Bambang Haryo: Ketimbang Malaysia, Total Subsidi BBM di Indonesia Tidak Rasional, Diduga Manipulasi

Reporter : Seno
IMG-20221012-WA0019

Optika.id - Pengamat Kebijakan Publik dan Transportasi, Bambang Haryo Soekartono menilai total subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) di Indonesia tidak rasional dan diduga cenderung dimanipulasi. Ketimbang besaran nilai Subsidi di negara tetangga, Malaysia.

Hal itu dikatakan Anggota DPR-RI periode 2014-2019 usai melakukan lawatan ke Malaysia tepatnya di ujung utara Kalimantan di dataran tinggi Kinabalu wilayah pedalaman Sabah yang berjarak lebih dari 3.300 km dari Ibu Kota Negara Kuala Lumpur.

Baca juga: Anggota DPR RI Bambang Haryo Siap Maju Pilkada Sidoarjo 2024

"Untuk melihat distribusi bahan bakar yang ada di Malaysia. Saya menemukan bahwa bahan bakar minyak (BBM) di wilayah tersebut sangat berlimpah, dimana pasokan ini didistribusikan oleh 3 perusahaan besar yaitu Petronas, Shell dan Petron," kata BHS sapaan akrabnya pada Optika.id, Rabu (12/10/2022).

Perbedaan Harga 

"Saat saya melakukan observasi, terlihat bahwa harga dari bahan bakar tersebut sama persis dengan yang saya lihat bulan lalu di Kuala Lumpur, yaitu sebesar 2,05 RM atau setara dengan Rp6.700 untuk Oktan 95 yang disubsidi di Malaysia, dimana harga ini jauh lebih murah dari pertalite oktan 90 yang disubsidi di Indonesia yaitu sebesar Rp10.000 saat ini. Bahan bakar subsidi di wilayah pedalaman Malaysia tersebut pun sangat mudah didapatkan oleh masyarakat setempat," imbuhnya.

Selain itu, kata BHS, bahan bakar Diesel (Solar) untuk angkutan logistik di Malaysia juga sangat berkecukupan di wilayah tersebut dan disubsidi. Misalnya: Shell Fuelsave Diesel harganya hanya sebesar 2,15 RM atau setara dengan Rp7.095 dan tersedia di semua pompa bensin yang ada di wilayah tersebut.

"Sedangkan di Indonesia, Shell Fuelsave Diesel dijual dengan harga sangat mahal yaitu Rp18.140. Dan di Indonesia solar bersubsidi campuran minyak sawit 30% (kualitas diesel rendah) harganya Rp6.800. Namun di Wilayah pedalaman Kalimantan di Indonesia sering kehabisan. Hal ini diperburuk dengan rakyat yang harus membeli dengan harga sangat mahal, bisa mencapai 2 kali lipat dari harga yang sebenarnya. Hal ini banyak terjadi di wilayah pedalaman Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah," tandasnya.

Selain mengamati langsung distribusi BBM di Negeri Bagian Malaysia, Mantan Wakil Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat ini juga membandingkan jumlah total subsidi yang disediakan oleh pemerintah Malaysia di tahun 2022. Sebagaimana data yang diperoleh, anggaran BBM adalah sebesar 30 miliar RM atau setara dengan Rp 99 triliun.

"Jumlah tersebut untuk mensubsidi kebutuhan 15.5 juta mobil dan 17.5 juta motor dengan konsumsi BBM Oktan 95 demikian juga Diesel juga disubsidi untuk angkutan logistik dan publik tanpa batasan kuota. Sedangkan di Indonesia, Pemerintah mensubsidi BBM Pertalite dengan Oktan 90 dan Biodiesel berkualitas rendah untuk angkutan publik dan logistik massal sebesar Rp650 triliun di tahun 2022 yang disediakan untuk kendaraan berjumlah 15,6 juta mobil dan 112 juta motor, dengan aturan batasan kuota. Dan bahkan beberapa daerah sulit untuk mendapatkan BBM subsidi di sebagian besar wilayah Indonesia," ungkap BHS.

Dengan data tersebut, kata Ketua Harian MTI Jawa Timur ini, terlihat perbedaan yang mencolok dari total subsidi. Padahal jumlah kendaraan mobil di Malaysia dengan Indonesia hampir sama. Tetapi kualitas BBM yang disubsidi di Malaysia jauh lebih baik serta tanpa batasan kuota dan mudah untuk mendapatkan BBM subsidi tersebut.

Baca juga: BHS Minta Pemerintah Terus Perhatikan Perlintasan KA Tanpa Palang!

"Dapat dikatakan, total anggaran nilai subsidi yang ada di Indonesia dengan tingkat pelayanan jauh dibawah Malaysia adalah tidak masuk akal, dan sudah sepatutnya pertamina harus diaudit oleh lembaga Independen," jelasnya.

"Banyak rumor di Indonesia murahnya harga BBM subsidi di Malaysia karena Malaysia dikatakan sebagai negara pengekspor minyak. Memang benar Malaysia hanya pengekspor minyak mentah seperti halnya Indonesia, dan bahkan Indonesia jauh lebih besar ekspor minyak mentahnya ke luar negeri. Sedangkan Malaysia sama dengan Indonesia sebagai Negara pengimpor minyak konsumsi dari berbagai negara seperti Australia, Brunei, dan Singapore. Dimana mayoritas negara negara tersebut merupakan produsen minyak yang sama untuk impor di Indonesia," sambungnya.

Lebih lanjut, Alumni ITS Surabaya ini menguraikan, total subsidi yang ada di Malaysia tersebut memperhatikan untuk kebutuhan kendaraan logistik dan transportasi publik massal.

Dengan memberikan kuota yang cukup untuk penggunaan bahan bakar Diesel dengan harga yang sangat murah. Hal ini diperkuat bahwa Pemerintah Malaysia juga menyediakan subsidi bahan bakar gas (CNG) untuk kendaraan logistik, angkutan publik massal dan taxi dengan harga setengahnya dari harga bahan bakar Diesel Bersubsidi.

Multiplayer Effect Economy 

Baca juga: Bambang Haryo Apresiasi Pemangkasan Bandar Udara Internasional, Terlalu Banyak!

Sehingga, katanya, dapat dikatakan Pemerintah Malaysia sangat peduli dan paham bahwa angkutan logistik dan publik bisa membawa pengaruh yang sangat besar. Terutama terhadap Multiplayer Effect Economy dan kesejahteraan masyarakat secara Nasional. Sebaliknya di Indonesia, Pemerintah seperti kurang peduli dan tidak paham akan masalah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh BBM subsidi untuk transportasi logistik dan publik massal.

"Pertamina pun juga tidak profesional dalam menjalankan tata kelola dan distribusi minyak di Indonesia. Oleh karena itu, dugaan monopoli dan kartel tata kelola BBM di Indonesia harus ditiadakan, sehingga Pemerintah dapat menunjuk perusahaan perusahaan migas swasta profesional untuk berpartisipasi dalam tata kelola dan distribusi bahan bakar di Indonesia tanpa kartelisasi yang merugikan masyarakat Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia," pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru