[caption id="attachment_31588" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Endik Hidayat[/caption]
Optika.id - Ada ungkapan suara rakyat adalah suara tuhan Vox populi, vox dei. Bila demikian seandainya penguasa mengabaikan dan melarang rakyat bersuara maka itu bisa disebut kejahatan karena melawan hukum alam. Berkaca relasi rakyat dan penguasa, suara rakyat adalah sebuah konsensus dengan penguasa, adapun itu disebut kontrak sosial, bila rakyat dalam perjanjian sosial telah sepakat memberikan kepercayaan kepada negara untuk mengatur kehidupan sosial mereka.
Baca juga: Sejumlah Kiai Kunjungi Rumah Capres 2024: Misi Suci Atau Pragmatisme Politik
Adapun pendapat pemikir politik Locke kekuasaan karena terbentuk dari konsensus sosial warga negara sehingga kekuasaan tidak bebas dan otonom ketika berhadapan dengan aspirasi dan suara rakyat. Jadi hak mengatur yang dimiliki penguasa bisa ditolerir selama tidak mengganggu hak-hak masyarakat sipil. Misalnya, membatasi kebebasan berbicara, berpendapat dan kritik kepada rezim.
Untuk mencegah timbulnya rezim otoriter dan terjaminnya kebebasan menyampaikan aspirasi dan kritik, wujud partisipasi politik masyarakat sipil, Locke berbicara mengenai peran strategis peraturan (undang-undang) dalam melindungi hak-hak asasi warga negara. Konstalasi politik terkini adalah agenda pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), padahal proses legalisasinya tidak transparan karena sampai sekarang draf RKUHP terbaru belum dipulikasikan.
Masyarakat publik hanya bisa mendapat draft RKUHP versi tahun 2019 yang memuat beberapa pasal multitafsir sehingga berpotensi menjadi pasal karet, pasal kontroversial mengundang protes, terdapat aturan tentang penghinaan terhadap pemerintah atau penguasa.Padahal sebelumnya 2019 lalu, pembahasan RKUHP ditunda karena mendapak kritik tajam dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat khususnya mahasiswa.
Pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menghapus pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. MK menilai pasal terkait penghinaan aktor-aktor pemerintah bisa mengakibatkan ketidakpastian hukum. Karena suatu pernyataan sikap, pendapat, maupun asumsi pribadi rentan ditafsirkan sebagai kritik yang beririsan dengan penghinaan.
Menurut draft RKUHP 2019 pasal 218 perihal penyerangan terhadap kehormatan, harkat, dan martabat presiden sanksi pidana selama 3,5 tahun. Lebih lanjut pasal 219 memperberat sanksi pidana menjadi 4,5 tahun ketika dilakukan di media sosial. Pasal karet lainnya adalah penghinaan kepada pemerintah pasal 240 dan 241, dapat dikenai pidana maksimal 3 tahun semakin berat sanksi pidananya 4 tahun apabila dilakukan melalui bantuan teknologi informasi.
Baca juga: Munculnya Kelas Menengah Desa: Pilihan Menjadi Idealis Atau Materialis
Berbagai sanksi pidana yang tercantum RKUHP bisa merupakan peringatan awal kemunduran proses demokrasi Indonesia pasca reformasi jika draft undang-undang ini benar disahkan Pemerintah dan DPR. Targetnya jelas, Para aktivis dan warga yang seringkali protes keras, sehingga menghantam pemerintah dan otomastis legitimasi kekuasaan akan redup. Hal ini bisa meruntuhkan semangat partisipasi politik masyarakat dan mereka berubah statusnya sebagai seorang manusia yang harus bungkam terhadap segala tindakan penguasa.
Kehllangan kebebasan berpendapat atas dasar hegemoni penguasa, posisi inilah mengubah keadaan demokrasi menjadi otoriter. Hal ini menunjukan penguasa melalui RKUHP tidak bisa berbuat senaknya kepada rakyat (pidana) atas nama penghinaan kepada rezim yang berkuasa, tanpa perlu mempertimbangkan apakah itu aspirasi kritik atau murni penistaan.
Alasan miris lainnya ancaman pidana RKUHP, sebelum adanya RKUHP kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat ketika berhadapan dengan kelompok mayoritas.
Kebisuan ini disebut dengan spiral keheningan (spiral of silence) oleh Neumann, Spiral keheningan merupakan fonomena partisipasi politik masyarakat yang akan muncul apabila berhadapan dengan negara dan segala ancaman pidana RKUHP atas nama penghinaan terhadap pemerintah.
Baca juga: Perpanjangan Jabatan Kades dan Makin Kuatnya Cengkeraman Kekuasaan Oligarki Desa
Jadi sikap apatis politik akan muncul akibat RKUHP jika disahkan, bahwa rakyat percaya pendapat opini mereka mengenai berbagai isu publik merupakan pandangan minoritas, sehingga cenderung bersikap bungkam daripada terkena ancaman pidana akibat pasal penghinaan penghinaan pemerintah.
Ketakutan individu mempunyai opini berbeda dengan mayoritas masyarakat akan cenderung diam karena takut terjadi isolasi sosial. Sementara dalam konteks RKUHP, ketakutan individu mempunyai opini berbeda dengan negara lebih memilih bungkam karena takut terjadi kriminalisasi dan hukuman penjara dengan isu semua bisa kena.
Editor : Pahlevi