Seluruh elemen sudah saatnya melakukan konsolidasi untuk perbaikan negara ke arah yang lebih baik, ditinjau dari aspek sejarah di rezim soeharto, tentu, kita semua tidak mau nyawa manusia melayang dengan mudahnya seperti dulu kala, maka kita semua harus menciptakan sejarah yang lebih baik demi kesejahteraan bersama.
Editor : Pahlevi