Optika.id - Pencabutan izin penyelenggaraan pengumpulan uang dan barang Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang dilakukan Kementerian Sosial (Kemensos) dinilai terlalu tergesa-gesa.
Menurut Anggota Komisi VIII DPR fraksi PKS Bukhori Yusuf, Kementerian Sosial RI sebagai pihak yang mencabut izin telah bertindak terlalu jauh terhadap lembaga di bidang kemanusiaan itu.
Baca juga: Bareskrim Polri Periksa Ketua Koperasi Syariah 212 Terkait Kasus Aliran Dana ACT
Sepatutnya Kemensos tidak tiba-tiba melakukan pencabutan izin sebelum terbitnya hasil pemeriksaan yang memadai oleh Inspektorat Jenderal, kata Bukhori dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/7/2022).
Anggota Komisi Sosial DPR RI ini mengatakan, keberadaan lembaga kemanusiaan seperti ACT memiliki kontribusi penting dalam memecahkan permasalahan sosial-ekonomi serta isu kemanusiaan lain yang beririsan dengan tugas negara.
Apalagi, Bukhori menyebut Kemensos selama ini tidak bisa berdiri sendiri menyelesaikan masalah sosial ekonomi masyarakat.
"Keberadaan lembaga ini semestinya dipandang sebagai mitra strategis yang perlu dijaga dan dibina. Sebab, terbukti memiliki andil positif dalam membantu tugas negara menyelesaikan isu kemanusiaan, katanya.
Politisi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ini menekankan, perlu cara pandang yang jernih dan penyikapan proporsional dalam melihat kasus ACT. Jika ada oknum lembaga tersebut melakukan kesalahan, maka tindakan hukumnya harus proporsional pula.
Bukan dipukul rata, apalagi sampai diseret ke ranah politik. Janganlah kita seolah hendak memburu tikus di lumbung padi, tetapi lumbung itu justru kita bakar, tukasnya.
Trial By The Press
Sebelumnya, kasus dugaan penyelewengan dana lembaga, gaji tinggi, dan fasilitas mewah yang diterima oleh mantan petinggi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menjadi sorotan publik. Semua itu bermula dari laporan Majalah Tempo berjudul 'Kantong Bocor Dana Umat' yang terbit juga awal pekan ini.
Berkaca dari kasus ini, seorang konten kreator, Aab Elkarimi mengkritik pola kerja media yang kemudian berdampak pada opini liar dan penghakiman masyarakat pada ACT.
Kritik itu dia sampaikan lewat akun Instagram @aab_elkarimi dan akun TikTok @aabelkarimi seperti dilihat Optika.id, Minggu (10/7/2022).
Trial by the press. Pola kerja Tempo dalam membuat opini terhadap ACT berhasil menghasilkan penghakiman, yang hanya beberapa hari saja pasca berita keluar, langsung ACT dicabut izin, dikuliti PPATK sampai ke Densus 88 dan juga BNPT, ujarnya.
Dia mengurai, trial by the press merupakan pola kerja mengerikan yang memanfaatkan penghakiman massa lewat opini publik. Bentuknya macam-macam, salah satunya adalah produk investigasi jurnalistik.
Disebut mengerikan karena model tekanan ini rentan bias. Padahal, sambung Aab Elkarimi, masyarakat tidak boleh menerima data hanya satu arah.
Baca juga: Muhammadiyah Nilai Langkah Bareskrim Usut ACT Sudah Tepat
Selama itu data, kita bisa mempertanyakan dan mendebatnya kembali, tegasnya.
Aab Elkarimi lantas memberi contoh perbandingan tentang tudingan gaji Rp 250 juta yang diterima petinggi ACT. Sekilas gaji tersebut tampak berlebihan di mata publik untuk sekelas petinggi lembaga dana kelolaan.
Padahal, jika dilihat dari sudut pandang lembaga berskala internasional yang punya fungsi diplomatik lewat misi kemanusiaan dan lembaganya sehat berpredikat WTP, maka gaji sebesar itu akan tampak wajar.
(Apalagi) kalau dibandingkan dengan Pertamina, petingginya bisa sampai Rp 37 miliar lebih per tahun, padahal perusahaannya nggak sehat, ujarnya.
Di satu sisi, Aab Elkarimi juga membandingkan soal potongan administrasi ACT yang sebesar 13,7 persen. Angka ini, katanya, terbilang lebih sedikit jika dibandingkan dengan aturan UNICEF sebesar 28 persen.
Meskipun di satu sisi, Aab Elkarimi tidak memungkiri bahwa aturan di Indonesia membatasi hanya boleh memotong sebesar 10 persen.
Terlepas dari perbandingan data-data tersebut, Aab Elkarimi juga mempertanyakan apakah perlu ACT dibubarkan jika seandainya memang ada pejabat yang salah karena melakukan penyelewengan.
Baca juga: PBNU Minta Penegak Hukum Jangan Ragu Selidiki Aliran Donasi ACT
"Jika memang logika itu yang digunakan, maka hal yang sama harus berlaku pada penindakan korupsi di tanah air. Di mana, partai politik juga harus dibubarkan jika ada kader yang korupsi. Korupsi di Indonesia oleh anggota parpol kan banyak, kenapa parpolnya nggak dibubarkan. Atau korupsi di Kemensos ya, yang merugikan Rp 6,9 triliun, harusnya bubarin dong, sambungnya.
Singkatnya, Aab Elkarimi ingin menjelaskan bahwa poin utama masalah ini bukan pada perdebatan data yang masih dinamis, tapi langkah aneh pemerintah yang langsung mencabut izin dan memblokir 60 rekening.
Padahal tindak pidana awalnya saja belum ada nih, belum ada tersangka, baru diduga dan baru akan diminta klarifikasi, tegasnya.
Saya tidak tahu apakah ini akan menjadi semacam tambahan luka dari komponen umat Islam yang terbiasa dengan pembubaran pencabutan maupun pembusukan, pungkas Aab Elkarimi.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi