Ramai Asing Komentari UU KUHP, Wamenkumham Akui Tidak Khawatir

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 12 Des 2022 12:24 WIB

Ramai Asing Komentari UU KUHP, Wamenkumham Akui Tidak Khawatir

Optika.id - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengaku jika pihaknya tidak terlalu risau dengan ramainya anggapan asing mengenai UU KUHP yang salah satunya mengatur tentang perzinahan.

Baca Juga: Hati-Hati dalam Bertindak, Ini Jenis dan Ancaman Bagi Pelaku Doxing

"Tidak bisa dibanding-bandingkan. Saya katakan kepada perwakilan di Amerika, 'kenapa Anda tidak memprotes hukum pidana Rusia yang dengan tegas melarang LGBT. Kenapa Anda tidak protes dengan hukum pidana Irlandia Utara yang dengan tegas tidak melarang LGBT. Kenapa Anda tidak mempertanyakan KUHP di negara Eropa Utara yang memperbolehkan aborsi', kata dia dalam webinar online yang diadakan LP3ES, Minggu (11/12/2022).

Dia menilai jika hukum pidana tersebut berlaku secara universal. Namun, ada pengecualian bagi tiga hal yakni delik politik, delik kesusilaan, dan penghinaan. Sehingga, ujar Sharif, ketika bicara pada tiga hal tersebut tidak bisa dibanding-bandingkan pelaksanaannya antara satu negara dengan negara lain.

"Kami sudah jelaskan kepada utusan PBB di Jakarta. silakan Anda mengomentari pasal lain. Tetapi kalau Anda berbicara tentang delik politik, delik kesusilaan dan penghinaan, Anda tidak bisa membanding-bandingkan," jelas dia.

Menurutnya, ada perbedaan pada pengaturan hukum pidana antara satu negara dengan negara lain. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari situasi sosial, kondisi politik, dan faktor-faktor lainnya yang berbeda di tiap negara.

Baca Juga: Perubahan Iklim Ancam HAM, Apa Solusi Kemenkumham?

Menanggapi hal tersebut, sosiolog Julia Suryakusuma mengatakan jika ada banyak pasal yang seharusnya tidak ada di UU KUHP baru misalnya saja aturan tentang seks di luar nikah serta kritik kepada presiden yang mengancam demokrasi bangsa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"KUHP ini menimbulkan kesan kalau kita dijajah oleh bangsa sendiri," ucap Julia dalam kesempatan yang sama.

Julia menilai jika hal itu berkaitan dengan politisasi moralitas seperti yang terjadi pada UU Anti Pornografi yang beberapa tahun silam diloloskan namun dalam pelaksanaannya tidak terlalu ketat juga.

Baca Juga: Jelaga Hitam Catatan Akhir Tahun Dewan Pers, Dari Kasus Intervensi Pers Hingga Kebebasan Pers yang Dipertanyakan

Sementara itu, anggota DPR Taufik Basari menjelaskan, ada beberapa pihak yang masih merujuk pada draf lama. Termasuk laporan dari PBB yang dirilis pada 25 November 2022, yang masih merujuk pada draf9 November 2022.

"Bagaimanapun proses pembentukan UU itu adalah proses politik juga. Makanya, kalau ada perbedaan pandangan maka tidak bisa terpaku pada hal itu tanpa berusaha mencari jalan tengahnya. Kamisekarang mencoba melakukan sosialisasi kepada penegak hukum karena ini penting," ucap dia.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU