Nikah Beda Agama, Bolehkah? Begini Kata Sekjen MUI dan Tokoh Agama

Reporter : Seno
IMG-20220317-WA0046

Optika.id - Beredarnya foto pernikahan berbeda keyakinan berlatar belakang altar dan logo Gereja di Semarang menuai reaksi dari berbagai kalangan.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan secara tegas turut angkat bicara mengenai pernikahan beda agama sebagaimana foto yang viral dan menuai kontroversi.

Baca juga: PN Surabaya Digugat Soal Kasus Nikah Beda Agama

"Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut Qaul Mutamad adalah haram dan tidak sah," kata Amirsyah seperti dikutip portal suara Merdeka.com, Kamis (17/3/2022).

Lebih lanjut, pria yang dipanggil Buya ini mengutip Fatwa MUI Nomor:4/Munas VII/MUI/8/2005, pernikahan beda agama itu haram dan tidak sah. "Sudah jelas kan Fatwa terkait hal itu," tukasnya

Senada, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dr. Sholihin Fanani menyayangkan terjadi pernikahan berbeda keyakinan.

"Ayat sudah tegas kenapa masih mengedepankan hawa nafsu," ujarnya kepada Optika.id, Kamis (17/3/2022).

Lebih lanjut, alumnus program Doktoral Universitas Airlangga ini mewanti-wanti kepada kaum Muslimin agar hati-hati terhadap hal-hal yang menyangkut Tauhid.

"Umat harus lebih cermat dan hati-hati, jangan mencampur adukkan yang haq dan bathil atas nama toleransi," tukasnya.

Seperti diketahui, agama Islam secara terang-terangan melarang adanya pernikahan berbeda agama. Hal itu tertulis jelas dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 221 yang mengandung arti:

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik.

Hal yang sama tercantum juga larangan pernikahan berbeda keyakinan tercantum dalam ajaran Kristen tentang Larangan perkawinan beda agama (II Korintus 6: 14-18).

Sebelumnya, MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah sepakat menyatakan dan memberikan fatwa jika pernikahan beda agama yang dilakukan dalam agama Islam haram hukumnya. Dan membuat akad nikah dari pernikahan tersebut tidak sah secara agama.

Baca juga: Mahar dalam Islam

Dilansir dari hukumonline.com pada Rabu (9/3/2022), syarat sahnya perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UU Perkawinan adalah:

1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975).

Baca juga: Rektor Rasis, Sindir Aktivis Kampus Hingga Wanita Berjilbab Sebagai Manusia Gurun

Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat.

Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil.

Dalam hukum di Indonesia, syarat sahnya perkawinan agar diakui negara juga harus resmi tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Oleh: M.Roissudin

Editor: Pahlevi 

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Sabtu, 14 Sep 2024 18:18 WIB
Jumat, 13 Sep 2024 08:24 WIB
Senin, 16 Sep 2024 11:12 WIB
Berita Terbaru