Optika.id - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, melontarkan pernyataan keras terhadap topik upaya penundaan pemilu 2024. Dan upaya amandemen konstitusi yang terus digaungkan oleh segelintir kelompok untuk mempertahankan kekuasaannya.
"Jika ada amandemen dan upaya-upaya penundaan pemilu pasti kita halangi. Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Pak Luhut yang menyatakan sekian puluh juta penduduk Indonesia menyatakan setuju pemilu ditunda, bisa kami bantah. Melalui data yang kami peroleh dari Big Data, karena kami (DPD RI. Red) juga menggunakan big data sebagai bacaan persoalan daerah," tegasnya pada Diskusi Forum Insan Cita, Minggu (20/3/2022) malam.
Baca juga: Demokrasi Tergerus, LaNyalla: Sistem Pilpres Liberal Penyebab Penurunan Kualitas Demokrasi
Ia menganggap, lontaran pernyataan dari partai politik dan Luhut Binsar Panjaitan adalah agenda setting untuk membentuk persepsi publik, sekaligus membentuk opini di masyarakat. Bertujuan seolah-olah bahwa penundaan pemilu pantas.
Permasalahan mendasar di DPR RI, menurutnya, tirani suara mayoritas partai politik di Senayan adalah persoalan mendasar bangsa Indonesia. Ia mencermati pernyataan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar terkait isu pemilu pada 8 Maret 2022 lalu.
"Pak Muhaimin bilang 'Kalau partai kompak maka Jokowi maju', Kalimat tersebut menunjukan bahwa negara ini diatur berdasarkan kekompakan suka-suka partai politik. Asal partai politik kompak semua pasti bisa. Ini yang celaka," ujarnya.
Mantan ketua umum PSSI itu memaparkan, bagaimana DPR tidak secara luas melibatkan publik dalam mengubah Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Meskipun banyak pakar, akademisi dan masyarakat menyoal, semua jalan saja. Hingga rakyat membawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) tapi ditolak materinya, tidak ada jalan lain lagi.
Rakyat Dianggap Sampah, Dibutuhkan Cuma Lima Tahun Sekali
Ia berpendapat, demokrasi di Indonesia sudah berubah arti yang awalnya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Berubah menjadi, dari rakyat, oleh partai, untuk kekuasaan.
"Lalu dianggap apa rakyat sebagai pemimpin tertinggi kedaulatan, dianggap apa sebenarnya rakyat ini. Dianggap sampah yang dibutuhkan suaranya lima tahun sekali saja. Padahal negara ini ada dan lahir karena rakyat. Bukan karena partai politik," lanjutnya.
Baca juga: Setara Institute: Prabowo-Gibran Akan Bawa Indonesia ke Otoritarianisme 2.0
Menurut La Nyalla, kesalahan besar amandemen konstitusi pada 2002 yang memberikan terlalu banyak ruang terhadap partai politik. Akibatnya, hegemoni partai menjadi tirani politik yang baru, rakyat kalah telak
"Sistem yang kita jalani adalah menang-menangan angka dan rakyat adalah angka itu. Rakyat hanya memiliki ruang evaluasi di lima tahun sekali. Celakanya lagi, ruang evaluasi itu juga mau ditunda partai politik," kata alumnus Universitas Brawijaya itu.
Janji DPD RI Tolak Penundaan Pemilu dan Amandemen Konstitusi
Bagaimana DPD menjadi palang pintu untuk menggagalkan penundaan pemilu atau usulan amandemen konstitusi mengingat jumlah DPD RI tidak sebanyak DPR RI?
"Saya tegaskan bahwa amanat perubahan Undang-Undang dan amandemen konstitusi diputuskan dalam sidang MPR. MPR terdiri dari DPR RI dan DPD RI. Jika tidak ada anggota DPD apa masih bisa disebut sidang MPR," tegas ketua DPD RI ini di forum Guru Besar dan Doktor itu.
Baca juga: Genderang Kritik Dibungkam, YLBHI: Ada Empat Pola Negara Memberangus Gerakan
Ia memastikan, akan secara terbuka membeberkan siapa dalangnya, jika ada yang memasukkan agenda perpanjangan masa jabatan presiden atau perubahan isi pasal yang memungkinkan pemilu dapat ditunda dengan mudah.
"Saya akan sampaikan kepada rakyat secara terbuka bahwa ada selundupan seperti ini, yang menyelundupkan si A dan si B saya akan sampaikan terbuka," janji pria 62 tahun itu.
Reporter: Jenik Mauliddina
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi