Optika.id - Menko Polhukam (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) Mahfud Md menyatakan isu kerajaan Irjen Ferdy Sambo menghambat penyelidikan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Menurut Mahfud, kerajaan itu berada dalam struktur Polri. Mahfud mengistilahkan sub-Mabes.
Baca juga: Mahfud MD: Hak Angket DPR Bisa Makzulkan Jokowi Seperti Soeharto
"Yang jelas, ada hambatan-hambatan di dalam secara struktural ya, karena ini tidak bisa dimungkiri ini ada kelompok Sambo sendiri ini yang seperti menjadi kerajaan Polri sendiri di dalamnya. Seperti sub-Mabes-lah, ini yang sangat berkuasa. Dan ini yang menghalang-halangi sebenarnya. Kelompok ini yang jumlahnya 31 orang itu yang sekarang sudah ditahan," kata Mahfud seperti dikutip Optika.id dari channel YouTube Akbar Faizal Uncensored, Jumat (19/8/2022).
Mahfud menyampaikan, ada tiga klaster dalam kerajaan Sambo tersebut. Klaster itu membantu pembunuhan, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga rekayasa kasus.
Klaster pertama adalah mereka yang membantu mengeksekusi korban secara langsung. Mereka yang disangkakan dengan pasal pembunuhan.
"Saya sudah sampaikan ke Polri, ini harus diselesaikan, masih ada tersangka. Ini ada tiga klaster yang kasus Sambo. Satu, pelaku yang merencanakan dan mengeksekusi langsung. Nah, yang ini tadi yang kena pasal pembunuhan berencana karena dia ikut melakukan, ikut merencanakan, dan ikut memberi pengamanan di situ," ujarnya.
Mahfud mengatakan klaster kedua adalah mereka yang membantu menghilangkan barang bukti. Klaster itu, menurut Mahfud, merupakan bagian dari obstruction of justice.
"Kedua, obstruction of justice. Ini tidak ikut dalam eksekusi tapi karena merasa Sambo, ini bekerja bagian obstruction of justice ini membuang barang anu membuat rilis palsu dan macam-macam. Nah, ini tidak ikut melakukan," ujarnya.
"Nah, menurut saya, kelompok satu dan dua ini tidak bisa kalau tidak dipidana. Kalau yang ini tadi melakukan dan merencanakan. Kalau yang obstruction of justice itu mereka yang menghalang-halangi itu, memberikan keterangan palsu. Membuang barang, mengganti kunci, mengganti barang bukti, memanipulasi hasil autopsi, nah itu bagian yang obstruction of justice," lanjutnya.
Mahfud menjelaskan klaster ketiga, yakni mereka yang hanya ikut-ikutan karena sedang berjaga dan bertugas. Mereka hanya menjalankan perintah.
"Kemudian ada kelompok ketiga yang sebenarnya ikut-ikutan ini, kasihan, karena jaga di situ kan, terus di situ ada laporan harus diteruskan, dia teruskan. Padahal laporannya nggak bener. Prosedur jalan, jalan, disuruh buat ini ngetik, ngetik. Itu bagian yang pelanggaran etik," ucapnya.
Jika klaster satu dan dua harus diproses pidana, klaster ketiga tidak perlu dipidana. Menurut Mahfud, mereka hanya perlu diberi sanksi etik.
"Saya pikir yang harus dihukum tuh dua kelompok pertama, yang kecil-kecil ini hanya ngetik hanya ngantarkan surat, menjelaskan bahwa bapak tidak ada, memang tidak ada misalnya begitu. Menurut saya ini nggak usah hukuman pidana, cukup disiplin," imbuhnya.
'Kerajaan Sambo' Terlihat Jelas
Sementara itu, menurut Indonesia Police Watch (IPW) keberadaan 'kerajaan Sambo' dinilai terlihat jelas dalam kasus kematian Brigadir J.
"Saya sudah sebutkan ada geng, geng mafia ada. Kalau sekarang istilahnya kerajaan, itu orang lain yang sebut. Geng itu sudah terbukti dalam proses kematiannya Brigadir Yoshua. Sekarang dapat lagi saya info seperti ini tentang kerajaan, berarti analisis saya benar," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso kepada wartawan.
Soal isu 'kerajaan Ferdy Sambo', IPW menyerahkan hal tersebut ke Polri untuk memberi klarifikasi kepada publik. Sugeng meminta Polri profesional dalam merespons kabar itu.
"Mengenai 'kerajaan Ferdy Sambo' itu kan sedang beredar ya, menurut saya diserahkan saja kepada polisi. Data itu kan ada informasinya, yang menyebut nama-nama, saya minta tetap dikedepankan penegakan hukum yang profesional, dan asas praduga tak bersalah," tutur Sugeng.
Dia pun menyinggung soal diagram struktur 'kerajaan Sambo' yang beredar di masyarakat. Menurutnya, penyebar diagram 'kerajaan Sambo' adalah kelompok lawan Irjen Ferdy Sambo di internal Polri.
Baca juga: PDIP Tolak Sirekap dan Penundaan Rekapitulasi Pemilu 2024, Minta Audit Forensik KPU
"Ini kan terstruktur, sekarang muncul lagi data-data bandar judinya. Saya minta polisi dalam mendalami info ini. Harus profesional, transparan, dan mengedepankan prinsip penegakan hukum yang scientific, asas praduga. Itu yang beredar kan foto-foto, nomor telepon lagi," ungkap Sugeng.
"Saya duga (diagram 'kerajaan Sambo') ini dari lawan kelompok Ferdy Sambo. Jadi ada lawannya di internal," imbuhnya.
Sugeng menduga kuat diagram 'kerajaan' Ferdy Sambo yang dikaitkan dengan konsorsium 303 (Pasal 303 KUHP tentang Perjudian) disebarkan oleh sesama polisi. Dia mengatakan pemodelan yang tertuang dalam diagram mirip dengan pemodelan polisi saat memetakan suatu kasus.
"Dokumen ini adalah model dokumen yang dibuat oleh anggota kepolisian dalam menangani kasus, memetakan masalah itu modelnya seperti itu," tukasnya.
Tanggapan Polri
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo merespons ucapan yang dilontarkan Mahfud. Dia menyebut Polri berfokus pada penerapan pasal 340 atau pembunuhan berencana terhadap Sambo.
"Timsus saat ini fokus untuk pembuktian pasal yang sudah diterapkan adalah 340 subsider 338 juncto 55 dan 56, fokus di situ. Pembuktian secara materiil baik secara formil," kata Dedi di PTIK, Jakarta Selatan.
Dedi menyebut kasus polisi tembak polisi ini akan dibuka di proses persidangan. Pihaknya juga bakal menyampaikan update terkait kasus Brigadir J.
"Karena itu yang justru akan kita sampaikan ke JPU dan diuji dalam proses persidangan yang terbuka, yang transparan. Ya oke, itu dulu, besok kita akan sampaikan secara komprehensif," tukasnya.
Baca juga: Jokowi Pasang Muka Badak Libas Suara Ganjar-Mahfud di Kandang Banteng
Lapor Balik Sambo dan Istrinya
Keluarga Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J memberikan kuasa kepada pengacara, Kamaruddin Simanjuntak untuk melaporkan balik Irjen Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi. Pengacara datang langsung ke Jambi untuk meminta persetujuan perihal laporan itu.
"Hari ini kami tim dari kuasa hukum dari keluarga almarhum Brigadir Polisi Novriansyah Yoshua Hutabarat datang ke Jambi untuk meminta tanda tangan dari klien kami yaitu dari bapak Samuel Hutabarat dan ibu Rosti Simajuntak," kata Kamaruddin Simajuntak didampingi oleh Samuel dan Rosti orang tua Brigadir J di Jambi, dilansir detikSumut, Jumat (19/8/2022).
Kamaruddin menyampaikan dirinya telah memberikan ultimatum kepada Irjen Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi untuk segera meminta maaf dan untuk tidak lagi memberikan informasi bohong. Namun ultimatum tak digubris hingga 5 laporan baru kembali dilayangkan.
"Saya sebelumnya sudah berikan ultimatum kepada bapak Ferdy Sambo maupun dengan ibu Putri Candrawathi supaya segera meminta maaf dan tidak terus planing planing apa itu hoax-hoax tetapi karena mereka belum sadar juga, maka kami terpaksa harus melaporkan yang bersangkutan dengan tindak pidana membuat laporan palsu sebagai mana yang dimaksud pasal 317, 318 hukum pidana junto 55 dan 56," ujarnya.
Kamaruddin mengatakan pihak keluarga Yoshua memberikan lima surat kuasa untuk melakukan pelaporan balik. Adapun lima surat kuasa yang dimaksud itu terkait dugaan laporan palsu, informasi hoax, pencurian uang, Obstruction of Justice dan tindakan melawan hukum secara perdata.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi