Laporan Haris Azhar Soal Dugaan Gratifikasi Luhut Ditolak Polda Metro Jaya

Reporter : Seno
images (18)

Optika.id - Polda Metro Jaya menolak laporan Direktur Lokataru Haris Azhar dan koalisi masyarakat sipil terkait dugaan gratifikasi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di bisnis tambang Papua. LBH Jakarta menyebut alasan polisi menolak laporan tersebut mengada-ada.

"Tadi kita melaporkan dugaan tindak pidana gratifikasi yang melibatkan LBP kepada Krimsus Polda Metro Jaya. Setelah berdebat selama beberapa jam akhirnya pihak Krimisus memutuskan untuk menolak laporan kita," kata Kepala Advokasi dan Pengacara LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora dalam keterangannya di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (23/3/2022).

Baca juga: Soal Jokowi Tawarkan Kaesang, Luhut: Jangan Asal Omong!

Dia mengatakan Polda Metro Jaya memberikan alasan tidak jelas soal penolakan laporan tersebut. Menurut Nelson, alasan penolakan laporan Polda Metro Jaya adalah bagian dari 'kekuasaan'.

"Alasannya dalam tindak pidana korupsi tidak bisa membuat laporan itu alasan yang bagi kami alasan yang dibuat-buat untuk menolak laporan. Karena apa? Karena kita menduga kuat yang kita laporkan orang yang merupakan bagian dari kekuasaan," katanya.

Diketahui, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti Koordinator KontraS telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya atas kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

Kesenjangan Akses Hukum

Pengamat Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono menyebut penetapan tersangka itu sebagai bukti adanya kesenjangan dalam akses hukum.

"Ini adanya kesenjangan dalam akses dan pemanfaatan hukumnya. Banyak masyarakat yang beranggapan kalau seperti itu biasa dan tidak perlu dilanjutkan ke hukum tapi ada yang menilai perlu diajukan ke ranah hukum," ujar Drajat dalam keterangannya, Kamis (24/3/2022).

Menurutnya, dalam kondisi seperti ini yang diperlukan adalah lembaga advokasi yang aktif, dan juga perlindungan terhadap masyarakat yang ditetapkan sebagai tersangka itu.

"Yang diperlukan lembaga advokasi yang aktif, teman yang diajukan sebagai tersangka segera mendapatkan dukungan dan perlindungan dari LBH, teman hukum, kalau ada fasilitasi juga dari kejaksaan itu sendiri. Jaksa itu bukan hanya milik orang-orang yang punya uang," tandasnya.

Dia menuturkan, berkaca pada kejadian tersebut, selama ini di masyarakat memang ada dua basis sosi. Yang pertama dihasilkan dari kesepakatan masyarakat dan itu tidak tertulis. Dan yang kedua adalah dari negara.

"Negara mempunyai government control, untuk beri jaminan tertib warga negara. Sebagai warga negara itu kan bervariasi untuk mengatur dikeluarkanlah government control," jelasnya.

Dan bagi masyarakat yang melanggar norma-norma negara, lanjutnya, maka pembuktiannya harus berdasarkan aturan negara, penegakan hukum, PH, jaksa dan juga hakim.

"Sedangkan bagi warga yang melanggar norma di masyarakat pembuktian dengan kelayakan dan kewajaran, tidak perlu sampai ke ranah hukum," ucapnya.

Dia mencontohkan, seperti guyonan terhadap agama yang pernah diungkapkan oleh mantan Presiden RI Gus Dur. Meski disampaikan dengan begitu tajam, tetapi hal itu dianggap sebagai guyonan.

"Berbeda halnya jika yang berbicara itu orang lain, maka akan menjadi penistaan agama. Ini menunjukkan bahwa ada dua standar yang berlaku, di masyarakat ini ternyata standar hukum tidak sinkron dengan standar sosial, seharusnya keduanya sinkron," tandasnya.

Drajat menyampaikan, jika di masyarakat sesuatu hal tidak termasuk sensitif maka sebaiknya negara juga tidak perlu sensitif.

"Tapi faktanya ada gap atau jarak antara yang dilakukan masyarakat dan negara. Kalau itu jaraknya terlalu jauh akan muncul ketidakpercayaan terhadap penegak hukum," tukasnya.

Hal senada dikatakan Pakar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Dr Hibnu Nugroho. Dia menilai langkah itu terburu-buru.

"Dalam aspek sebagai kajian objek ini terburu buru, karena ini suatu bentuk pernyataan 'akademis' kajian penelitian, saya kira (penetapan tersangka) terburu-buru," kata Hibnu dalam keterangannya, Rabu (23/3/2022).

Baca juga: Tolak Jadi Menteri, Luhut Terima Tawaran Penasihat Prabowo

Hal itu menurutnya menjadi preseden buruk bagi upaya penegakan hukum di Indonesia. Karena dapat berpotensi membungkam peran masyarakat untuk terlibat dalam kontrol sosial.

"Peristiwa ini menjadi preseden kurang baik ketika ada NGO atau siapa pun yang menganalisis tentang suatu permasalahan di masyarakat. Karena ini kajian maka kalau pencemaran harusnya dilihat ada unsur mens rea atau tidak, polisi harus jernih di situ," ucap Hibnu.

Kasus pencemaran nama baik menurutnya merupakan delik aduan yang sangat subjektif. Sehingga menurutnya untuk delik semacam itu tidak perlu dinaikkan karena indikatornya persoalan rasa dan klasifikasinya sangat beragam.

"Ini yang agak sulit untuk delik pencemaran nama baik, harusnya (kasus ini) nggak perlu dinaikkan, ini kan namanya rasa dan yang disampaikan suatu objek kajian bukan suatu bentuk pernyataan subjektif, harusnya dibantah dengan studi komparatif yang lain ada suatu klarifikasi," ujarnya.

Terkait rencana Haris Azhar yang akan mengajukan praperadilan, Hibnu menilai sebagai langkah yang bagus. Praperadilan menurutnya sebagai bentuk evaluasi terhadap upaya paksa penentuan sebagai tersangka.

"Sebagai tersangka itu buktinya apa? Saya kira potensi bisa menang itu nanti (praperadilan). Karena untuk menjelaskan bukti pencemarannya di mana itu bukan suatu delik. Saya kira langkah yang bagus oleh Mas Haris untuk mem-praperadilankan karena dia mengkaji dalam kajian akademik, tidak ada niatan untuk menjatuhkan jadi saya kira aspek bukti permulaannya belum ada dan terkesan prematur," jelasnya.

Penetapan tersangka menurutnya harus didasarkan pada bukti awal yang cukup oleh penyidik. Menurut Hibnu saat ini Haris Azhar perlu memperkuat untuk menangkal pembuktiannya di persidangan.

"Nanti apakah itu masuk kualifikasi delik atau tidak hakim yang akan menilai, pencemaran ini subjektif sekali, subjektif dibawa ke objektif, sekali lagi ini suatu yang sangat subjektif karena kaitannya dengan perasaan," tukasnya.

Sementara, Ketua Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Undip, Pujiyono khawatir hal tersebut bisa mengarah kepada pembungkaman.

Dalam kasus ini, Pujiyono menilai Haris dan Fatia berbicara bukan dalam konteks menjatuhkan Luhut secara individu melainkan untuk kepentingan masyarakat. Karena itu, kriminalisasi terhadap keduanya berpotensi membuat orang lain takut menyampaikan kritik.

Baca juga: Luhut Buka Suara Soal Korupsi Timah, Rugikan Negara 271 Triliun!

"Seperti Azhar dan Fatia itu kan sebetulnya menyuarakan daripada masyarakat. Mungkin kegelisahan yang notabenenya tidak semuanya masyarakat punya keberanian seperti itu. Jangan sampai preseden seperti ini akan membuat membungkam, membungkam daripada keberanian masyarakat untuk mengoreksi," jelasnya.

Dia menuturkan, kriminalisasi biasa ditemukan di zaman Orde Baru. Hal itu yang dia sayangkan mengingat demokrasi Indonesia saat ini sudah berjalan dengan baik.

"Karena ini kita sudah membangun demokratisasi yang sangat bagus," ujarnya.

Menurutnya, lebih baik kasus ini diselesaikan dengan baik atau restorative justice. Namun, hal itu bukan berarti Haris dan Fatia melakukan permohonan maaf.

"Saya pikir ini enggak mesti harus bermuara ke sistem peradilan pidana tapi bisa diselesaikan dengan baik," katanya.

Pujiyono mengatakan, data yang dimiliki Haris dan Fatia diuji dan dibicarakan substansinya. Kemudian baru berdiskusi mengenai kasusnya. Pasalnya, permohonan maaf berarti Haris dan Fatia mengakui kesalahan.

"Substansinya secara fair memang harus diungkap. Jangan sampai kemudian ketika orang-orang, teman-teman masyarakat sipil ada keberanian dan kemudian memiliki data, ketika itu tidak terungkap secara real data itu, kemudian ditutup dengan kasus pidana. Bagaimanapun juga negara atau pemerintah itu perlu koreksi kritik dan sebagainya," tutupnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru