Tak Hanya Pasal Penghinaan Presiden, Pasal Ini juga Dipermasalahkan Publik

Reporter : Seno
images - 2022-06-21T100130.778

Optika.id - Pro-kontra draf RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR RI belum usai. Selain soal pasal penghinaan presiden, DPR, dan pejabat negara. Publik juga mempersoalkan isi draf RUU yang memuat soal gelandangan.

Dalam Pasal 429 RUU KUHP, tercantum setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. Merujuk Pasal 79 RUU KUHP, denda kategori I paling banyak Rp 1 juta.

Baca juga: Wamenkumham: KUHP Anyar Bukanlah Ajang Balas Dendam Terhadap Warisan Kolonial

Muatan pasal tersebut pun kini disorot publik, tak terkecuali Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan.

Anthony memaparkan, sebagaimana konstitusi, fakir miskin justru wajib dipelihara negara. Artinya, kata dia, gelandangan wajib diberi tempat tinggal dan tempat penampungan oleh negara.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan pasal yang termuat dalam RUU KUHP yang kini sudah berada di meja Komisi III DPR RI.

"Artinya, gelandangan tidak boleh didenda. Malah, pemerintah yang wajib didenda kalau masih ada gelandangan, karena gagal melaksanakan konstitusi," kritik Anthony Budiawan seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter-nya, Minggu (10/7/2022).

Diketahui, naskah final RUU KUHP telah diserahkan pemerintah kepada DPR RI, Rabu (6/7/2022) lalu. Dalam draf tersebut, masih ada beberapa pasal kontroversial yang tetap dimasukkan.

Beberapa pasal kontroversial yakni Pasal 351 menyebutkan penghinaan terhadap anggota DPR RI terancam pidana penjara 18 bulan.

Kemudian Pasal 218 hingga Pasal 220 yang memuat tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden bisa dipidana penjara.

Merespons draf RUU KUHP tersebut, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu memberi catatan khusus.

Baca juga: Dilema Hukuman Mati di KUHP Baru, Didukung Aktivis Tapi Ditentang Komnas HAM

Said Didu yang terkenal kritis terhadap pemerintah ini setuju pasal-pasal tersebut diterapkan dengan catatan, pemerintah dan pemangku kebijakan yang 'dilindungi' dalam RUU KUHP tidak hidup dari uang rakyat.

"Saya setuju pasal-pasal pidana atau denda jika rakyat menghina pejabat (Presiden, Wapres, Menteri, DPR, Polri, Jaksa, dan lain-ain) asal mereka bersedia tidak digaji dan tidak menggunakan fasilitas yang menggunakan uang rakyat," kritik Said Didu seperti dikutip Optika.id dikutip dari akun Twitter-nya, Minggu (10/7/2022).

Pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej telah menyerahkan draf RUU KUHP kepada Komisi III DPR RI. Dalam draf yang diserahkan, setidaknya ada tujuh revisi draf terbaru RUU KUHP.

Pertama ada perbaikan reformulasi dan redaksional terhadap 14 isu krusial. Kedua, adanya pasal yang dihapus, dipertahankan dan disinkronkan antara batang tubuh dan penjelasan dalam draf terbaru.

Keempat, adanya penyelarasan sanksi pidana untuk menghindari disparitas antara di KUHP dan di luar KUHP. Kelima, adanya sinkronisasi antara RUU KUHP dengan sejumlah UU di luar KUHP termasuk UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Baca juga: Ramai Asing Komentari UU KUHP, Wamenkumham Akui Tidak Khawatir

"Keenam, kami melakukan sistemisasi lagi, jadi reposisi. Misalnya kalau menghapus dua pasal urutannya akan berubah. Terakhir (ketujuh) banyak typo yang kita perbaiki," kata Wamenkumham Edward, Rabu (6/7/2022) lalu.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru