Mandegnya Regulasi Hukum Mas Bechi Melawan Kultur Komunitas Sosial

Reporter : Uswatun Hasanah
bechii

Optika.id - Setelah 5 tahun mangkir dari jerat jeruji besi, Muhammad Subchi Azal Tsani atau Mas Bechi akhirnya berhasil diamankan polisi. Sebelumnya, proses penangkapan oleh kepolisian selalu berhasil digagalkan oleh simpatisan pesantren bentukan fenomena religio-paternalistik. Di sisi lain, faktor fanatiknya simpatisan ialah gaya kepemimpinan kyai sekaligus ayah tersangka. Oleh sebab itu, pengamat menilai jika Polri harus introspeksi dalam penanganan hukum yang berbenturan dengan komunitas sosial.

Untuk diketahui, para simpatisan yang membela Mas Bechi meyakini jika kasus asusila tersebut merupakan fitnah dari para korban yang ingin nama baik pesantren menjadi jelek. Terpantau dari beberapa postingan di grup Facebook Majma'al Bahrain Thoriqoh Shiddiqiyyah (Official Group). Beberapa anggota membagikan postingan yang menyebutkan bahwa Mas Bechi difitnah.

Baca juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?

Semoga Gus Bechi diberikan kekuatan menghadapi ujian dan fitnah dari Endang Jin Tomang dan pasukan anjing-anjing nerakanya, tulis akun bernama Siska Cemilan Cepuluh di grup yang memiliki 2,6 ribu anggota tersebut, Senin (18/7/2022).

Butuh waktu hingga lima tahun bahkan pimpinan Polda Jatim dan Polres Jombang berganti hingga tiga kali untuk membawa buronan kelamin tersebut ke markas polisi. Penjemputan paksa Mas Bechi yang melalui jalan terjal tersebut semakin menguatkan jika relasi kuasa agama meliputi hukum Indonesia.

Melihat fenomena tersebut, Krimonolog Muhammad Mustofa mengungkapkan jika polemik penangkapan Mas Bechi dipengaruhi oleh adanya kekuasaan serta kekuatan. Dalam peristiwa ini, dia melihat adanya dominasi kekuasaan atau abuse of power yang kuat.

Peristiwa itu menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak selalu mudah karena dipengaruhi oleh pengaruh kekuasaan (otoritas tokoh), kekuatan politik, kekuatan fisik, kekuasaan uang, kata Mustofa ketika dihubungi, Senin (18/7/2022).

Menurutnya, ketokohan dan kepemimpinan kyai menunjukkan betapa kuatnya image yang dibangun dalam memimpin pesantren sekaligus mengendalikan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kharisma seorang kyai membangun berbagai peran strategis sebagai pemimpin masyarakat non-formal melalui komunikasi intensif dengan masyarakat.

Sementara itu, para pengikut pemimpin karismatik ini juga sering berubah-ubah dan tidak konsisten. Dengan demikian, antara pemimpin dan pengikut kemudian dibangun sebuah hubungan yang erat seperti keluarga, termasuk di antara sesame pengikut dalam komunitas tersebut.

Secara teori kepemimpinan, kepemimpinan kyai tipe seperti ini disebut dengan pola religio-patrenalistik. Model kepemimpinan religio-paternalistik adalah model kepemimpinan pada masyarakat agraris tradisional yang mengendalikan seorang pimpinan agama sebagai figur sentral yang dimitoskan, di mana perkataan dan sikapnya mesti diikuti tanpa reserve, ujar Mustofa.

Senada dengan Mustofa, Kriminolog Reza Indragiri juga mengungkapkan bahwa relasi religio-paternalistik tersebut sudah lazim digunakan dalam hubungan antara guru dengan murid.

Di sekolah mana pun, relasi antara murid dan guru pasti paternalistik. Bedanya, ada paternalistik yang ngawur dan ada yang lurus, kata Reza kepada Optika.id, Senin (18/7/2022).

Baca juga: Femisida Masih Dimaklumi Masyarakat Karena Stigma dan Status Korban

Dalam kasus Mas Bechi, Reza mengatakan jika Polri seharusnya melakukan evaluasi guna menemukan berbagai alasan dan dalih panjangnya proses penangkapan tersangka.

Jika masalahnya ada pada keterampilan penyidik, maka Reza menyarankan agar dikursuskan. Jika masalahnya pada integritas, maka harus disiplinkan. Apabila terkendala sebab maraknya opini negative, maka Polri bisa melawannya dnegan kontra opini.

Hal itu juga berlaku jika ada kelompok masyarakat yang ikut menghalangi tindakan polisi.

Seandainya problemnya pada adanya kelompok masyarakat yang menghalang-halangi polisi, monggo introspeksi: tidak adakah kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang sudi memberikan dukungan kepada polisi. Menghadapi FPI saja gagah berani, maka semestinya apalagi terhadap satu tersangka ini, jelas Reza.

Reza mengakui jika teknis penangkapan yang sulit ini berpengaruh pada proses penangkapan tersangka. Hal tersebut menurutnya berkaitan dengan minimnya saksi dan barang bukti serta ketakutan korban akan viktimisasi sekunder.
Viktimisasi sekunder atau multiple victimization (viktimisasi berlipat) dapat diartikan sebagai penderitaan dan/atau kerugian yang dialami oleh korban setelah menjadi korban dari kejahatan primer.

Baca juga: Tak Hanya Perempuan, Kaum Laki-Laki juga Wajib Belajar Literasi TPKS

Penderitaan tersebut diantaranya pengamanan terhadap tersangka yang tak kunjung berhasil dilakukan, tuntutan hukuman terhadap terdakwa yang begitu ringan, besaran restitusi (ganti rugi dari pelaku) yang pas-pasan dan kompensasi (ganti rugi dari pemerintah) yang jauh dari harapan Proses hukum yang berkepanjangan.

Itu semua bisa menjadi bentuk viktimisasi sekunder (secondary victimization) atas diri korban. Korban yang sudah menderita akan kian nelangsa hidupnya, kata Reza.

Reporter: Uswatun Hasanah

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru