Demo Mahasiswa dan Reproklamasi Republik

Reporter : optikaid
Ilustrasi demo mahasiswa

[caption id="attachment_9445" align="alignnone" width="200"] Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA[/caption]

Deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara selama lima tahun lebih terakhir terjadi semakin membahayakan Republik melalui pembuatan undang2 dan tafsirnya yang semakin diabdikan bagi kepentingan oligarki, bukan publik. Oligarki semakin brutal merampas masa depan publik berusia produktif, terutama mahasiswa, sebagai komponen yang seharusnya paling tercerahkan itu. Oligarki hampir berhasil menumbangkan Republik menjadi semacam Romawi di tangan Nero.

Baca juga: 8 Tahun Kepemimpinan Jokowi, BEM SI Beri 19 Catatan!

Pada saat *sindrom profesionalisasi* melanda kampus2, demonstrasi dinilai sebagai tindakan yang _close minded_, dan tidak profesional, nyaris proses negara ini perlahan runtuh sebagai _failed state_ luput dari perhatian mahasiswa. _Template_ lulus tepat waktu, _cum laude_, lalu bekerja pada BUMN atau MNC dengan gaji besar dan tunjangan yang menggiurkan, sambil asyik masyuk di dunia maya benar-benar telah mengerdilkan mereka menjadi robot 2-dimensi dengan imajinasi dan visi yang menyedihkan serta dengan mudah _remotely controlled_. Sebagian lagi bermimpi menjadi _Youtuber wannabes_ semacam DC.

Sambil khusyu' dalam pemberhalaan _Science, Technology, Engineering and Maths_, *mahasiswa dan kampusnya makin mati rasa*. Rasa dianggap fitur kompetensi yang buruk karena tidak rasional, sumber kecengengan, dan tidak profesional. Banyak yang tidak memahami bahwa pemujaan STEM, penelantaran _liberal arts_ seperti seni dan sejarah adalah strategi kekuatan nekolim dan oligarki untuk menjongoskan bangsa ini. Bangsa ini perlahan tapi pasti menjadi buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin2, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan oligarki.

Adalah *rasa yang menggerakkan* dan mengubah, bukan pikiran rasional. Adalah *rasa merdeka* sebagai pengalaman jiwa yang paling penting. Narasi Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka adalah narasi bak gonggongan srigala sementara kafilah penjongosan tetap berlalu. Rancangan dasar sistem pendidikan nasional yang didominasi oleh persekolahan massal tidak berubah sejak Orde Baru membuka kran investasi asing untuk program pembangunan _ala_ Wijoyo Nitisastro dkk hingga hari ini. Persekolahan dan perkampusan kita masih tetap menjadi instrumen teknokratik untuk menyiapkan negeri ini sebagai bangsa buruh bagi kepentingan Dunia Pertama. Seharusnya, sistem pendidikan kita menjadi strategi budaya untuk mengenali dan mengembangan rasa, karsa dan cipta bagi bangsa ini untuk *belajar merdeka*.

Baca juga: Anggap Kebijakan Pemerintah Tak Berpihak ke Rakyat, Aliansi Mahasiswa UPN Jawa Timur Geruduk Kantor Gubernur Jatim

Di tengah kemerosotan demokrasi, desentralisasi dan pemberantasan korupsi, kita menghadapi sebuah prospek negara gagal karena mekanisme _self-correction_ nya lumpuh dibajak oleh oligarki. Hukum besi sejarah membuktikan, bahwa oligarki akan perlahan menjadi anarki. Oleh karena itu penting bagi gerakan mahasiswa untuk mencegah agar jangan sampai deformasi permanen kehidupan berbangsa dan bernegara oleh _full-fledged oligarch_ terlanjur terjadi.

Waktunya telah tiba untuk menunjukkan sikap. Periksa hati nurani. Dengan jaminan konstitusi, ekspresikan perasaan di manapun berada dengan *bergerak mereproklamasikan kembali kemerdekaan* negeri yang sudah dikangkangi para oligarki ini. Baiklah diingat bahwa *jika Bung Karno dan Bung Hatta hanya kuliah melulu*, keduanya tidak mungkin menjadi proklamator dan Republik ini tidak pernah ada.

Baca juga: Demo Ribuan Mahasiswa dan Elemen Masyarakat Surabaya, Minta Kenaikan Harga BBM Dicabut

Bandar Lampung, 15 Mei 2022

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru